Pada aula besar suatu instansi pemerintah nampak sejumlah besar pegawai bergerombol dengan dandanan rapi dan necis. Sebagian besar mengenakan jas lengkap berpeci Melayu dengan pin KORPRI, sebagian kecil yang lain mengenakan baju batik dan baju putih dengan asesoris yang sama yaitu berpeci Melayu dan Pin KORPRI. Hampir seluruhnya bermuka cerah dan tampak bercanda ria dengan masing-masing gerombolannya. Rupanya pada hari itu ada pelantikan masal pejabat di instansi tersebut. Dikatakan masal karena pejabat yang akan dilantik dalam jumlah besar dan seluruh level eselon mulai dari Eselon terendah sampai dengan Eselon tertinggi tampak memenuhi aula tersebut.
Menilik dari cara dandan dan cara bergerombol, menunjukkan pada kita level apa yang akan diduduki oleh para pejabat yang akan dilantik. Kelompok karyawan dengan dandanan rapi dan necis, memakai jas mewah, berdasi, sudah dipastikan akan menduduki minimal eselon III, sementara kelompok karyawan dengan dandanan mengenakan baju batik dan baju putih adalah calon pejabat eselon IV atau V. Ini hanya perkiraan saja, tetapi dari performance-nya memang menunjukkan arah itu.
Dalam artikel ini, tidak akan diuraikan mengenai prosesi upacara pelantikan jabatan mulai dari pembacaan nomor urut pejabat yang dilantik, posisi jabatan, pengambilan sumpah jabatan, sambutan pimpinan instansi, sampai dengan ucapan selamat dari para undangan yang hadir. Tetapi uraian akan ditekankan pada pemberian fasilitas negara kepada para pejabat-pejabat yang dilantik sebagai konsekuensi posisi jabatan. Di samping peningkatan kesejahteraan berupa tunjangan jabatan atau prospek transitory income yang lebih besar, mereka tentunya sangat berharap mendapatkan fasilitas kantor dalam rangka memudahkan pelaksanaan tugas baru, sekaligus meningkatkan gengsi, paling tidak pada lingkungan terdekat dan keluarganya.
Dalam penelusuran berbagai peraturan mengenai pemberian fasilitas bagi para pejabat, belum ditemukan aturan baku mengenai ketentuan-ketentuan yang mengatur seorang pejabat − katakanlah yang menduduki eselon I, II, III, IV, atau V − akan menerima fasilitas negara dalam bentuk apa. Tetapi dalam pengamatan di lingkungan instansi-instansi pemerintah, ada fasilitas yang sifatnya standar dan ada fasilitas yang sifatnya lebih baik (mewah) dibandingkan pejabat yang lain dalam satu level. Bahkan ada posisi jabatan yang levelnya setingkat di bawah menerima fasilitas yang lebih lengkap dan lebih baik. Demikian juga dalam hal jenisnya, sangat bervariasi dengan harga yang bervariasi pula. Sepertinya tidak ada standar yang mengatur, baik dari sisi jenis fasilitas maupun dari sisi harganya.
Dapat dicontohkan disini, seorang direktur/Eselon II di Bappenas mungkin mendapatkan fasilitas sebuah mobil Kijang Innova atau Grand Livina dengan harga kurang lebih seharga 160-200 juta rupiah, tetapi di Departemen Pertahanan/TNI dan Polri seorang direktur/Eselon II/jabatan setingkat Bintang Satu bisa mendapatkan fasilitas mobil sedan atau mobil double gardan dengan nilai lebih dari 300 jutaan rupiah dengan model dan keluarannya relatif terbaru. Tetapi untuk direktur/Eselon II, katakanlah di Perpusatakaan Nasional atau Arsip Nasional, mungkin sama-sama mendapat fasilitas mobil, tetapi merupakan “warisan” turun-temurun dari direktur sebelumnya.
Contoh yang lebih mencengangkan lagi adalah fasilitas untuk pejabat Eselon I. Pada tingkatan ini, terkesan ada gab yang sangat lebar meskipun sama-sama menduduki Eselon I. Di Bappenas, seorang Deputi mendapatkan fasilitas mobil Honda CR-V dengan harga pada kisaran 300-400 juta rupiah. Seorang Dirjen di suatu departemen, biasanya mendapatkan fasilitas mobil Toyota Altis dengan harga 400 jutaan. Tetapi di Departemen Pertahanan/TNI dan Polri, jabatan setingkat Eselon I seperti Dirjen, Deputi, Pangdam, Kapolda, Asisten Perencanaan, Asisten Logistik, Asisten Operasi, dan sebagainya selain mendapatkan fasilitas Sedan Toyota Camri yang biasanya dipakai sebagai mobil dinas Menteri, juga mendapatkan mobil lapangan sejenis rover seperti Land Cruiser, Lexus, Mitsubishi Pajero, dan sebagainya yang harganya bisa mendekati satu milyar rupiah. Bahkan seorang pejabat setingkat eselon I di Dephan/TNI dan Polri, dengan alasan mobilitas dan efektivitas waktu tempuh, dapat menggunakan helikopter yang biaya operasionalnya sangat tinggi setiap kali terbangnya. Ini merupakan fasilitas yang impossible bisa diperoleh bagi pejabat selevel di instansi-instansi sipil.
Ditinjau dari fasilitas kerja seperti perkantoran, rumah dinas, dan sebagainya, variasinya juga sangat beragam meskipun pada level eselon yang sama. Seorang Direktur/Eselon II di Bappenas mendapatkan fasilitas ruangan dengan luas ruangan rata-rata 7 x 7 meter yang dilengkapi 1 set meja kerja lengkap dengan computer dan printer, 1 set kursi tamu, 1 set meja rapat kapasitas 6-10 orang, dan satu ruang sekretaris 3x3 meter yang difungsikan juga sebagai ruang dokumentasi. Tetapi di Departemen Pertahanan/TNI/Polri, fasilitas yang diterima oleh seorang Direktur/Eselon II/jabatan setingkat bintang satu, relatif sama, namun dengan penambahan ukuran ruangan yang lebih luas dan dilengkapi dengan kamar mandi serta kamar tidur. Fasilitas ini kurang lebih sama dengan fasilitas yang diterima oleh seorang Deputi/Eselon I di Bappenas.
Dalam hal fasilitas rumah dinas, para personil TNI dan Polri lebih banyak diuntungkan dengan fasilitas rumah dinas, baik yang menduduki posisi jabatan maupun tidak. Hal ini dapat dipahami karena penugasan personil di kedua lembaga ini paling dinamis dan seringkali tidak dalam waktu yang lama. Dengan demikian, domisilinya seringkali berpindah-pindah sesuai dengan lokasi penugasan yang baru. Hal yang demikian ini juga terjadi pada institusi Kejaksaan atau Kehakiman yang mobilitas penugasan para jaksa dan hakim termasuk dinamis. Di lihat dari efektivitas pelaksanaan tugas, kebijakan pemberian fasilitas rumah dinas tersebut sudah tepat, sehingga para pejabat tidak perlu pusing memikirkan tempat tinggal di tempat tugas yang baru. Namun untuk instansi-instansi lain, yang mobilitas penugasan kurang dinamis bahkan cenderung tidak pernah ada perubahan domisili, serta mutasi jabatan hanya pindah ruangan, maka pemberian fasilitas perumahan hanya merupakan pemborosan yang tidak perlu terjadi.
Lain lagi ceritanya fasilitas di badan-badan usaha milik pemerintah (BUMN dan BUMD). Para pejabat mendapatkan fasilitas kantor berupa ruang kerja, kendaraan, atau rumah dinas jauh lebih bagus dan seringkali terkesan sangat berlebihan. Pada BUMN besar seperti Telkom, Bank BRI, Bank BNI, Bank Mandiri, Bank Pemerintah Daerah, Aneka Tambang, dan sebagainya, para direksinya bisa mendapatkan fasilitas kendaraan mewah sejenis Alpard, Mercy, Volvo, bahkan berbagai jenis kendaraan mewah impor keluaran terbaru (built in). Perbedaan fasilitas ini mungkin terkait dengan performance perusahaan yang memang profit oriented, sementara untuk pejabat-pejabat pemerintah, fasilitas cenderung diberikan dalam rangka pelayanan publik.Yang jadi pertanyaan adalah kenapa fasilitas-fasilitas negara yang diberikan kepada para pejabat pemerintah, variasinya begitu besar baik dari sisi jenis fasilitas maupun rentang harga fasilitas. Kenapa tidak ada standar yang pasti ? Untuk fasilitas di badan-badan usaha milik pemerintah (BUMN dan BUMD), dapat dipahami karena pemberian fasilitas kepada para direksinya adalah dalam rangka menjaga image perusahaan dan mendongkrak keuntungan perusahaan. Sementara itu, untuk lembaga-lembaga pemerintah, apakah pemberian fasilitas yang bervariasi otomatis memberikan tingkat pelayanan publik yang berbeda secara signifikan ?
Minggu, 31 Agustus 2008
Langganan:
Postingan (Atom)