Beberapa waktu yang lalu di kantor kami kedatangan seorang Perwira TNI berpangkat Letnan Kolonel yang berkantor di Departemen Pertahanan. Kedatangannya dalam rangka mengurus pertanggungjawaban SPPD ke luar negeri pimpinan kami. Agak aneh memang, seorang Perwira Menengah melaksanakan pekerjaan seperti itu yang seharusnya bisa dikerjakan oleh seorang Bintara. Tetapi begitulah dunia kerja kantor-kantor pemerintah. Pimpinan kadang-kadang kurang tepat memberikan perintah (mendelegasikan) pekerjaan kepada staf bawahannya. Pekerjaan fotocopy yang seharusnya bisa dilaksanakan oleh seorang office boy atau staf TU, diperintahkan kepada seorang staf golongan tiga. Demikian juga, seorang staf golongan tiga yang seharusnya ikut secara aktif dalam suatu diskusi / rapat-rapat mengerjakan perintah mengedarkan blangko absensi peserta rapat.
Sambil menunggu kedatangan pimpinan kami, momen kedatangan Perwira tersebut saya manfaatkan untuk “mengorek” hal ihwal tentang pemberian fasilitas TNI yang dalam bayangan saya sangat memadai dibandingkan dengan instansi pemerintah yang lainnya. Dalam pembicaraan tersebut, saya memperoleh informasi mengenai kendaraan dinas para pejabat militer baik di Departemen Pertahanan maupun Markas Besar TNI/Angkatan. Hasilnya kurang lebih sama dengan apa yang pernah saya tuliskan dalam tiga artikel terdahulu mengenai pemanfaatan fasilitas negara untuk para pegawai negerinya.
Berdasarkan penjelasannya, jika seorang tentara menduduki jabatan administrasi (bukan komandan) setingkat Mayor atau Letnan Kolonel, maka dia mendapatkan fasilitas kendaraan dinas sejenis Toyota Avansa. Jika seorang tentara menduduki jabatan administrasi setingkat Kolonel, maka dia mendapatkan fasilitas kendaraan dinas sejenis Toyota Vios. Jika seorang tentara menduduki jabatan setingkat bintang satu, maka dia mendapatkan fasilitas kendaraan dinas sejenis Toyota Altis. Selanjutnya jika seorang tentara menduduki jabatan setingkat bintang dua, maka dia mendapatkan fasilitas kendaraan dinas sejenis Camri. Kendaraan tambahan diberikan kepada para tentara yang memegang jabatan komando, yaitu kendaraan lapangan jenis Jeep mulai dari Katana, Escudo, Hardtop sampai dengan Jeep mewah sekelas Land Cruiser, Land Rover atau Mitsubisi Pajero. Bahkan untuk para panglima disediakan kendaraan keluarga dari Toyota Kijang sampai dengan Alpard.
Ketika membicarakan fasilitas perumahan TNI, saya agak terkejut mendengarkan pengakuannya bahwa sampai saat ini dia tidak memiliki rumah pribadi. Rumah yang ditinggali bersama keluarganya saat ini adalah sebuah rumah di kompleks Perwira TNI di kawasan Cibinong. Dia juga sempat mengeluh dan mengkhawatirkan masa depannya ketika sudah pensiun akan tinggal di mana. Kebutuhan hidup dan pendidikan anak-anaknya yang menyedot sebagian besar pendapatannya, menyebabkan sekedar menyisihkan uang muka untuk kredit perumahan terasa sangat berat. Sang perwira tersebut memang memiliki rumah di kampungnya (Yogyakarta), tetapi rumah tersebut masih milik orang tuanya.
Apabila yang dikatakannya benar dan bukan dalam rangka merendah, sepertinya tidak masuk akal seorang perwira berpangkat Letnan Kolonel yang sudah mengabdi lebih dari 20 tahun tidak memiliki rumah. Lantas bagaimana dengan para Tamtama dan Bintara yang merupakan jumlah terbesar dari personil organisasi TNI ?
Menurut pengakuannya, kondisi semacam itu tidak hanya dialami oleh dirinya, tetapi banyak rekan-rekan sejawatnya yang bernasib sama. Alasan yang dikemukakan adalah sistem penugasan personil TNI yang sangat dinamis. Dalam masa pengabdiannya, khususnya untuk tentara-tentara yunior, seorang tentara bisa berpindah-pindah tempat tugas sampai puluhan kali. Untungnya dalam setiap kepindahan tugasnya selalu disediakan fasilitas rumah dinas untuk tinggal bersama keluarganya. Akibat seringnya berpindah-pindah tugas, menyebabkan personil TNI terkadang melupakan atau menunda-nunda keinginan untuk memiliki rumah pribadi. Mereka merasakan sebagai hal yang sia-sia (mubazir) jika memiliki rumah tetapi tidak ditempatinya. Kemudian ketika menjadi tentara senior yang relatif tidak banyak mengalami perpindahan tugas, mereka tetap menempati rumah dinas dan biasanya dalam waktu yang lama. Pada saat ini, seperti dikeluhkan oleh perwira Dephan tadi, para tentara senior tersebut mulai merasakan urgensi kepemilikan rumah pribadi. Namun permasalahan yang mereka hadapi umumnya sama, yaitu tidak tersedianya dana yang mencukupi untuk membeli rumah karena sebagian besar pendapatannya dipergunakan untuk kebutuhan hidup dan pendidikan anak-anaknya.
Selanjutnya, ketika pensiun, mereka tetap menempati rumah dinas yang seharusnya sudah ditinggalkannya setelah pensiun. Perasaan telah berjasa bagi nusa dan bangsa menjadikan mereka merasa berhak atas rumah dinas yang telah ditempati bertahun-tahun. Kondisi inilah yang seringkali menyulitkan Departemen Pertahanan/TNI dalam menguasai kembali rumah dinas yang ditempati para pensiunan, janda, dan/atau anak-anak purnawirawan TNI. Langkah pengusiran seringkali terpaksa dilakukan karena Departemen Pertahanan/TNI menghadapi keterbatasan fasilitas perumahan untuk para personil militer aktif yang juga berhak mendapatkan rumah dinas. Bahkan bentrok fisik antara penghuni dengan kesatuan TNI yang menertibkan rumah dinas seringkali tidak dapat dihindarkan.
Berdasarkan keterangan Kapuspen TNI, Marsda TNI Sagom Tamboen, Departemen Pertahanan/TNI saat ini memiliki 177.944 unit rumah dinas. Sebanyak 32.819 unit atau 18,44 % masih ditempati oleh pensiunan, janda, dan/atau anak purnawirawan TNI (http://news.okezone.com). Dengan jumlah personil dan PNS TNI sebanyak 455.000 personil, berarti pada saat ini kurang lebih 310.000 personil dan PNS TNI tidak mendapatkan fasilitas rumah dinas. Oleh karena itu seandainya 32.819 unit rumah dinas dapat diambil alih, maka sebanyak 32.819 prajurit yang masih aktif akan mendapatkan fasilitas rumah dinas yang menjadi haknya.
Pemerintah khususnya Departemen Pertahanan/TNI harus mulai memikirkan bagaimana meningkatkan kesejahteraan para personil TNI, terutama bagi mereka yang akan memasuki masa pensiun. Sistem penugasan yang dinamis harus mampu memberikan kompensasi atau jaminan bahwa personil yang ditugaskan kedepannya harus memiliki rumah, sesederhana apapun. Pemerintah harus memberikan penghargaan yang memadai bagi pengorbanan serta dedikasi setiap prajurit untuk menjaga agar NKRI ini tetap tegak dan berjaya. Banyak fakta yang berbicara bahwa penugasan yang dinamis mengharuskan keluarga TNI harus rela ditinggal berbulan-bulan, berpindah-pindah tempat tinggal, berpindah-pindah tempat pendidikan anak-anaknya yang berarti harus selalu melakukan penyesuaian-penyesuaian, atau keluarga harus menanggung beban merawat dan menghidupi tentara yang cacat seumur hidup sebagai resiko dalam melaksanakan tugas.
Tataran anggota TNI yang harus dipikirkan kesejahteraannya adalah tataran Bintara dan Perwira Madya senior, yang pada umumnya riwayat kepangkatan merangkak dari bawah atau Perwira yang kurang beruntung dalam meniti kariernya. Para Perwira yang kurang beruntung tersebut seringkali dijuluki perwira ‘Kolpol (Kolonel sampai pol)” yang tidak dapat naik pangkatnya sampai pensiun. Sedangkan para Bintara yang sukses mencapai tataran Perwira, adalah para Bintara yang tergolong berprestasi dalam meniti karier, namun jumlahnya relatif sedikit dan secara ekonomi juga kurang sejahtera. Sementara itu perhatian pemerintah untuk tataran Bintara senior yang mendekati pensiun, yang merupakan jumlah terbesar dari organisasi TNI, diperlukan juga karena pada tataran ini kebanyakan prajurit hidup dengan perekonomian yang kurang sejahtera dan dapat disetarakan kesejahteraannya dengan PNS golongan I dan II.
Selasa, 21 Oktober 2008
Langganan:
Postingan (Atom)