Selasa, 01 Desember 2009

PENINGKATAN PERAN INDUSTRI PERTAHANAN DALAM NEGERI – [ CATATAN NATIONAL SUMMIT 29 – 30 OKTOBER 2009]


Meskipun topik upaya peningkatan kemampuan pertahanan melalui peningkatan peran industri pertahanan dalam negeri tidak termasuk dalam agenda Summit Nasional, namun topik tersebut turut dibahas dalam Bidang Hukum dan Reformasi Birokrasi, khususnya dalam Komisi V Pemberantasan Terorisme. Topik ini dirasakan perlu untuk diangkat dalam rembug nasional karena merupakan fakta bahwa kondisi pertahanan negara saat ini menurun daya penggentarnya. Oleh karena itu diperlukan upaya-upaya strategis meningkatkan kemampuan pertahanan negara yang salah satunya dilakukan melalui peningkatan peran industri pertahanan dalam negeri.
Sebagai akibat keterbatasan keuangan negara dan skala prioritas pembangunan, telah berdampak pada masih rendahnya alokasi anggaran pertahanan. Pelaksanaan berbagai program prioritas nasional seperti subsidi BBM, penanggulangan kemiskinan, peningkatan kesehatan masyarakat, dan pemenuhan anggaran pendidikan sebesar 20 % dari APBN sesuai amanat UUD 45 menyebabkan alokasi anggaran pertahanan tidak beranjak dari 1 % GDP. Jika pada awal RPJMN 2004 – 2009 alokasi anggaran pertahanan sebesar 1,1% PDB, maka dalam pelaksanaannya justru menunjukkan penurunan. Dalam tiga tahun terakhir belanja pertahanan berturut sebesar 0,92 % PDB tahun 2007; 0,70 % PDB tahun 2008; dan 0,63 % PDB tahun 2009.
Kondisi tersebut secara signifikan berpengaruh pada kemampuan pertahanan terutama dihadapkan pada berbagai ancaman dan gangguan kedaulatan NKRI. Di samping akan memperlemah kemampuan alutsista yang ada, rendahnya anggaran pertahanan juga berpengaruh pada kemampuan mengganti alutsista yang habis usia pakai dan kemampuan mengikuti teknologi pertahanan. Sebagian besar alutsista TNI berusia lebih dari 20 tahun dan sebagian darinya memiliki sisa usia pakai antara 7 – 15 tahun.
Secara umum tingkat kesiapan kekuatan matra darat sampai akhir tahun 2008 rata-rata mencapai 68.85 persen yang meliputi: 1.261 unit berbagai jenis kendaraan tempur (ranpur) dengan tingkat kesiapan 63,36 persen, 537.198 pucuk senjata Infanteri berbagai jenis dengan tingka kesiapan 72,86 persen, 983 pucuk senjata artileri berbagai jenis dengan tingkat kesiapan 74,97 persen, 59.842 unit kendaraan bermotor (ranmor) berbagai jenis dengan tingkat kesiapan 87,17 persen, 61 unit pesawat terbang berbagai jenis dengan tingkat kesiapan 45,90 persen.
Tingkat kesiapan kekuatan matra laut rata-rata mencapai 46,27 persen, yang meliputi: 143 unit kapal perang (KRI) dengan tingkat kesiapan 61,53 persen, 312 unit Kapal Angkatan Laut (KAL) dengan tingkat kesiapan 24,35 persen, 410 unit kendaraan tempur marinir berbagai jenis dengan tingkat kesiapan 38.29 persen, dan 64 unit pesawat terbang dengan tingkat kesiapan 60,93 persen. Adapun kekuatan alutsista TNI AU yang tertumpu pada pesawat tempur, pesawat angkut, helikopter dan pesawat jenis lainnya, serta peralatan radar dan rudal kesiapan rata-rata saat ini mencapai 78,93 persen, yang meliputi: 233 unit pesawat terbang dari berbagai jenis dengan tingkat kesiapan 55,79 persen, 16 unit peralatan radar dengan tingkat kesiapan 81 persen, dan 26 set rudal jarak pendek dengan tingkat kesiapan 100 persen.
Industri pertahanan merupakan salah satu pilar penting keamanan nasional terutama pertahanan negara. Kemandirian industri pertahanan nasional akan mengurangi ketergantungan alutsista TNI (dan juga alat utama POLRI), memperkecil resiko dan kerawanan serta kelangkaan alustsita yang diakibatkan oleh embargo, dan sekaligus dapat meningkatkan efek penggentar pertahanan negara.
Beberapa hasil penelitian dan pengembangan yang telah dapat dimanfaatkan untuk kepentingan TNI yang sesuai spesifikasi matra diantaranya adalah prototype payung udara orang (PUO), alat komunikasi (alkom) spread spectrum, hovercraft, landing craft rubber (LCR), combat system PC-40, SKS Tracking Optic, rudal (Surface to Surface, Ground to Ground dan Ground to Air), roket 70 mm dan 80 mm, Unman Aerial Vehicle (UAV), angkut personil sedang (APS), panser APS, senjata SS-2, dan gyro digital. Terkait dengan kebutuhan kendaraan tempur, sebanyak 150 unit Panser APS buatan PT. Pindad telah mewarnai alutsista TNI.
Secara umum peran industri pertahanan nasional dalam keamanan nasional relatif belum maksimal, yaitu dicerminkan dari potensi Industri pertahanan yang belum sepenuhnya dapat direalisasikan dan termanfaatkan dalam sistem keamanan nasional. Meskipun sejak tahun 2006 pemerintah berkomitmen meningkatkan peran industri pertahanan nasional guna memenuhi kebutuhan Alutsista TNI, namun komitmen tersebut belum dapat dilaksanakan secara maksimal terkait dengan mekanisme pembiayaannya. Upaya pengalihan sebagian pinjaman luar negeri (Kredit Ekspor) ke pinjaman dalam negeri terbentur pada peraturan perundangan yang belum ditetapkan.
Di sisi lain, industri pertahanan nasional yang saat ini identik dengan inefisiensi, kurang kompetitif, tidak memiliki keunggulan komperatif, dan tidak mampu memenuhi persyaratan dalam kontrak, juga harus mentransformasi perilaku bisnisnya agar mampu mengemban kepercayaan yang telah diberikan, yang antara lain dicerminkan dari kesesuaian harga dan kualitas produk serta ketepatan waktu penyerahan. Berbagai permasalahan dalam pengembangan industri pertahanan ini sangat terkait dengan ketersediaan dan belum solidnya payung hukum, kelembagaan, dukungan riset dan pengembangan (R&D), serta dukungan finansial.
Dalam diskusi National Summit-pun permasalahan yang berkembang tidak jauh berbeda dengan permasalahan di atas. Pembinaan kemampuan pertahanan yang terdiri dari segala sumber daya nasional (sumber daya manusia, sumber daya alam dan buatan, nilai-nilai, teknologi, dan dana yang dapat didayagunakan untuk meningkatkan kemampuan pertahanan negara) sampai saat ini belum dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Peraturan yang ada baru setingkat Peraturan Menteri Pertahanan. Khusus untuk pengembangan industri pertahanan, terbentuknya Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) diharapkan dapat merumuskan profil serta postur TNI dan pertahanan nasional belum dapat bekerja secara optimal.
Dalam APBN tahun 2010, pemerintah berencana mengalokasikan anggaran sebesar 1 (satu) trilyun rupiah untuk pengembangan dan pengadaan alutsista TNI dan alut POLRI dari produk industri pertahanan dalam negeri. Sedianya kegiatan tersebut akan dibiayai dari pinjaman dalam negeri (PDN). Untuk tahun-tahun mendatang diharapkan akan ada peningkatan pagu anggaran, tetapi diharapkan dengan suku bunga yang lebih rendah dibandingkan dengan suku bunga pinjaman luar negeri.
Bukan hal yang mudah untuk menggenjot industri pertahanan nasional, kalau usernya (konsumen) hanya institusi militer dalam negeri. Modal kerja yang sangat besar untuk membangun infrastruktur industrinya dan dihadapkan pada terbatasnya konsumen, menyebabkan skala produksinya menjadi tidak ekonomis bahkan cenderung merugi. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila produk industri pertahanan dalam negeri menjadi lebih mahal dan kurang kompetitif dibandingkan dengan produk militer luar negeri. Berkenaan dengan hal ini, insentif pemerintah sangat diperlukan. Tidak hanya komitmen penyerapan yang signifikan, tetapi perlu dukungan fasilitas dan regulasi produk industri pertahanan dalam negeri yang berorientasi untuk ekspor. Di samping itu, untuk meningkatkan kualitas produk industri pertahanan dalam negeri diperlukan peningkatan riset dan pengembangan dengan mensinergikan Balitbang Dephan/TNI, Perguruan Tinggi, dan BUMN Strategis.
Gunarta - Perencana Bappenas
Referensi utama : Konsep RPJMN 2010 – 2014 Bidang Hankam, Nasional Summit 2009, dan Hasil Sosialisasi RPJM. Gambar diunduh dari nusantaranews.wordpress.com/…/