Senin, 07 Juni 2010

JIKA SEPEDA MOTOR DILARANG MENGGUNAKAN PREMIUM

Pada saat ini, pemerintah sedang mempertimbangkan pelarangan sepeda motor menggunakan Premium, terutama untuk sepeda motor produksi tahun-tahun baru. Wacana kebijakan ini untuk mengendalikan konsumsi BBM bersubsidi agar tidak membengkak seiring dengan pertumbuhan produksi sepeda motor. Di samping itu, masyarakat pengguna sepeda motor banyak yang mulai beralih menggunakan BBM non subsidi (pertamax), sehingga pemerintah menilai sudah saatnya subsidi BBM semakin dikurangi.

Wacana tersebut kontan menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Bagi yang pro menilai bahwa banyak keluarga di Indonesia yang memiliki lebih dari 1 unit sepeda motor. Pemilik kendaraan roda empat, juga banyak yang memiliki sepeda motor. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kepemilikan sepeda motor bukan sekedar untuk menghemat pengeluaran transportasi keluarga. Tetapi lebih pada kepraktisan dan mengatasi permasalahan kemacetan, khususnya di kota-kota besar. Kepemilikannyapun semakin memperhatikan keandalan (capasitas silider yang besar) dan kemewahan, sehingga dapat dijadikan simbol kesuksesan.

Sementara itu bagi yang kontra, pelarangan penggunaan Premium bagi sepeda motor dianggap sebagai kebijakan yang diskriminatif dan tidak peka terhadap kesulitan hidup rakyat. Mereka menilai lebih tepat jika kebijakan tersebut diberlakukan bagi kendaraan pribadi roda empat yang secara ekonomi lebih mapan dan paling banyak menerima subsidi. Pendapat lain mengatakan bahwa meskipun bukan merupakan kebijakan kenaikan harga BBM, kebijakan pelarangan sepeda motor menggunakan Premium diperkirakan akan menimbulkan dampak yang kurang lebih sama dengan kebijakan kenaikan harga BBM.

Meskipun wacana pelarangan sepeda motor menggunakan Premium tidak lagi dijadikan opsi dalam menekan penggunaan BBM bersubsidi (dibatalkan/ditunda), namun hal tersebut tentunya bukan kebijakan yang serampangan. Pemerintah pasti sudah memperhitungkan untung ruginya jika menerapkan hal tersebut. Terkait dengan hal ini, penulis mencoba menganalisa kira-kira dampak apa yang akan terjadi seandainya kebijakan tersebut jadi diterapkan.

Kebutuhan bensin untuk sepeda motor

Kebutuhan BBM secara nasional pertahun mencapai 62,93 juta kiloliter atau 172,41 ribu kiloliter perhari. Dari jumlah tersebut, negara memberikan subsidi sebanyak 36,5 juta kiloleter atau 58,0 persen dari kebutuhan nasional. Jumlah subsidi BBM yang terdiri dari solar, bensin Premium, dan minyak tanah rata-rata mencapai Rp. 2 ribu/liter, sehingga total subsidi BBM mencapai Rp.73 trilyun.

Menurut BPH Migas, jumlah sepeda motor Indonesia diperkirakan mencapai 35 juta unit dengan pertumbuhan rata-rata mencapai 5-6 persen atau 1,75 juta unit pertahun. Jika 1 unit sepeda motor memerlukan BBM 2 liter perhari, maka kebutuhan BBM akan mencapai 70 juta liter perhari. Jumlah ini setara dengan 40,6 persen kebutuhan BBM nasional atau mencapai 70 persen BBM bersubsidi. Dengan demikian, total kebutuhan subsidi sepeda motor mencapai Rp. 140 milyar/hari atau Rp.51,10 trilun/tahun.

Jika seorang pengguna sepeda motor dilarang menggunakan Premium dan dialihkan penggunaannya ke Pertamax, maka tambahan pengeluaran adalah Rp.4000/hari. Dengan demikian sebulan memerlukan tambahan pengeluaran sebesar Rp. 120.000 atau total pengeluaran BBM untuk sepeda motor menjadi Rp. 390.000. Tambahan ini cukup singifikan (sekitar 44,44 persen) bagi orang yang mengandalkan sepeda motor sebagai sarana transportasi.

Namun demikian, biaya BBM sepeda motor masih lebih murah dan lebih fleksibel bila dibandingkan dengan menggunakan transportasi umum. Untuk masyarakat yang tinggal di pinggiran Jakarta, naik kendaraan umum sekali jalan bisa 2 – 3 kali ganti sasana angkutan untuk sampai ke tempat kerja.

Seseorang yang tinggal di Depok misalnya, untuk mencapai tempat kerja dengan rute rumah – stasiun kereta – tempat kerja di kawasan Jalan Diponegoro, dengan sarana transportasi termurah minimal membutuhkan ongkos pulang - pergi sebesar Rp. 13.000. Jika menggunakan kereta express diperlukan tambahan sebesar Rp. 15.000. Jika ditambah naik ojek diperlukan tambahan sebesar Rp. 10.000, dan jika menggunakan taksi diperlukan tambahan yang lebih besar lagi. Sehingga untuk transportasi kerja dibutuhkan dana antara Rp. 13.000 – Rp. 35.000 perhari atau Rp. 286.000 – Rp.770.000,- perbulan.

Hitungan ini untuk satu orang, sedangkan motor bisa digunakan untuk 2 orang sehingga menjadi lebih murah lagi. Apabila memperhitungkan “cangkingan”, semisal sekalian menghantarkan anak sekolah, biayanya akan lebih murah lagi.

Dampak pelarangan sepeda motor menggunakan premium

Pengalihan penggunaan Premium ke Pertamax akan menimbulkan beberapa dampak positif, meskipun tidak menutup kemungkinan menimbulkan dampak negatif. Dampak negatif yang mungkin timbul adalah adanya gejolak sosial dan ekonomi berupa penolakan yang berpotensi anarkhis, tuntutan kenaikan upah buruh, tuntutan kenaikan tarif angkutan umum, inflasi, dan sebagainya meskipun semuanya itu akan menuju keseimbangan dengan sendirinya.

Pelarangan penggunaan Premium akan menekan tingkat polusi udara. Masyarakat akan bertindak lebih efisien dan cenderung akan menurunkan konsumsi BBM dan mengurangi aktivitas-aktivitas yang tidak begitu penting. Dampak ini sangat positif mengingat tingkat polusi udara sudah sedemikian parahnya, terutama di kota-kota besar.

Berdasarkan The US Environmental Protection Agency (EPA) dalam setiap galon bensin akan menghasilkan emisi karbon sebanyak 8,8 kg CO2 atau 2,3 kg CO2/liter. Jika 35 juta unit sepeda motor mengkonsumsi 2 liter bensin, maka akan menghasilkan emisi karbon sebanyak 161 ribu ton CO2/hari atau dalam setahun akan menghasilkan emisi karbon 58,76 juta ton CO2.

Seandainya kebijakan pelarangan penggunaan Premium berhasil menekan penggunaan BBM sebanyak setengah liter bensin/hari, maka akan menurunkan emisi karbon sebanyak 40,25 ribu ton CO2/hari atau dalam setahun akan menurunkan emisi karbon sebanyak 14,69 juta ton CO2. Seandainya berhasil, ini merupakan sumbangan yang cukup berarti bagi penanganan efek rumah kaca (global warming).

Bagi pemerintah, kebijakan pengalihan penggunaan Premium ke Pertamax adalah penghematan subsidi BBM. Maksimal penghematan subsidi BBM Rp.51,10 trilun/tahun. Penghematan ini dapat digunakan untuk subsidi yang lain seperti penciptaan lapangan kerja, pemberdayaan UKM, peningkatan pelayanan kesehatan dan pendidikan bagi masyarakat miskin, atau peningkatan kesejahteraan prajurit TNI/Polri.

Hitung-hitungan tersebut di atas kertas terkesan sederhana dan mudah untuk dipahami. Namun bagi masyarakat yang sedang mengalami kesulitan hidup, sulit untuk menerimanya. Mungkin untuk menambah pengeluaran Rp. 4000/perhari tidak terlalu berat, tetapi rentetan naiknya harga-harga yang lain yang menjadi keberatan masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah harus benar-benar mengkaji kebijakan tersebut. Jika kebijakan tersebut benar-benar dilaksanakan harus sangat selektif (tidak semua dilarang) dan jangan sampai terjadi penyimpangan.

Kesulitan yang dihadapi mungkin adalah bagaimana membedakan mana yang harus disubsidi dan yang tidak disubsidi. Apakah dibedakan berdasarkan tahun pembuatan, kapasitas silinder, atau yang lainnya. Barangkali perlu diciptakan mekanisme untuk membedakan mana yang harus disubsidi dan yang tidak disubsidi seperti pemasangan chip, pembedaan warna plat nomor kendaraan, atau pengenaan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi. Jika mekanisme ini diterapkan dan disertai pengawasan yang ketat, diharapkan penyimpangan dapat ditekan dan sasaran subsidi BBM dapat tercapai.

Gunarta
Staf Perencana Bappenas

Selasa, 01 Juni 2010

MENGAPA PEMENUHAN 20 PERSEN APBN PENDIDIKAN BELUM BERPENGARUH NYATA PADA KUALITAS PENDIDIKAN


Apabila kita mencermati pemberitaan tentang perkembangan dunia pendidikan, tampaknya mass media lebih menonjolkan kondisi pendidikan yang belum begitu menggembirakan. Media massa seringkali menyoroti kondisi bangunan sekolah yang tidak memadai seperti atap yang bocor, dinding yang berlobang-lobang, bangunan semi permanen, atau anak-anak yang belajar dengan fasilitas seadanya. Sangat jarang media massa menyoroti kualitas anak yang cerdas, berprestasi, penuh bakat meskipun berasal dari sekolah-sekolah di pelosok desa yang relatif sulit mendapat akses ke dunia luar.

Pemberitaan bad news tersebut seakan mempertanyakan peningkatan anggaran pendidikan yang telah mencapai angka 20 persen dari APBN, namun pada kenyataannya masih banyak kondisi sarana prasarana pendidikan yang kurang layak. Belum lagi masalah kualitas pendidikan yang belum meningkat secara signifikan apabila dikaitkan dengan seberapa lengkapnya sarana prasarana pendidikan, kualitas hasil pendidikan, keterterimaan hasil didik pada dunia kerja, tingkat penerapan teknologi pendidikan, serta yang paling mudah mengukurnya adalah tingkat kelulusan ujian nasional (UN) yang merupakan standar nasional kualitas pendidikan.

Tidak dapat disangkal lagi bahwa salah satu indikator keberhasilan belajar bagi siswa Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA/MA) adalah lulus UN. Lulus UN berarti akan ada transformasi jenjang pendidikan dari level dasar ke level menengah pertama, menengah atas (umum), atau ke bangku kuliah di perguruan tinggi. Menjadi jamak jika kelulusan UN acap diperlakukan sebagai puncak keberhasilan yang patut dirayakan dengan syukuran, berkonvoi keliling kota, atau coret moret baju seragam.

Sebaliknya bagi siswa yang tidak lulus UN, mereka akan meratapi dan menganggap usaha kerasnya selama ini tidak memetik hasil alias gagal. Kegagalan tersebut menyebabkan sebagian dari mereka mengalami depresi dan sedih berkepanjangan. Mereka tidak percaya kalau harus mengulang ujian UN yang menurut pandangan penulis hanya sebagai “bebungah” atau pelipur lara bagi para siswa yang gagal UN.

Berdasarkan pernyataan dari Mendiknas, secara nasional tingkat kelulusan SMU tahun 2010 menurun 4 persen dari tahun 2009, yakni dari 93,74 persen menjadi 89,88 persen. Total peserta UN tingkat SMA/MA tahun 2010 sebanyak 1.522.162 siswa, 154.079 siswa (10,12 persen) diantaranya mengulang dan jumlah yang tidak mengulang 1.368.083 siswa (89,88 persen). Provinsi dengan jumlah ketidaklulusan tinggi berada di wilayah timur Indonesia yaitu : Gorontalo (53 persen) Nusa Tenggara Timur/NTT (52,8 persen), dan Maluku Utara (41 persen), Sulawesi Tenggara /Sultra (35 persen) Kalimantan Timur/Kaltim (30 persen) dan Kalimantan Tengah/Kalteng (39 persen).

Untuk jenjang SMP, secara nasional tingkat kelulusannya juga mengalami penurunan. Tingkat kelulusan UN SMP/MTs/SMPT tahun 2010 turun 4,78 persen menjadi 90,27 persen dibanding tahun 2009 yang mencapai 95,05 persen. Jumlah siswa SMP/MTs/SMPT yang harus mengulang UN adalah sekitar 350.798 siswa dari sekitar 3.605.324 siswa. Sekolah yang terbanyak angka ketidaklulusannya, antara lain di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sebesar 39,87 persen dan Propinsi Gorontalo sebesar 38,80 persen. Sedangkan angka ketidaklulusan terendah di Propinsi Bali yakni 1,4 persen.

Sedangkan untuk kelulusan UN Sekolah Dasar, akan ditentukan sekitar tanggal 19 Juni 2010. Apabila proses pelaksanaannya tidak jauh berbeda dengan pelaksanaan UN SMA/MA dan SMP/MTs/SMPT, maka diprediksikan hasilnya juga akan mengalami penurunan.

Jika selama ini yang dikeluhkan adalah masalah keterbatasan anggaran pendidikan, maka sesuai dengan amandemen UUD 45, anggaran pendidikan dalam beberapa tahun ke belakang secara bertahap telah mencapai 20 persen dari APBN. Namun ironisnya, kualitas pendidikan yang dilihat dari tingkat kelulusan UN justru mengalami penurunan.

Mungkin masih terlalu dini untuk mengukur dampak 20 % APBN pendidikan, karena pemenuhannya baru tercapai dalam tahuan 2009 dan 2010. Namun secara gradual upaya pemenuhan 20 % APBN pendidikan telah dilakukan sejak tahun 2005, sehingga seharusnya dampaknya sudah mulai terlihat. Realitasnya, mutu pendidikan belum juga meningkat secara signifikan dengan trend menurun.

Ironi yang lain dari peningkatan APBN pendidikan tersebut adalah bukannya biaya pendidikan menjadi semakin murah, tetapi justru biaya pendidikan yang harus ditanggung oleh masyarakat menjadi semakin mahal. Akibatnya fenomena menara gading muncul kembali, di mana hanya orang-orang tertentu yang bisa mencapai puncak menara.

Untuk masuk perguruan tinggi ternyata tidak hanya bermodal otak encer, tetapi kantong juga harus tebal. Tanpa dana yang lebih besar, jangan harap bisa memasuki perguruan tinggi favorit. Begitu dinyatakan lulus seleksi, calon mahasiswa disodori kesediaan untuk membayar uang pembangunan (uang gedung) yang jumlahnya puluhan, bahkan ratusan juta. Bahkan untuk masuk SMP atau SMA unggulan yang dikemas SBI, orang tua murid harus mengeluarkan dana awal sampai dengan 30 jutaan.

Anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN, sepertinya lebih banyak digunakan untuk meningkatkan akses pendidikan bagi warga negara termasuk pembangunan infrastruktur pendidikan, kualitas pendidik, dan meningkatkan kesejahteraan guru. Alokasi untuk meningkatkan kualitas pendidikan dengan aspek teknologi masih sangat kurang. Hal tersebut dapat dilihat pada prioritas pembangunan pendidikan yang tercantum dalam dokumen RPJMN 2010 – 2014 Buku II Bidang Sosial Budaya dan Kehidupan Beragama.

Menurut dokumen tersebut, untuk mencapai keluasan dan kemerataan akses pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan tinggi yang bermutu dan berdaya saing internasional, serta pendidikan non formal yang bermutu dan relevan dengan kebutuhan masyarakat dialokasikan sebesar Rp. 313,41 trilyun.

Untuk mencapai kemerataan guru dan tenaga kependidikan yang bermutu, antar propinsi, kabupaten dan kota dialokasikan sebesar Rp. 114,39 trilyun. Untuk mencapai meningkatnya layanan perpustakaan, pelestarian fisik dan kandungan naskah kuno dan budaya gemar membaca di masyarakat dialokasikan anggaran sebesar Rp. 1,34 trilyun. Untuk meningkatnya kualitas pendidikan agama dan keagamaan dialokasikan anggaran sebesar Rp. 4,14 trilyun. Selanjutnya untuk mencapai makin mantapnya pelaksanaan sistem pendidikan nasional dialokasikan anggaran sebesar Rp. 27,89 trilyun.

Anggaran yang cukup besar tersebut sebagain besar untuk kegiatan pemberian bantuan operasional sekolah (BOS) dan bantuan operasional managemen mutu (BOMM), pemberian beasiswa siswa/mahasiswa miskin, penguatan tata kelola dan sistem pengendalian di lingkungan Ditjen Dikti dan Perguruan Tinggi, sertifikasi dan beasiswa bagi pendidik sekolah dasar dan menengah, serta tunjangan profesi dan fungsional guru.

Berbagai kegiatan tersebut tampaknya lebih pada upaya peletakan dasar (fondasi) pendidikan, belum pada upaya meningkatkan kualitas pendidikan. Oleh karena itu, hasilnya belum tampak secara nyata. Para birokrat dan praktisi pendidikan masih sibuk memperjuangkan institusi dan hak-hak pendidik, sehingga tidak terlalu fokus pada pencapaian kualitas pendidikan, setidaknya pada jangka pendek.

Anggaran pendidikan menurut hemat penulis, sebaiknya mulai dipikirkan untuk lebih meningkatkan standar pendidikan. Salah satunya melalui penyetaraan kurikulum pendidikan. Kurikulum pendidikan memang sudah dibuat, tetapi kenyataannya hanya sebagian kecil sekolah mampu melaksanakan standar kurikulum dengan optimal. Itupun karena didukung dengan biaya yang mahal yang harus ditanggung orang tua murid.

Jika setiap sekolah dibuat mampu melaksakanan standar kurikulum, maka kisruh kelulusan Ujian Akhir Nasional tidak akan terjadi lagi. Ini adalah tugas yang sangat berat dan membutuhkan kerelaan dan pengorbanan para birokrat dan praktisi pendidikan. Tidak dapat dipungkiri apabila para birokrat pendidikan saat ini lebih senang “mroyek” di bidang pendidikan. Artinya mereka mencari penghidupan di bidang ini dan tidak terlalu peduli akan hasil proyeknya.

Di sisi lain, para praktisi pendidikan menjadikan bidang pendidikan sebagai ladang bisnis yang profit oriented. Makanya tidak jarang, antara birokrat dan praktisi bisnis terjebak dalam konspirasi yang menguntungkan kedua belah pihak, tetapi merugikan dunia pendidikan. Ujung-ujungnya, banyak birokrasi pendidikan berperkara dengan aparat penegak hukum.

Gunarta
Staf Perencana Bappenas