Apabila kita mencermati pemberitaan tentang perkembangan dunia pendidikan, tampaknya mass media lebih menonjolkan kondisi pendidikan yang belum begitu menggembirakan. Media massa seringkali menyoroti kondisi bangunan sekolah yang tidak memadai seperti atap yang bocor, dinding yang berlobang-lobang, bangunan semi permanen, atau anak-anak yang belajar dengan fasilitas seadanya. Sangat jarang media massa menyoroti kualitas anak yang cerdas, berprestasi, penuh bakat meskipun berasal dari sekolah-sekolah di pelosok desa yang relatif sulit mendapat akses ke dunia luar.
Pemberitaan bad news tersebut seakan mempertanyakan peningkatan anggaran pendidikan yang telah mencapai angka 20 persen dari APBN, namun pada kenyataannya masih banyak kondisi sarana prasarana pendidikan yang kurang layak. Belum lagi masalah kualitas pendidikan yang belum meningkat secara signifikan apabila dikaitkan dengan seberapa lengkapnya sarana prasarana pendidikan, kualitas hasil pendidikan, keterterimaan hasil didik pada dunia kerja, tingkat penerapan teknologi pendidikan, serta yang paling mudah mengukurnya adalah tingkat kelulusan ujian nasional (UN) yang merupakan standar nasional kualitas pendidikan.
Tidak dapat disangkal lagi bahwa salah satu indikator keberhasilan belajar bagi siswa Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA/MA) adalah lulus UN. Lulus UN berarti akan ada transformasi jenjang pendidikan dari level dasar ke level menengah pertama, menengah atas (umum), atau ke bangku kuliah di perguruan tinggi. Menjadi jamak jika kelulusan UN acap diperlakukan sebagai puncak keberhasilan yang patut dirayakan dengan syukuran, berkonvoi keliling kota, atau coret moret baju seragam.
Sebaliknya bagi siswa yang tidak lulus UN, mereka akan meratapi dan menganggap usaha kerasnya selama ini tidak memetik hasil alias gagal. Kegagalan tersebut menyebabkan sebagian dari mereka mengalami depresi dan sedih berkepanjangan. Mereka tidak percaya kalau harus mengulang ujian UN yang menurut pandangan penulis hanya sebagai “bebungah” atau pelipur lara bagi para siswa yang gagal UN.
Berdasarkan pernyataan dari Mendiknas, secara nasional tingkat kelulusan SMU tahun 2010 menurun 4 persen dari tahun 2009, yakni dari 93,74 persen menjadi 89,88 persen. Total peserta UN tingkat SMA/MA tahun 2010 sebanyak 1.522.162 siswa, 154.079 siswa (10,12 persen) diantaranya mengulang dan jumlah yang tidak mengulang 1.368.083 siswa (89,88 persen). Provinsi dengan jumlah ketidaklulusan tinggi berada di wilayah timur Indonesia yaitu : Gorontalo (53 persen) Nusa Tenggara Timur/NTT (52,8 persen), dan Maluku Utara (41 persen), Sulawesi Tenggara /Sultra (35 persen) Kalimantan Timur/Kaltim (30 persen) dan Kalimantan Tengah/Kalteng (39 persen).
Untuk jenjang SMP, secara nasional tingkat kelulusannya juga mengalami penurunan. Tingkat kelulusan UN SMP/MTs/SMPT tahun 2010 turun 4,78 persen menjadi 90,27 persen dibanding tahun 2009 yang mencapai 95,05 persen. Jumlah siswa SMP/MTs/SMPT yang harus mengulang UN adalah sekitar 350.798 siswa dari sekitar 3.605.324 siswa. Sekolah yang terbanyak angka ketidaklulusannya, antara lain di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sebesar 39,87 persen dan Propinsi Gorontalo sebesar 38,80 persen. Sedangkan angka ketidaklulusan terendah di Propinsi Bali yakni 1,4 persen.
Sedangkan untuk kelulusan UN Sekolah Dasar, akan ditentukan sekitar tanggal 19 Juni 2010. Apabila proses pelaksanaannya tidak jauh berbeda dengan pelaksanaan UN SMA/MA dan SMP/MTs/SMPT, maka diprediksikan hasilnya juga akan mengalami penurunan.
Jika selama ini yang dikeluhkan adalah masalah keterbatasan anggaran pendidikan, maka sesuai dengan amandemen UUD 45, anggaran pendidikan dalam beberapa tahun ke belakang secara bertahap telah mencapai 20 persen dari APBN. Namun ironisnya, kualitas pendidikan yang dilihat dari tingkat kelulusan UN justru mengalami penurunan.
Mungkin masih terlalu dini untuk mengukur dampak 20 % APBN pendidikan, karena pemenuhannya baru tercapai dalam tahuan 2009 dan 2010. Namun secara gradual upaya pemenuhan 20 % APBN pendidikan telah dilakukan sejak tahun 2005, sehingga seharusnya dampaknya sudah mulai terlihat. Realitasnya, mutu pendidikan belum juga meningkat secara signifikan dengan trend menurun.
Ironi yang lain dari peningkatan APBN pendidikan tersebut adalah bukannya biaya pendidikan menjadi semakin murah, tetapi justru biaya pendidikan yang harus ditanggung oleh masyarakat menjadi semakin mahal. Akibatnya fenomena menara gading muncul kembali, di mana hanya orang-orang tertentu yang bisa mencapai puncak menara.
Untuk masuk perguruan tinggi ternyata tidak hanya bermodal otak encer, tetapi kantong juga harus tebal. Tanpa dana yang lebih besar, jangan harap bisa memasuki perguruan tinggi favorit. Begitu dinyatakan lulus seleksi, calon mahasiswa disodori kesediaan untuk membayar uang pembangunan (uang gedung) yang jumlahnya puluhan, bahkan ratusan juta. Bahkan untuk masuk SMP atau SMA unggulan yang dikemas SBI, orang tua murid harus mengeluarkan dana awal sampai dengan 30 jutaan.
Anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN, sepertinya lebih banyak digunakan untuk meningkatkan akses pendidikan bagi warga negara termasuk pembangunan infrastruktur pendidikan, kualitas pendidik, dan meningkatkan kesejahteraan guru. Alokasi untuk meningkatkan kualitas pendidikan dengan aspek teknologi masih sangat kurang. Hal tersebut dapat dilihat pada prioritas pembangunan pendidikan yang tercantum dalam dokumen RPJMN 2010 – 2014 Buku II Bidang Sosial Budaya dan Kehidupan Beragama.
Menurut dokumen tersebut, untuk mencapai keluasan dan kemerataan akses pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan tinggi yang bermutu dan berdaya saing internasional, serta pendidikan non formal yang bermutu dan relevan dengan kebutuhan masyarakat dialokasikan sebesar Rp. 313,41 trilyun.
Untuk mencapai kemerataan guru dan tenaga kependidikan yang bermutu, antar propinsi, kabupaten dan kota dialokasikan sebesar Rp. 114,39 trilyun. Untuk mencapai meningkatnya layanan perpustakaan, pelestarian fisik dan kandungan naskah kuno dan budaya gemar membaca di masyarakat dialokasikan anggaran sebesar Rp. 1,34 trilyun. Untuk meningkatnya kualitas pendidikan agama dan keagamaan dialokasikan anggaran sebesar Rp. 4,14 trilyun. Selanjutnya untuk mencapai makin mantapnya pelaksanaan sistem pendidikan nasional dialokasikan anggaran sebesar Rp. 27,89 trilyun.
Anggaran yang cukup besar tersebut sebagain besar untuk kegiatan pemberian bantuan operasional sekolah (BOS) dan bantuan operasional managemen mutu (BOMM), pemberian beasiswa siswa/mahasiswa miskin, penguatan tata kelola dan sistem pengendalian di lingkungan Ditjen Dikti dan Perguruan Tinggi, sertifikasi dan beasiswa bagi pendidik sekolah dasar dan menengah, serta tunjangan profesi dan fungsional guru.
Berbagai kegiatan tersebut tampaknya lebih pada upaya peletakan dasar (fondasi) pendidikan, belum pada upaya meningkatkan kualitas pendidikan. Oleh karena itu, hasilnya belum tampak secara nyata. Para birokrat dan praktisi pendidikan masih sibuk memperjuangkan institusi dan hak-hak pendidik, sehingga tidak terlalu fokus pada pencapaian kualitas pendidikan, setidaknya pada jangka pendek.
Anggaran pendidikan menurut hemat penulis, sebaiknya mulai dipikirkan untuk lebih meningkatkan standar pendidikan. Salah satunya melalui penyetaraan kurikulum pendidikan. Kurikulum pendidikan memang sudah dibuat, tetapi kenyataannya hanya sebagian kecil sekolah mampu melaksanakan standar kurikulum dengan optimal. Itupun karena didukung dengan biaya yang mahal yang harus ditanggung orang tua murid.
Jika setiap sekolah dibuat mampu melaksakanan standar kurikulum, maka kisruh kelulusan Ujian Akhir Nasional tidak akan terjadi lagi. Ini adalah tugas yang sangat berat dan membutuhkan kerelaan dan pengorbanan para birokrat dan praktisi pendidikan. Tidak dapat dipungkiri apabila para birokrat pendidikan saat ini lebih senang “mroyek” di bidang pendidikan. Artinya mereka mencari penghidupan di bidang ini dan tidak terlalu peduli akan hasil proyeknya.
Di sisi lain, para praktisi pendidikan menjadikan bidang pendidikan sebagai ladang bisnis yang profit oriented. Makanya tidak jarang, antara birokrat dan praktisi bisnis terjebak dalam konspirasi yang menguntungkan kedua belah pihak, tetapi merugikan dunia pendidikan. Ujung-ujungnya, banyak birokrasi pendidikan berperkara dengan aparat penegak hukum.
Gunarta
Staf Perencana Bappenas
Pemberitaan bad news tersebut seakan mempertanyakan peningkatan anggaran pendidikan yang telah mencapai angka 20 persen dari APBN, namun pada kenyataannya masih banyak kondisi sarana prasarana pendidikan yang kurang layak. Belum lagi masalah kualitas pendidikan yang belum meningkat secara signifikan apabila dikaitkan dengan seberapa lengkapnya sarana prasarana pendidikan, kualitas hasil pendidikan, keterterimaan hasil didik pada dunia kerja, tingkat penerapan teknologi pendidikan, serta yang paling mudah mengukurnya adalah tingkat kelulusan ujian nasional (UN) yang merupakan standar nasional kualitas pendidikan.
Tidak dapat disangkal lagi bahwa salah satu indikator keberhasilan belajar bagi siswa Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA/MA) adalah lulus UN. Lulus UN berarti akan ada transformasi jenjang pendidikan dari level dasar ke level menengah pertama, menengah atas (umum), atau ke bangku kuliah di perguruan tinggi. Menjadi jamak jika kelulusan UN acap diperlakukan sebagai puncak keberhasilan yang patut dirayakan dengan syukuran, berkonvoi keliling kota, atau coret moret baju seragam.
Sebaliknya bagi siswa yang tidak lulus UN, mereka akan meratapi dan menganggap usaha kerasnya selama ini tidak memetik hasil alias gagal. Kegagalan tersebut menyebabkan sebagian dari mereka mengalami depresi dan sedih berkepanjangan. Mereka tidak percaya kalau harus mengulang ujian UN yang menurut pandangan penulis hanya sebagai “bebungah” atau pelipur lara bagi para siswa yang gagal UN.
Berdasarkan pernyataan dari Mendiknas, secara nasional tingkat kelulusan SMU tahun 2010 menurun 4 persen dari tahun 2009, yakni dari 93,74 persen menjadi 89,88 persen. Total peserta UN tingkat SMA/MA tahun 2010 sebanyak 1.522.162 siswa, 154.079 siswa (10,12 persen) diantaranya mengulang dan jumlah yang tidak mengulang 1.368.083 siswa (89,88 persen). Provinsi dengan jumlah ketidaklulusan tinggi berada di wilayah timur Indonesia yaitu : Gorontalo (53 persen) Nusa Tenggara Timur/NTT (52,8 persen), dan Maluku Utara (41 persen), Sulawesi Tenggara /Sultra (35 persen) Kalimantan Timur/Kaltim (30 persen) dan Kalimantan Tengah/Kalteng (39 persen).
Untuk jenjang SMP, secara nasional tingkat kelulusannya juga mengalami penurunan. Tingkat kelulusan UN SMP/MTs/SMPT tahun 2010 turun 4,78 persen menjadi 90,27 persen dibanding tahun 2009 yang mencapai 95,05 persen. Jumlah siswa SMP/MTs/SMPT yang harus mengulang UN adalah sekitar 350.798 siswa dari sekitar 3.605.324 siswa. Sekolah yang terbanyak angka ketidaklulusannya, antara lain di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sebesar 39,87 persen dan Propinsi Gorontalo sebesar 38,80 persen. Sedangkan angka ketidaklulusan terendah di Propinsi Bali yakni 1,4 persen.
Sedangkan untuk kelulusan UN Sekolah Dasar, akan ditentukan sekitar tanggal 19 Juni 2010. Apabila proses pelaksanaannya tidak jauh berbeda dengan pelaksanaan UN SMA/MA dan SMP/MTs/SMPT, maka diprediksikan hasilnya juga akan mengalami penurunan.
Jika selama ini yang dikeluhkan adalah masalah keterbatasan anggaran pendidikan, maka sesuai dengan amandemen UUD 45, anggaran pendidikan dalam beberapa tahun ke belakang secara bertahap telah mencapai 20 persen dari APBN. Namun ironisnya, kualitas pendidikan yang dilihat dari tingkat kelulusan UN justru mengalami penurunan.
Mungkin masih terlalu dini untuk mengukur dampak 20 % APBN pendidikan, karena pemenuhannya baru tercapai dalam tahuan 2009 dan 2010. Namun secara gradual upaya pemenuhan 20 % APBN pendidikan telah dilakukan sejak tahun 2005, sehingga seharusnya dampaknya sudah mulai terlihat. Realitasnya, mutu pendidikan belum juga meningkat secara signifikan dengan trend menurun.
Ironi yang lain dari peningkatan APBN pendidikan tersebut adalah bukannya biaya pendidikan menjadi semakin murah, tetapi justru biaya pendidikan yang harus ditanggung oleh masyarakat menjadi semakin mahal. Akibatnya fenomena menara gading muncul kembali, di mana hanya orang-orang tertentu yang bisa mencapai puncak menara.
Untuk masuk perguruan tinggi ternyata tidak hanya bermodal otak encer, tetapi kantong juga harus tebal. Tanpa dana yang lebih besar, jangan harap bisa memasuki perguruan tinggi favorit. Begitu dinyatakan lulus seleksi, calon mahasiswa disodori kesediaan untuk membayar uang pembangunan (uang gedung) yang jumlahnya puluhan, bahkan ratusan juta. Bahkan untuk masuk SMP atau SMA unggulan yang dikemas SBI, orang tua murid harus mengeluarkan dana awal sampai dengan 30 jutaan.
Anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN, sepertinya lebih banyak digunakan untuk meningkatkan akses pendidikan bagi warga negara termasuk pembangunan infrastruktur pendidikan, kualitas pendidik, dan meningkatkan kesejahteraan guru. Alokasi untuk meningkatkan kualitas pendidikan dengan aspek teknologi masih sangat kurang. Hal tersebut dapat dilihat pada prioritas pembangunan pendidikan yang tercantum dalam dokumen RPJMN 2010 – 2014 Buku II Bidang Sosial Budaya dan Kehidupan Beragama.
Menurut dokumen tersebut, untuk mencapai keluasan dan kemerataan akses pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan tinggi yang bermutu dan berdaya saing internasional, serta pendidikan non formal yang bermutu dan relevan dengan kebutuhan masyarakat dialokasikan sebesar Rp. 313,41 trilyun.
Untuk mencapai kemerataan guru dan tenaga kependidikan yang bermutu, antar propinsi, kabupaten dan kota dialokasikan sebesar Rp. 114,39 trilyun. Untuk mencapai meningkatnya layanan perpustakaan, pelestarian fisik dan kandungan naskah kuno dan budaya gemar membaca di masyarakat dialokasikan anggaran sebesar Rp. 1,34 trilyun. Untuk meningkatnya kualitas pendidikan agama dan keagamaan dialokasikan anggaran sebesar Rp. 4,14 trilyun. Selanjutnya untuk mencapai makin mantapnya pelaksanaan sistem pendidikan nasional dialokasikan anggaran sebesar Rp. 27,89 trilyun.
Anggaran yang cukup besar tersebut sebagain besar untuk kegiatan pemberian bantuan operasional sekolah (BOS) dan bantuan operasional managemen mutu (BOMM), pemberian beasiswa siswa/mahasiswa miskin, penguatan tata kelola dan sistem pengendalian di lingkungan Ditjen Dikti dan Perguruan Tinggi, sertifikasi dan beasiswa bagi pendidik sekolah dasar dan menengah, serta tunjangan profesi dan fungsional guru.
Berbagai kegiatan tersebut tampaknya lebih pada upaya peletakan dasar (fondasi) pendidikan, belum pada upaya meningkatkan kualitas pendidikan. Oleh karena itu, hasilnya belum tampak secara nyata. Para birokrat dan praktisi pendidikan masih sibuk memperjuangkan institusi dan hak-hak pendidik, sehingga tidak terlalu fokus pada pencapaian kualitas pendidikan, setidaknya pada jangka pendek.
Anggaran pendidikan menurut hemat penulis, sebaiknya mulai dipikirkan untuk lebih meningkatkan standar pendidikan. Salah satunya melalui penyetaraan kurikulum pendidikan. Kurikulum pendidikan memang sudah dibuat, tetapi kenyataannya hanya sebagian kecil sekolah mampu melaksanakan standar kurikulum dengan optimal. Itupun karena didukung dengan biaya yang mahal yang harus ditanggung orang tua murid.
Jika setiap sekolah dibuat mampu melaksakanan standar kurikulum, maka kisruh kelulusan Ujian Akhir Nasional tidak akan terjadi lagi. Ini adalah tugas yang sangat berat dan membutuhkan kerelaan dan pengorbanan para birokrat dan praktisi pendidikan. Tidak dapat dipungkiri apabila para birokrat pendidikan saat ini lebih senang “mroyek” di bidang pendidikan. Artinya mereka mencari penghidupan di bidang ini dan tidak terlalu peduli akan hasil proyeknya.
Di sisi lain, para praktisi pendidikan menjadikan bidang pendidikan sebagai ladang bisnis yang profit oriented. Makanya tidak jarang, antara birokrat dan praktisi bisnis terjebak dalam konspirasi yang menguntungkan kedua belah pihak, tetapi merugikan dunia pendidikan. Ujung-ujungnya, banyak birokrasi pendidikan berperkara dengan aparat penegak hukum.
Gunarta
Staf Perencana Bappenas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar