Selasa, 11 Mei 2010

SENSUS PENDUDUK , HANYA TEMPEL STIKER ?

Mulai tanggal 1 Mei sampai dengan 31 Mei 2010, Pemerintah Indonesia menggelar kembali sensus penduduk. Sensus kali ini adalah merupakan sensus ke-6 setelah tahun 1961, 1971, 1980, 1990 dan 2000. Kabarnya pelaksanaan sensus kali ini menelan biaya sekitar 5-6 Triliun rupiah, dengan melibatkan sekitar 700.000 tim yang akan memonitor langsung pelaksanaannya di seluruh Indonesia. Mudah-mudahan dana sebesar ini tidak mubazir karena hasil sensus tidak valid, layaknya data Balai Desa yang kadangkala tidak berubah dari tahun ke tahun. Masih ingat waktu kuliah dulu, ketika Tugas Lapangan di suatu desa di Jawa Tengah, penulis buka buku potensi desa yang cukup rapi dan bersih. Dalam buku tersebut tertulis data jumlah ternak selama 5 tahun terakhir jumlahnya sama, yaitu sapi 41 ekor, kambing 126 ekor, ayam 3501 ekor.

Sudah menjadi kewajiban bagi warga negara untuk mensukseskan pelaksanaan Sensus Penduduk 2010. Keterlibatan warga negara secara aktif akan menentukan validitas data pembangunan Indonesia yang selama jeda sensus hanya didasarkan pada asumsi, proyeksi, atau survey yang seringkali penyimpangannya (deviasi) cukup tinggi.

Sensus penduduk dilaksanakan secara door to door, di mana setiap petugas sensus melakukan pendataan dari rumah ke rumah. Dengan metode ini diharapkan tidak akan ada rumah tangga yang terlewatkan, sehingga missing data tidak akan terjadi. Bahkan dengan metode ini, Kepala BPS berani menjamin bahwa semua rumah tangga akan terdata, desa terpelosok sekalipun tidak akan luput dari pendataan.

Dalam kunjungan petugas sensus, rumah tangga akan disodori sebanyak 43 pertanyaan. Secara pasti, penulis belum tahu substansi apa saja yang ditanyakan para petugas sensus, karena penulis belum merasa disensus. Namun berdasarkan hasil googling, pertanyaan sensus adalah seputar kondisi dan fasilitas perumahan dan bangunan tempat tinggal, karakteristik rumah tangga dan keterangan individu anggota rumah tangga.

Namun demikian, secara pribadi penulis agak menyangsikan hasil sensus kali ini. Kesangsian ini didasari pada penglihatan pelaksanaan sensus di tempat tinggal penulis. Penulis tinggal di Kampung Kupu Rangkapan Jaya Depok. Pada hari Minggu 2 Mei 2010, ada sejumlah ibu-ibu mengenakan rompi Sensus 2010 berjalan-jalan di depan rumah penulis. Penulis melihat dari dalam rumah, salah seorang dari tim itu menuju rumah. Penulis sudah siap-siap menyambutnya sebagai bentuk dukungan terhadap pelaksanaan Sensus Penduduk 2010.

“Assalamualaikum pak, Sensus Penduduk”.

Baru siap-siap mau keluar, petugas itu sudah mengeloyor meninggalkan rumah penulis dengan meninggalkan tempelan stiker di kaca jendela penulis. Agak kecewa juga. Apakah sensus hanya sekedar tempel stiker, tidak ada wawancara ? Padahal pintu rumah terbuka dan penulis beserta keluarga sudah siap-siap menjawab segala pertanyaan sejujur mungkin.

Katakanlah, petugas sensus berinisiatif mengambil data sekunder yang tersedia di kantor Rukun Tetangga ( RT). Namun, data RT-pun, sangat mungkin tidak pernah di-up date baik oleh petugas RT maupun oleh warga yang tinggal di wilayah RT tersebut. Hal ini dapat dimaklumi kalau petugas RT berlaku pasif dalam hal data kependudukan, mengingat jabatan ketua RT merupakan jabatan sosial, sukarela, dan tidak dibayar. Ketua RT akan bergerak jika ada insentif atau ada permintaan dari RW atau kelurahan.

Apabila petugas sensus mengutamakan pendataan bangunan fisik sesuai dengan kelas bangunan, mungkin hasilnya mendekati valid karena para petugas berkeliling kampung sambil menjumlah serta mengkategorikan kelas bangunan. Namun ketika hanya melihat bangunan fisik dari luar, sangat mungkin petugas sensus akan terkecoh dengan data pandangan mata dari fisik bangunan. Sebuah bangunan kadangkala dari luar terlihat bagus, tetapi bagian dalamnya mungkin “glondang” (kosong), tidak ada perabot rumah tangga, tidak ada kendaraan, atau barang-barang lain yang merupakan elemen penentu kriteria kelas bangunan. Hal sebaliknya, rumah yang dari luar tampak jelek, sangat mungkin dalamnya terdapat perabot rumah tangga yang lengkap, mewah, dan berkelas. Jadi, akan tidak bijak apabila petugas sensus tidak melakukan kunjungan rumah tangga.

Lantas dengan data yang lain bagaimana ? Jumlah penduduk, mungkin masih bisa didapat secara sekunder dari data RT karena di kantor (rumah) RT tersimpan kartu keluarga (kartu KK). Tetapi bagaimana data tentang pekerjaan warga? Kalau warga yang bermatapencaharian sebagai PNS atau TNI/Polri, hampir dipastikan tidak mengalami perubahan. Sementara data mata pencaharian warga seperti buruh, petani, bangunan, pegawai pabrik, jasa angkutan, jasa keuangan dan sebagainya sangat mungkin berubah setiap saat. Jadi, sangat mungkin data kependudukan yang ada di ketua RT terkait dengan mata pencaharian, tidak banyak berubah dalam beberapa tahun alias stagnan. Dengan demikian, petugas sensus memang harus mendatangi rumah tangga secara door to door,melakukan wawancara mendalam, dan tidak sekedar tempel stiker lantas ngeloyor pergi.

Akhirnya, secara pribadi penulis mengharapkan kepada pejabat Biro Pusat Statistik dapat melakukan Sensus Penduduk 2010 ini dengan mentaati metodologi yang telah dibuat. Penyimpangan dari metode yang telah ditetapkan akan berakibat hasil sensus tidak sesuai dengan yang diharapkan dan berujung pada kurang validnya data. Data pemangunan yang kurang valid, akan berakibat pada tidak tepatnya sasaran pembangunan yang ingin dicapai, baik sasaran jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka panjang.


Gunarta
PNS Bappenas

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Perkenalkan, saya dari tim kumpulbagi. Saya ingin tau, apakah kiranya anda berencana untuk mengoleksi files menggunakan hosting yang baru?
Jika ya, silahkan kunjungi website ini www.kbagi.com untuk info selengkapnya.

Di sana anda bisa dengan bebas share dan mendowload foto-foto keluarga dan trip, music, video, filem dll dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)