Rabu, 05 Mei 2010

PENGGUNA NARKOTIKA TIDAK LAGI DIHUKUM, TETAPI WAJIB MELAKSANAKAN REHABILITASI


Pada tanggal 12 Oktober 2009, pemerintah menetapkan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Undang-Undang ini merupakan pengganti dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang untuk menanggulangi dan memberantas tindak pidana nakotika. Realitasnya kondisi saat ini tindak pidana Narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan sudah banyak menimbulkan korban, terutama di kalangan generasi muda bangsa yang sangat membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.

Undang-Undang baru ini memberikan perlakukan yang berbeda bagi pelaku penyalahgunaan narkoba. Sebelum undang-undang ini berlaku, tidak ada perbedaan perlakuan antara pengguna pengedar, bandar, maupun produsen narkoba, sama-sama dipenjara baik di Lapas umum maupun Lapas khusus narkoba. Kita masih ingat beberapa figure masyarakat dan artis terkenal dipenjara karena menggunakan narkoba, bahkan ada yang sampai 2 kali menjalani hukuman karena sudah kecanduan. Perlakuan yang tidak berbeda didasari pada hasil penyelidikan dan penyidikan bahwa antara pengguna pengedar narkoba, bandar, maupun produsen seringkali saling terkait erat dan sulit dibedakan. Artinya seorang pengguna pada akhirnya akan terjebak dalam lingkaran mafia narkoba ketika sudah tidak memiliki dana untuk memenuhi kecanduannya.

Pengguna atau pecandu sebenarnya bukan pelaku penyalahgunaan narkoba, lebih tepatnya adalah korban dari sindikat narkoba. Oleh karena itu, para pengguna atau pecandu lebih tepat disembuhkan melalui rehabilitasi. Pasal-pasal terkait dengan kewajiban melakukan rehabilitasi yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 adalah sebagaimana ditampilkan dalam uraian berikut ini.

Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial (pasal 54). Rehabilitasi Medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan Narkotika (pasal 1 no 16). Sedangkan rehabilitasi Sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu Narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat (pasal 1 nomor 17).

Orang tua atau wali dari Pecandu Narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial (pasal 55 (1)). Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial (pasal 55 (2)).

Rehabilitasi medis Pecandu Narkotika dilakukan di rumah sakit yang ditunjuk oleh Menteri (pasal 56 (1)). Lembaga rehabilitasi tertentu yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat dapat melakukan rehabilitasi medis Pecandu Narkotika setelah mendapat persetujuan Menteri (pasal 56 (2)). Selain melalui pengobatan dan/atau rehabilitasi medis, penyembuhan Pecandu Narkotika dapat diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat melalui pendekatan keagamaan dan tradisional (pasal 57). Rehabilitasi sosial mantan Pecandu Narkotika diselenggarakan baik oleh instansi pemerintah maupun oleh masyarakat (pasal 58).

Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat: (a) memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika; atau (b) menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika (pasal 103 (1)). Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi Pecandu Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman (pasal 103 (2)).

Setiap Penyalah Guna: (a) Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun; (b) b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan (c) Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun (pasal 127 (1)). Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103 (pasal 127 (2)). Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial (pasal 127 (2)).

Orang tua atau wali dari pecandu yang belum cukup umur, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) yang sengaja tidak melapor, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) (Pasal 128 (1)). Pecandu Narkotika yang belum cukup umur dan telah dilaporkan oleh orang tua atau walinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) tidak dituntut pidana (Pasal 128 (2)). Pecandu Narkotika yang telah cukup umur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) yang sedang menjalani rehabilitasi medis 2 (dua) kali masa perawatan dokter di rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis yang ditunjuk oleh pemerintah tidak dituntut pidana (Pasal 128 (3)). Rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus memenuhi standar kesehatan yang ditetapkan oleh Menteri (Pasal 128 (4)).

Dari beberapa pasal tersebut, paling tidak masyarakat dapat memetik tiga keuntungan dengan diberlakukannya Undang-Undang ini. Pertama, masyarakat tidak perlu lagi takut mendapatkan aib akan perilaku keluarganya yang menjadi korban penyalahgunaan narkoba. Statusnya yang bukan sebagai narapidana, akan memberikan sugesti bagi keluarga layaknya melakukan perawatan bagi keluarganya yang sakit.

Kedua, keluarga korban tidak lagi khawatir lagi akan terjadinya peningkatan status dari korban menjadi pelaku penyalahgunaan narkoba. Sangat mungkin korban narkoba yang sedang menjalani hukuman, bukannya menjadi sadar, tetapi menjadi lebih “ahli” yang dikemudian hari justru menjadi pelaku. Ketiga, melalui lembaga Terapi dan Rehabilitasi, pemerintah akan membantu upaya penyembuhan dengan pembiayaan ditanggung oleh pemerintah. Ini akan sangat membantu bagi keluarga korban narkoba, karena kalau dilakukan secara mandiri membutuhkan pembiayaan yang cukup besar.

Gunarta
gambar diambil dari : www.stefanusmanja.wordpress.com

Tidak ada komentar: