Pada hari Senin, 15 September 2008 telah terjadi musibah yang sebenarnya tidak perlu terjadi lagi. Proses pembagian zakat oleh seorang dermawan di Pasuruhan Jawa Timur telah menimbulkan korban meninggal sebanyak 22 orang serta lusinan lainnya mengalami sesak nafas dan luka-luka. Kebanyakan korban meninggal akibat terinjak-injak oleh kerumunan massa yang diperkirakan mencapai lima ribuan orang. Sungguh sangat memprihatinkan, mereka rela antri berjam-jam, berdesak-desakan, “nglurug” puluhan kilometer, hanya sekedar memperebutkan uang Rp.20.000-an yang apabila dinalar tidak sebanding dengan tenaga dan waktu yang dicurahkan.
Kejadian tersebut seolah-olah merupakan ritual yang selalu terulang kembali seperti tahun-tahun sebelumnya yang juga memakan korban tewas. Sebagai contoh, pembagian zakat di kediaman H. Ismed Hasbi di Pejaten Pasar Minggu Jakarta Selatan pada tanggal 7 November 2003, memakan korban tewas sebanyak 4 orang; pembagian zakat di rumah Muhammad bin Alwi di Gresik Jawa Timur pada tanggal 28 September 2007, memakan korban satu orang tewas dan lima lainnya luka-luka; dan pembagian zakat di Pondok Pesantren Fatahillah Lamongan Jawa Timur pada tanggal 12 oktober 2007, membuat pingsan dan luka-luka sebanyak 13 orang (Koran Tempo, 17 September 2008). Sepertinya para dermawan “tidak kapok” dengan serentetan musibah akibat proses pembagian sedekah secara masal tersebut. Mungkin dengan cara demikian, mereka merasa telah melakukan syiar agama Islam dan berharap dapat menggugah para dermawan lain untuk turut berlomba-lomba melakukan hal yang sama dalam rangka menolong saudara seiman yang kurang mampu.
Namun di sisi lain, para penerima sedekah menjadikan sistem pembagian sedekah semacam ini sebagai peluang mengais rezeki yang selalu diharapkan terjadi setiap tahunnya. Rutinitas tersebut selanjutnya mengalami proses “gethok tular”, sehingga jumlah para pencari sedekah terus meningkat. Sayangnya, tidak semua pencari sedekah bisa mensyukuri apa yang diterimanya. Mereka tidak lagi menganggap sedekah sebagai solusi mengatasi kemiskinan dan kesulitan hidup. Tetapi sedekah dijadikan sebagai sumber mata pencaharian yang harus didapatkan tanpa susah payah bekerja, meskipun harus ditempuh dengan cara antri, berdesak-desakan, jalan puluhan kilometer, dan kalau perlu menggerakkan seluruh anggota keluarganya demi mendapatkan jumlah sedekah yang lebih banyak. Oleh karena itu tidak mengherankan kejadian seperti di Pasuruhan dapat terjadi dan mungkin akan selalu terjadi apabila tidak ada upaya memperbaiki metode penyaluran sedekah oleh para dermawan.
Sangat tidak arif jika kita lantas menyalahkan para dermawan yang dengan ikhlas memberikan sedekahnya bagi kaum miskin di sekitarnya, apalagi dijadikan tersangka dengan ancaman hukuman penjara (dikriminalisasikan). Hal yang tidak mungkin jika kejadian seperti itu merupakan faktor kesengajaan. Lebih tepat dikatakan sebagai musibah yang kemungkinan besar disebabkan oleh perilaku para pencari sedekah yang tidak tertib. Kedermawanan mereka patut diapresiasi ditengah kerakusan sebagian orang yang secara merajalela menumpuk harta baik yang diperoleh secara halal maupun haram, tidak peduli dengan warga sekitarnya yang menderita kelaparan, serta tidak sensitif dengan tingginya angka kemiskinan.
Oleh karena itu, harus dicarikan solusi yang tepat agar proses pembagian zakat secara massal tidak lagi menimbulkan korban. Mengkriminalisasikan proses pembagian zakat yang sempat menyebabkan musibah hanya akan menimbulkan “kejeraan” atau keengganan bagi para dermawan untuk menunaikan zakat, infak, dan sedekah, yang berarti pula menghambat keinginan umat Islam menunaikan syariatnya. Kita harus mampu melihat bahwa potensi zakat dari umat muslim di Indonesia cukup besar. Berdasarkan perhitungan kasar, potensi zakat yang dapat diperoleh dari 18,7 % masyarakat muslim yang diperkirakan mampu membayar zakat adalah sebesar Rp. 6,5 triliun (www.dompetdhuafa.or.id). Bahkan menurut hasil survei dari Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC) pada tahun 2007, potensi zakat lebih besar lagi yaitu sekitar Rp. 9,09 triliun (Koran Tempo, 18 September 2008). Merupakan jumlah yang cukup besar dan sangat potensial bagi upaya mengatasi masalah kemiskinan apabila dapat digali dan dimanfaatkan secara benar. Sayangnya, potensi tersebut belum dapat dimaksimalkan karena sampai saat ini tidak ada lembaga yang dapat “memaksa” umat muslim yang sudah mampu untuk membayar zakat. Lembaga yang ada kebanyakan hanya menampung dan menyalurkan zakat dari umat muslim yang secara sukarela membayarnya. Kondisi ini seringkali memunculkan inisiatif bagi para dermawan kakap untuk menyalurkan sendiri.
Paling tidak ada dua langkah yang perlu ditempuh dalam rangka menghindari musibah berkah zakat sebagaimana yang terjadi di Pasuruhan, yaitu mendorong pembenahan cara penyaluran zakat secara langsung, khususnya yang dilakukan secara massal dan pembenahan lembaga yang menangani penerimaan dan penyaluran zakat dengan mengacu Undang-Undang Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
Penyaluran zakat secara langsung yang dilaksanakan oleh para dermawan tidak bisa dilarang. Pelarangan justru akan menimbulkan kesan bahwa pemerintah menghalang-halangi niat baik seseorang untuk melaksanakan syariatnya. Unsur pemerintahan yang terdekat dengan lokasi pembagian zakat harus memfasilitasinya, antara lain secara proaktif melakukan koordinasi dengan penyelenggara dan tidak mempersulit perijinan. Agar sedekah tepat sasaran, pemerintah daerah diharapkan memberikan data orang-orang miskin kepada para dermawan. Kalau perlu, pemerintah setempat inisiatif turut membantu penyalurannya agar tidak terjadi penumpukan massa yang cenderung tidak terkendali karena takut tidak kebagian berkah sedekah.
Undang-Undang Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat menerangkan bahwa pembentukan Badan Amil Zakat dibentuk oleh pemerintah yang secara berjenjang di bentuk ditingkat pusat, propinsi, kabupaten, sampai dengan kecamatan. Badan Amil Zakat ini mempunyai tugas pokok mengumpulkan, mendistribusikan dan mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama. Di samping lembaga pengelola zakat yang resmi dibentuk pemerintah, di masyarakat juga bermunculan sejumlah lembaga pengelola zakat yang cukup professional seperti Dompet Dhuafa Republika, Masjid Sunda Kelapa, dan masjid-masjid lainnya yang tersebar di seluruh pelosok negeri. Bermodalkan Undang-Undang Pengelolaan Zakat tersebut, sudah seharusnya pengelola zakat terutama yang resmi dibentuk oleh pemerintah Badan Amil proaktif melakukan pendekatan dan penjemputan kepada para muzaki (wajib zakat), jangan seperti yang selama ini dilakukan yaitu hanya menunggu, menampung, dan menyalurkan zakat. Data muzaki tahun sebelumnya, dapat dijadikan referensi siapa saja yang akan dijemput atau didatangi. Hal yang perlu menjadi perhatian badan pengelola zakat, karakteristik para dermawan (muzaki) Indonesia akan merasa senang dan terhormat apabila didatangi, diingatkan, dan dibantu oleh para amil zakat dalam menghitung besaran zakat. Namun demikian, badan pengelola zakat harus amanah dan transparan dalam menyalurkan zakat, sehingga para muzaki akan tetap memercayai lembaga pengelola zakat dan kecenderungan para muzaki menyalurkan sendiri sedekahnya bisa berkurang.
Tidak kalah pentingnnya adalah peran dari aparat keamanan, terutama dari unsur kepolisian. Dalam kasus musibah Pasuruhan, Polisi dalam salah satu dakwaannya adalah menyalahkan kenapa dermawan yang menyalurkan sedekah tidak melakukan koordinasi dengan kepolisian setempat. Namun menurut hemat penulis, hal tersebut tidak dapat dijadikan bukti dalam dakwaan karena secara tugas dan fungsi, Polisi bisa proaktif bergerak untuk melakukan perlindungan, pengawalan, pengamanan, serta pelayanan masyarakat baik diminta maupun tidak. Apalagi pelaksanaan pembagian sedekah secara langsung oleh dermawan Pasuruhan tersebut sudah rutin dilakukan. Oleh karena itu, sudah tepat apabila Propam Polri melakukan pemeriksanaan terhadap Kapolres yang dianggap tidak tanggap terhadap situasi.
Senin, 22 September 2008
Rabu, 17 September 2008
MENGAPA ADA PERBEDAAN PEMBERIAN FASILITAS NEGARA **
Abrianto Yudho Prakosa adalah seorang anggota militer dengan pangkat Mayor Jenderal dan saat ini sedang menduduki jabatan penting pada suatu kesatuan elit organisasi kemiliteran. Karena jabatannya, dia mendapatkan berbagai fasilitas yang tersedia secara lengkap. Di markasnya, Pak Jenderal ini menempati ruangan yang cukup luas dan megah dengan dekorasi yang apik, meubel berkelas, dan perlengkapan kantor yang canggih. Di garasi kantornya nongkrong dua buah mobil dinas yaitu sedan Toyota Camry dan Lexus versi rover yang tergolong keluaran terbaru. Selain membawahi satuan setingkat divisi, di kantornya dia dibantu dan dilayani sejumlah prajurit yang selalu “siap” melaksanakan tugas. Dalam menjalankan tugas-tugas komando, setiap perjalannya selalu dikawal voorijder dan mobil Jeep Polisi Militer. Sesekali, dia juga naik helikopter yang selalu standby di hanggar markasnya. Mobilitas, efektivitas waktu tempuh, dan sulitnya medan yang dihadapi merupakan alasan menggunakan helikopter, meskipun biaya operasional pesawat ini sangat mahal. Sementara itu kurang lebih 3 kilometer dari markasnya, istri dan anak-anaknya mendiami rumah dinas. Rumah dinasnya tergolong sangat nyaman dengan view bebukitan ala vila-vila di Puncak. Keamanan rumah dinasnya dijamin 24 jam karena di depan rumahnya ada pos keamanan yang selalu di jaga oleh sekelompok prajurit bersenjata M-16.
Warsito Joko Lelono adalah seorang yang berpendidikan tinggi dengan sederet gelar akademik Doktor, Dokterandus, Magister Administrasi Publik dan saat ini menjadi pejabat tinggi di suatu instansi pemerintah yang namanya kurang begitu dikenal orang awam. Di samping sebagai pejabat struktural Eselon I di kantornya, Pak Warsito juga mengajar di almamaternya, sebuah perguruan tinggi yang cukup terkenal di seantero negeri. Oleh karenanya tidak mengherankan jika saat ini beliau juga menyandang gelar Professor, sebagai gelar penghargaan tertinggi di dunia pendidikan. Sebagai pejabat Eselon I, beliau mendapatkan fasilitas kendaraan dinas berupa Toyota Crista yang merupakan warisan dari pejabat sebelumnya. Ruang kerjanya standar, tidak tampak fasilitas kerja yang terkesan mewah. Sebagian besar tugas-tugasnya dilaksanakan di kantor, sehingga dalam melakukan perjalanan dinasnya tidak ada pengawalan, tetapi mengikuti peraturan SPPD pada umumnya. Fasilitas rumah dinas juga tidak disediakan karena perubahan jabatan atau mutasi tidak sampai berpindah domisili. Jadi kalau dibandingkan dengan Mayjen Abrianto Yudho Prakosa, fasilitas yang diterima jauh sekali perbedaannya.
Di sudut lain, di sebuah komplek perumahan elit di bilangan Jakarta Selatan terdapat sebuah rumah yang cukup asri dan berukuran besar. Di garasinya nongkrong 3 buah mobil mewah, salah satunya merupakan mobil dinas. Rupanya penghuni rumah yang bernama Sugiharto Cokro Bawono itu seorang direktur di sebuah BUMN elit di negeri ini. Penghasilannya hampir mencapai seratus juta rupiah perbulan, tidak termasuk berbagai insentif yang sering diterimanya. Di kantornya, di kawasan pusat bisnis Jakarta, Sugiharto menempati ruang kerja yang cukup nyaman yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas mewah. Jika dibandingkan dengan Mayjen Abrianto maupun Prof Warsito, kesejahteraannya jauh melebihi mereka berdua.
Sementara itu, di daerah Parung tinggal seorang pejabat eselon III senior sebuah lembaga kajian di bawah suatu departemen. Meskipun dapat fasilitas mobil dinas berupa Toyota Kijang Super tahun 90-an yang tidak lama lagi akan di dem, pejabat ini sering naik kereta api atau nebeng mobil jemputan kompleks suatu instansi pemerintah dekat tempat tinggalnya. Faktor kemacetan lalu lintas, kecapaian dalam mengemudi, atau mahalnya operasional mobil menjadi pertimbangan kenapa ia jarang menggunakan fasilitas mobil tersebut. Lebih tepatnya adalah dalam rangka melakukan penghematan agar kebutuhan hidup keluarganya terutama biaya pendidikan anak-anaknya tidak terlantar.
Meminjam pernyataan yang sering muncul pada awal pemutaran sinetron di TV untuk menghindari penuntutan pihak-pihak tertentu, dalam hal ini dinyatakan bahwa “penyebutan nama, peristiwa, tempat, dan jenis jabatan yang diceritakan di atas hanya rekayasa belaka. Apabila terjadi kesamaan dalam penyebutan nama, peristiwa, tempat, dan jenis jabatan, maka hal tersebut hanya kebetulan saja dan tidak ada unsur kesengajaan atau menyinggung perasaan seseorang atau suatu badan”.
Namun demikian, meskipun keempat contoh di atas hanya merupakan ilustrasi untuk menggambarkan variasi atau perbedaan pemberian fasilitas negara kepada para pejabat, tetapi dalam kenyataannya hal tersebut mendekati kebenaran. Kondisi ini praktis sering menjadi faktor kecemburuan diantara pejabat negara antar instansi, internal instansi, atau antar staf dan pimpinan. Kecemburuan tersebut sebenarnya beralasan dan wajar. Mereka berkilah, sesama pejabat negara, satu level, beban tugas juga sama-sama berat, seharusnya fasilitas yang diberikan negara tidak terlalu mencolok perbedaannya. Perbedaan instansi tidak jadi masalah, karena mereka merasa sama-sama sebagai PNS.
Apabila ditelisik tentang mengapa ada perbedaan fasilitas negara yang diterima oleh para pejabat, penulis mencoba untuk mengelompokkan dalam dua kategori besar, yaitu lembaga/badan strategis dan lembaga-lembaga non strategis. Pengertian bebas dari istilah strategis tersebut adalah terkait dengan tugas dan fungsi lembaga/badan, feedback kepada pemberi fasilitas, cakupan wilayah tugas, tanggung jawab, atau tingkat resiko yang diterima oleh pejabat yang bersangkutan jika gagal melaksanakan tugas. Kelompok pertama adalah lembaga/badan strategis yang relatif menerima fasilitas negara yang lebih baik. Sementara kelompok kedua adalah lembaga/badan non strategis yang relatif menerima fasilitas negara secara standar.
Instansi tempat Abrianto Yudho Prakosa mengabdi merupakan salah satu contoh lembaga/badan dalam kategori strategis, di mana dalam menjalankan tugas-tugas komandonya beliau menghadapi resiko yang lebih besar dibandingkan dengan tugas-tugas yang dihadapi oleh Warsito Joko Lelono. Dengan jumlah pasukan mencapai kurang lebih 10.000 prajurit, wilayah kerja nasional, serta bertanggung jawab terhadap kedaulatan dan kewibawaan NKRI, maka tidak berlebihan jika dikatakan jiwa dan raganya selalu terancam maut baik karena kecelakaan, serangan gelap, atau tertembak dalam menumpas musuh-musuh negara. Feedback-nya jelas, yaitu menciptakan rasa aman bagi seluruh warga negara tanpa kecuali dari gangguan pertahanan negara. Oleh karena itu, menjadi wajar jika beliau mendapatkan fasilitas yang lebih baik sebagai bentuk perlindungan dari negara seperti pengawalan ketat, kendaraan lapangan yang tangguh, tempat tinggal yang nyaman, atau tunjangan yang lebih besar.
Perusahaan negara, tempat di mana Sugiharto Cokro Bawono menjadi salah satu direkturnya, adalah sebuah BUMN yang selalu membukukan neraca keuntungan dalam jumlah besar dan selalu bertumbuh setiap tahunnya. Dividen yang disetorkan kepada negara dalam beberapa tahun terakhir menempati urutan teratas dari seluruh BUMN yang ada. Dengan statusnya sebagai direktur terbaik, dia menerima penghasilan yang sangat besar dan fasilitas perusahaan yang sangat layak/mewah. Lagi-lagi kita harus memahami kenapa Sugiharto mendapatkan fasilitas yang begitu melimpah dengan kesejahteraan melebihi rata-rata pejabat negara yang lain, yaitu feedback bagi perusahaan negara jelas, dia sangat berperan penting dalam menciptakan keuntungan perusahaan.
Dengan kondisi seperti di atas, apakah diantara sesama pejabat atau calon pejabat negara masih mempersoalkan perbedaan fasilitas yang diterimanya. Lebih ekstrim lagi, apakah pantas kita menuntut fasilitas yang lebih baik dari yang lain, sementara feedback kita kepada negara tidak bisa kita ukur? Sedangkan lembaga/badan dalam mengukur feedback pegawainya terbentur pada ketiadaan standar yang valid, yang selanjutnya pengukuran seringkali mengabaikan obyektivitas. Akibatnya pemberian fasilitas negara kepada para pejabatnya bersifat subyektif dan di-gebyah uyah (digeneralisir).
**Tulisan ini merupakan bagian kedua dari tiga tulisan dalam rangka mencermati pemanfaatan fasilitas negara untuk para PNS.
Warsito Joko Lelono adalah seorang yang berpendidikan tinggi dengan sederet gelar akademik Doktor, Dokterandus, Magister Administrasi Publik dan saat ini menjadi pejabat tinggi di suatu instansi pemerintah yang namanya kurang begitu dikenal orang awam. Di samping sebagai pejabat struktural Eselon I di kantornya, Pak Warsito juga mengajar di almamaternya, sebuah perguruan tinggi yang cukup terkenal di seantero negeri. Oleh karenanya tidak mengherankan jika saat ini beliau juga menyandang gelar Professor, sebagai gelar penghargaan tertinggi di dunia pendidikan. Sebagai pejabat Eselon I, beliau mendapatkan fasilitas kendaraan dinas berupa Toyota Crista yang merupakan warisan dari pejabat sebelumnya. Ruang kerjanya standar, tidak tampak fasilitas kerja yang terkesan mewah. Sebagian besar tugas-tugasnya dilaksanakan di kantor, sehingga dalam melakukan perjalanan dinasnya tidak ada pengawalan, tetapi mengikuti peraturan SPPD pada umumnya. Fasilitas rumah dinas juga tidak disediakan karena perubahan jabatan atau mutasi tidak sampai berpindah domisili. Jadi kalau dibandingkan dengan Mayjen Abrianto Yudho Prakosa, fasilitas yang diterima jauh sekali perbedaannya.
Di sudut lain, di sebuah komplek perumahan elit di bilangan Jakarta Selatan terdapat sebuah rumah yang cukup asri dan berukuran besar. Di garasinya nongkrong 3 buah mobil mewah, salah satunya merupakan mobil dinas. Rupanya penghuni rumah yang bernama Sugiharto Cokro Bawono itu seorang direktur di sebuah BUMN elit di negeri ini. Penghasilannya hampir mencapai seratus juta rupiah perbulan, tidak termasuk berbagai insentif yang sering diterimanya. Di kantornya, di kawasan pusat bisnis Jakarta, Sugiharto menempati ruang kerja yang cukup nyaman yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas mewah. Jika dibandingkan dengan Mayjen Abrianto maupun Prof Warsito, kesejahteraannya jauh melebihi mereka berdua.
Sementara itu, di daerah Parung tinggal seorang pejabat eselon III senior sebuah lembaga kajian di bawah suatu departemen. Meskipun dapat fasilitas mobil dinas berupa Toyota Kijang Super tahun 90-an yang tidak lama lagi akan di dem, pejabat ini sering naik kereta api atau nebeng mobil jemputan kompleks suatu instansi pemerintah dekat tempat tinggalnya. Faktor kemacetan lalu lintas, kecapaian dalam mengemudi, atau mahalnya operasional mobil menjadi pertimbangan kenapa ia jarang menggunakan fasilitas mobil tersebut. Lebih tepatnya adalah dalam rangka melakukan penghematan agar kebutuhan hidup keluarganya terutama biaya pendidikan anak-anaknya tidak terlantar.
Meminjam pernyataan yang sering muncul pada awal pemutaran sinetron di TV untuk menghindari penuntutan pihak-pihak tertentu, dalam hal ini dinyatakan bahwa “penyebutan nama, peristiwa, tempat, dan jenis jabatan yang diceritakan di atas hanya rekayasa belaka. Apabila terjadi kesamaan dalam penyebutan nama, peristiwa, tempat, dan jenis jabatan, maka hal tersebut hanya kebetulan saja dan tidak ada unsur kesengajaan atau menyinggung perasaan seseorang atau suatu badan”.
Namun demikian, meskipun keempat contoh di atas hanya merupakan ilustrasi untuk menggambarkan variasi atau perbedaan pemberian fasilitas negara kepada para pejabat, tetapi dalam kenyataannya hal tersebut mendekati kebenaran. Kondisi ini praktis sering menjadi faktor kecemburuan diantara pejabat negara antar instansi, internal instansi, atau antar staf dan pimpinan. Kecemburuan tersebut sebenarnya beralasan dan wajar. Mereka berkilah, sesama pejabat negara, satu level, beban tugas juga sama-sama berat, seharusnya fasilitas yang diberikan negara tidak terlalu mencolok perbedaannya. Perbedaan instansi tidak jadi masalah, karena mereka merasa sama-sama sebagai PNS.
Apabila ditelisik tentang mengapa ada perbedaan fasilitas negara yang diterima oleh para pejabat, penulis mencoba untuk mengelompokkan dalam dua kategori besar, yaitu lembaga/badan strategis dan lembaga-lembaga non strategis. Pengertian bebas dari istilah strategis tersebut adalah terkait dengan tugas dan fungsi lembaga/badan, feedback kepada pemberi fasilitas, cakupan wilayah tugas, tanggung jawab, atau tingkat resiko yang diterima oleh pejabat yang bersangkutan jika gagal melaksanakan tugas. Kelompok pertama adalah lembaga/badan strategis yang relatif menerima fasilitas negara yang lebih baik. Sementara kelompok kedua adalah lembaga/badan non strategis yang relatif menerima fasilitas negara secara standar.
Instansi tempat Abrianto Yudho Prakosa mengabdi merupakan salah satu contoh lembaga/badan dalam kategori strategis, di mana dalam menjalankan tugas-tugas komandonya beliau menghadapi resiko yang lebih besar dibandingkan dengan tugas-tugas yang dihadapi oleh Warsito Joko Lelono. Dengan jumlah pasukan mencapai kurang lebih 10.000 prajurit, wilayah kerja nasional, serta bertanggung jawab terhadap kedaulatan dan kewibawaan NKRI, maka tidak berlebihan jika dikatakan jiwa dan raganya selalu terancam maut baik karena kecelakaan, serangan gelap, atau tertembak dalam menumpas musuh-musuh negara. Feedback-nya jelas, yaitu menciptakan rasa aman bagi seluruh warga negara tanpa kecuali dari gangguan pertahanan negara. Oleh karena itu, menjadi wajar jika beliau mendapatkan fasilitas yang lebih baik sebagai bentuk perlindungan dari negara seperti pengawalan ketat, kendaraan lapangan yang tangguh, tempat tinggal yang nyaman, atau tunjangan yang lebih besar.
Perusahaan negara, tempat di mana Sugiharto Cokro Bawono menjadi salah satu direkturnya, adalah sebuah BUMN yang selalu membukukan neraca keuntungan dalam jumlah besar dan selalu bertumbuh setiap tahunnya. Dividen yang disetorkan kepada negara dalam beberapa tahun terakhir menempati urutan teratas dari seluruh BUMN yang ada. Dengan statusnya sebagai direktur terbaik, dia menerima penghasilan yang sangat besar dan fasilitas perusahaan yang sangat layak/mewah. Lagi-lagi kita harus memahami kenapa Sugiharto mendapatkan fasilitas yang begitu melimpah dengan kesejahteraan melebihi rata-rata pejabat negara yang lain, yaitu feedback bagi perusahaan negara jelas, dia sangat berperan penting dalam menciptakan keuntungan perusahaan.
Dengan kondisi seperti di atas, apakah diantara sesama pejabat atau calon pejabat negara masih mempersoalkan perbedaan fasilitas yang diterimanya. Lebih ekstrim lagi, apakah pantas kita menuntut fasilitas yang lebih baik dari yang lain, sementara feedback kita kepada negara tidak bisa kita ukur? Sedangkan lembaga/badan dalam mengukur feedback pegawainya terbentur pada ketiadaan standar yang valid, yang selanjutnya pengukuran seringkali mengabaikan obyektivitas. Akibatnya pemberian fasilitas negara kepada para pejabatnya bersifat subyektif dan di-gebyah uyah (digeneralisir).
**Tulisan ini merupakan bagian kedua dari tiga tulisan dalam rangka mencermati pemanfaatan fasilitas negara untuk para PNS.
Langganan:
Postingan (Atom)