Senin, 22 September 2008

MUSIBAH DIANTARA BERKAH ZAKAT

Pada hari Senin, 15 September 2008 telah terjadi musibah yang sebenarnya tidak perlu terjadi lagi. Proses pembagian zakat oleh seorang dermawan di Pasuruhan Jawa Timur telah menimbulkan korban meninggal sebanyak 22 orang serta lusinan lainnya mengalami sesak nafas dan luka-luka. Kebanyakan korban meninggal akibat terinjak-injak oleh kerumunan massa yang diperkirakan mencapai lima ribuan orang. Sungguh sangat memprihatinkan, mereka rela antri berjam-jam, berdesak-desakan, “nglurug” puluhan kilometer, hanya sekedar memperebutkan uang Rp.20.000-an yang apabila dinalar tidak sebanding dengan tenaga dan waktu yang dicurahkan.

Kejadian tersebut seolah-olah merupakan ritual yang selalu terulang kembali seperti tahun-tahun sebelumnya yang juga memakan korban tewas. Sebagai contoh, pembagian zakat di kediaman H. Ismed Hasbi di Pejaten Pasar Minggu Jakarta Selatan pada tanggal 7 November 2003, memakan korban tewas sebanyak 4 orang; pembagian zakat di rumah Muhammad bin Alwi di Gresik Jawa Timur pada tanggal 28 September 2007, memakan korban satu orang tewas dan lima lainnya luka-luka; dan pembagian zakat di Pondok Pesantren Fatahillah Lamongan Jawa Timur pada tanggal 12 oktober 2007, membuat pingsan dan luka-luka sebanyak 13 orang (Koran Tempo, 17 September 2008). Sepertinya para dermawan “tidak kapok” dengan serentetan musibah akibat proses pembagian sedekah secara masal tersebut. Mungkin dengan cara demikian, mereka merasa telah melakukan syiar agama Islam dan berharap dapat menggugah para dermawan lain untuk turut berlomba-lomba melakukan hal yang sama dalam rangka menolong saudara seiman yang kurang mampu.

Namun di sisi lain, para penerima sedekah menjadikan sistem pembagian sedekah semacam ini sebagai peluang mengais rezeki yang selalu diharapkan terjadi setiap tahunnya. Rutinitas tersebut selanjutnya mengalami proses “gethok tular”, sehingga jumlah para pencari sedekah terus meningkat. Sayangnya, tidak semua pencari sedekah bisa mensyukuri apa yang diterimanya. Mereka tidak lagi menganggap sedekah sebagai solusi mengatasi kemiskinan dan kesulitan hidup. Tetapi sedekah dijadikan sebagai sumber mata pencaharian yang harus didapatkan tanpa susah payah bekerja, meskipun harus ditempuh dengan cara antri, berdesak-desakan, jalan puluhan kilometer, dan kalau perlu menggerakkan seluruh anggota keluarganya demi mendapatkan jumlah sedekah yang lebih banyak. Oleh karena itu tidak mengherankan kejadian seperti di Pasuruhan dapat terjadi dan mungkin akan selalu terjadi apabila tidak ada upaya memperbaiki metode penyaluran sedekah oleh para dermawan.

Sangat tidak arif jika kita lantas menyalahkan para dermawan yang dengan ikhlas memberikan sedekahnya bagi kaum miskin di sekitarnya, apalagi dijadikan tersangka dengan ancaman hukuman penjara (dikriminalisasikan). Hal yang tidak mungkin jika kejadian seperti itu merupakan faktor kesengajaan. Lebih tepat dikatakan sebagai musibah yang kemungkinan besar disebabkan oleh perilaku para pencari sedekah yang tidak tertib. Kedermawanan mereka patut diapresiasi ditengah kerakusan sebagian orang yang secara merajalela menumpuk harta baik yang diperoleh secara halal maupun haram, tidak peduli dengan warga sekitarnya yang menderita kelaparan, serta tidak sensitif dengan tingginya angka kemiskinan.

Oleh karena itu, harus dicarikan solusi yang tepat agar proses pembagian zakat secara massal tidak lagi menimbulkan korban. Mengkriminalisasikan proses pembagian zakat yang sempat menyebabkan musibah hanya akan menimbulkan “kejeraan” atau keengganan bagi para dermawan untuk menunaikan zakat, infak, dan sedekah, yang berarti pula menghambat keinginan umat Islam menunaikan syariatnya. Kita harus mampu melihat bahwa potensi zakat dari umat muslim di Indonesia cukup besar. Berdasarkan perhitungan kasar, potensi zakat yang dapat diperoleh dari 18,7 % masyarakat muslim yang diperkirakan mampu membayar zakat adalah sebesar Rp. 6,5 triliun (www.dompetdhuafa.or.id). Bahkan menurut hasil survei dari Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC) pada tahun 2007, potensi zakat lebih besar lagi yaitu sekitar Rp. 9,09 triliun (Koran Tempo, 18 September 2008). Merupakan jumlah yang cukup besar dan sangat potensial bagi upaya mengatasi masalah kemiskinan apabila dapat digali dan dimanfaatkan secara benar. Sayangnya, potensi tersebut belum dapat dimaksimalkan karena sampai saat ini tidak ada lembaga yang dapat “memaksa” umat muslim yang sudah mampu untuk membayar zakat. Lembaga yang ada kebanyakan hanya menampung dan menyalurkan zakat dari umat muslim yang secara sukarela membayarnya. Kondisi ini seringkali memunculkan inisiatif bagi para dermawan kakap untuk menyalurkan sendiri.

Paling tidak ada dua langkah yang perlu ditempuh dalam rangka menghindari musibah berkah zakat sebagaimana yang terjadi di Pasuruhan, yaitu mendorong pembenahan cara penyaluran zakat secara langsung, khususnya yang dilakukan secara massal dan pembenahan lembaga yang menangani penerimaan dan penyaluran zakat dengan mengacu Undang-Undang Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.

Penyaluran zakat secara langsung yang dilaksanakan oleh para dermawan tidak bisa dilarang. Pelarangan justru akan menimbulkan kesan bahwa pemerintah menghalang-halangi niat baik seseorang untuk melaksanakan syariatnya. Unsur pemerintahan yang terdekat dengan lokasi pembagian zakat harus memfasilitasinya, antara lain secara proaktif melakukan koordinasi dengan penyelenggara dan tidak mempersulit perijinan. Agar sedekah tepat sasaran, pemerintah daerah diharapkan memberikan data orang-orang miskin kepada para dermawan. Kalau perlu, pemerintah setempat inisiatif turut membantu penyalurannya agar tidak terjadi penumpukan massa yang cenderung tidak terkendali karena takut tidak kebagian berkah sedekah.

Undang-Undang Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat menerangkan bahwa pembentukan Badan Amil Zakat dibentuk oleh pemerintah yang secara berjenjang di bentuk ditingkat pusat, propinsi, kabupaten, sampai dengan kecamatan. Badan Amil Zakat ini mempunyai tugas pokok mengumpulkan, mendistribusikan dan mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama. Di samping lembaga pengelola zakat yang resmi dibentuk pemerintah, di masyarakat juga bermunculan sejumlah lembaga pengelola zakat yang cukup professional seperti Dompet Dhuafa Republika, Masjid Sunda Kelapa, dan masjid-masjid lainnya yang tersebar di seluruh pelosok negeri. Bermodalkan Undang-Undang Pengelolaan Zakat tersebut, sudah seharusnya pengelola zakat terutama yang resmi dibentuk oleh pemerintah Badan Amil proaktif melakukan pendekatan dan penjemputan kepada para muzaki (wajib zakat), jangan seperti yang selama ini dilakukan yaitu hanya menunggu, menampung, dan menyalurkan zakat. Data muzaki tahun sebelumnya, dapat dijadikan referensi siapa saja yang akan dijemput atau didatangi. Hal yang perlu menjadi perhatian badan pengelola zakat, karakteristik para dermawan (muzaki) Indonesia akan merasa senang dan terhormat apabila didatangi, diingatkan, dan dibantu oleh para amil zakat dalam menghitung besaran zakat. Namun demikian, badan pengelola zakat harus amanah dan transparan dalam menyalurkan zakat, sehingga para muzaki akan tetap memercayai lembaga pengelola zakat dan kecenderungan para muzaki menyalurkan sendiri sedekahnya bisa berkurang.

Tidak kalah pentingnnya adalah peran dari aparat keamanan, terutama dari unsur kepolisian. Dalam kasus musibah Pasuruhan, Polisi dalam salah satu dakwaannya adalah menyalahkan kenapa dermawan yang menyalurkan sedekah tidak melakukan koordinasi dengan kepolisian setempat. Namun menurut hemat penulis, hal tersebut tidak dapat dijadikan bukti dalam dakwaan karena secara tugas dan fungsi, Polisi bisa proaktif bergerak untuk melakukan perlindungan, pengawalan, pengamanan, serta pelayanan masyarakat baik diminta maupun tidak. Apalagi pelaksanaan pembagian sedekah secara langsung oleh dermawan Pasuruhan tersebut sudah rutin dilakukan. Oleh karena itu, sudah tepat apabila Propam Polri melakukan pemeriksanaan terhadap Kapolres yang dianggap tidak tanggap terhadap situasi.

Tidak ada komentar: