Pada tanggal 11 Desember 2008, Koran Tempo menurun artikel opini yang berjudul Pornografi dan Kejahatan Seksual tulisan Milton Diamond, Profesor dari University of Hawaii. Dalam tulisannya, Diamond sepertinya menyangsikan efektivitas penetapan Undang-Undang Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi.
Dalam pandangannya, suatu negara yang melegalkan pornografi memiliki kecenderungan tingkat kejahatan seksual menurun, khususnya ditinjau dari kasus-kasus pemerkosaan. Sebaliknya jika suatu negara tidak melegalkan pornografi, kejahatan seksual cenderung akan meningkat. Pandangannya tersebut didukung beberapa penelitian di negara-negara Barat yang memang sudah lama melegalkan pornografi seperti di Denmark, Swedia, Jerman, dan Amerika Serikat. Demikian juga penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Diamond sendiri dengan kolega-koleganya di Jepang, Kroasia, Shanghai, Polandia, Finlandia, Cekoslovakia, menunjukkan bahwa ketersediaan material-material pornografi cenderung menurunkan kasus-kasus pemerkosaan di negara-negara tersebut. Terkait dengan hasil penelitian-penelitian tersebut, Diamond menduga bahwa kejahatan seksual di Indonesia cenderung akan meningkat karena pelaksanaan Undang-Undang Pornografi.
Kesimpulan itu barangkali benar. Logikanya adalah sesuatu yang tidak ditabukan tidak lagi mengundang rasa penasaran seseorang untuk melabrak ketabuan. Orang yang setiap hari dicekoki produk-produk pornografi, pada saatnya nanti tidak “greng” lagi melihat hal-hal yang berbau pornografi. Bahkan dalam suatu perkawinanpun, masa-masa tidak “greng” akan menjangkiti pasangan suami-istri. Di sisi lain, pornografi yang dilegalkan akan berdampak pada meningkatnya budaya permisif, khususnya perilaku seksual. Orang tidak lagi merasa terkekang norma keagamaan dan ada kecenderungan orang melakukan aktivitas seksual berdasarkan suka sama suka meskipun bukan pada pasangan yang sah.
Dalam Pasal 3 disebutkan bahwa Undang-Undang Pornografi bertujuan : (a) mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat yang beretika, berkepribadian luhur, menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menghormati harkat dan martabat kemanusiaan; (b) menghormati, melindungi, dan melestarikan nilai seni dan budaya, adat istiadat, dan ritual keagamaan masyarakat Indonesia yang majemuk; (c) memberikan pembinaan dan pendidikan terhadap moral dan akhlak masyarakat; (d) memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi warga negara dari pornografi, terutama bagi anak dan perempuan; dan (e) mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di masyarakat. Melihat tujuan Undang-Undang itu sebenarnya sangat mulia dan hal tersebut sebagai wujud tanggung jawab serta perlindungan negara terhadap aktivitas pornografi.
Permasalahan utama yang selama ini menjadi pro kontra adalah terkait definisi pornografi yang tidak dapat digeneralisir dalam kemajemukan sosial, agama, budaya, dan masyarakat Indonesia.
Sebagai negara yang menjunjung tinggi adat ketimuran dan mengakui keberadaan agama, Undang-Undang Pornografi tetap harus dilaksanakan, meskipun pendapat Diamond itu dapat terjadi di Indonesia. Mungkin benar legalitas pornografi dapat mengurangi kejahatan seksual (pemerkosaan), tetapi membebaskan pornografi dapat meningkatkan angka perceraian, perselingkuhan, hubungan pranikah yang secara tegas dilarang dalam agama (Islam), tidak menghargai lembaga perkawinan, dan banyak anak-anak lahir tanpa orang tua yang lengkap.
Hal yang berbeda dengan dunia Barat. Atas nama hak asasi manusia, negara tidak banyak ikut campur masalah pribadi warganegaranya termasuk dalam hal perilaku seksual. Namun dampaknya dapat kita lihat di mana virginitas tidak lagi diagungkan, rumah tangga rentan terhadap perceraian, perselingkuhan menjadi hal yang biasa, bebas hidup bersama tanpa ikatan pernikahan, keluarga tidak bisa lagi mengendalikan perilaku seksualitas anggotanya sebelum memasuki usia perkawinan, dan berbagai kebebasan-kebebasan seksualitas lainnya.
Jadi kalau pandangan Diamon yang hanya dari sisi kejahatan seksual, mungkin benar. Untuk kondisi Indonesia yang masih menjunjung tinggi lembaga perkawinan sebagai pintu dari apa yang tidak diperbolehkan menjadi diperbolehkan (dari yang haram menjadi halal), maka pemberlakukan Undang-Undang Pornografi menjadi sangat relevan. Dalam pandangan Islam, menjaga diri dan keluarga (salah satunya dari perbuatan zina) yang dapat menjerumuskan ke api neraka, adalah kewajiban setiap muslim baik secara pribadi maupun kelembagaan dan negara. Perbuatan zina tidak hanya melakukan hubungan seksual secara harfiah (bercumbu atau bersenggama) dengan bukan pasangannya yang sah, tetapi melihat, menikmati, atau sekedar memfasilitasi material pornografi masuk dalam kategori perzinahan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Jika kita baca buku “Kenapa Berbikini Tak LAnggar UU Pornografi,” (ada di gramedia) maka yang menolak UU POrn seharusnya mendukung, sebalilknya yang mendukung seharusnya menolak. Kenapa bisa begitu? Dunia memang sudah terbolak-balik. Biar kita tidak terbolak-balik juga, maka buku di atas sangat penting tuk dibaca.
Posting Komentar