Minggu, 11 Oktober 2009

Anomali Bom

Sabtu, 01/08/2009 17:20 WIB

Gunarta - suaraPembaca

Meledaknya bom di Hotel J.W. Marriott dan Hotel Ritz Carlton pada tanggal 17 Juli 2009 merupakan tragedi kemanusiaan yang gaungnya mendunia. Mendunia karena kebetulan kedua hotel tersebut milik jaringan hotel internasional dan yang menjadi korban kebanyakan orang asing. Di tengah persiapan event olah raga nasional tim sepak bola Indonesian all Star melawan Manchester United yang merupakan prestise dan kesempatan langka, terpaksa dibatalkan karena terjadi ledakan bom yang menewaskan 9 orang dan puluhan luka-luka. Peristiwa ini memunculkan keprihatinan semua pihak dan merupakan pukulan bagi negara kita yang baru berhasil membangun citra aman di mata internasional dan dunia usaha, terutama dari aksi terorisme.

Hal yang menarik dari aksi teror bom di Hotel J.W. Marriott dan Hotel Ritz Carlton adalah meskipun dampaknya mendunia, tetapi reaksinya tidak sebesar yang dikhawatirkan berbagai pihak. Hal ini terbukti tidak ada pembatalan kunjungan wisata dan percepatan singgah warga negara asing dalam skala besar. Dari beberapa pernyataan di media, warga negara asing merasa tidak terlalu khawatir untuk berkunjung ke Indonesia, karena mereka menganggap aksi terorisme dapat terjadi di mana saja termasuk di negaranya masing-masing. Penurunan kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia diprediksikan paling banter hanya 6 bulan, (bahkan 3 bulan, Koran Tempo, 28 Juli 2009), setelah itu akan kembali normal. Demikian juga prediksi penurunan hunian hotel sebesar 25 persen, beberapa pekan ini menunjukkan kecenderungan pulih kembali. Oleh karena itu, upaya untuk mengkoreksi target Indonesian Visit Year 2009 rasanya belum perlu dilakukan.

Pasar saham dan valas yang selama ini paling sensitif terhadap situasi politik, hukum dan keamanan dalam negeri, justru menunjukkan sentiment positif. Pasca ledakan bom, nilai tukar rupiah dan pasar saham sempat turun beberapa point. Tetapi tidak sampai seminggu, rupiah terapresiasi terhadap dollar. Sementara itu, indek harga saham gabungan (IHSG) menunjukkan peningkatan beberapa point. Dalam hal investasi, tidak secara nyata terlihat adanya pelarian modal dalam skala besar-besaran. Beberapa calon investor asing masih berminat untuk menanamkan modalnya di Indonesia dan tidak terlalu terpengaruh kasus peledakan bom.

Reaksi negara-negara Barat-pun, relative “adem ayem” dan tidak buru-buru memberikan travel warning. Hanya Australia yang memberikan travel advisory, semacam peringatan berhati-hati berkunjung Indonesia, bukan larangan berkunjung. Negara-negara Barat justru menunjukkan simpati dan dukungan kepada aparat keamanan Indonesia untuk melakukan investigasi secara tuntas. Pernyataan bantuan teknis pengungkapan dan kerjasama memerangi aksi terror, mengalir dari berbagai negara maju Seperti Rusia, China, dan Australia. Hal yang sangat berbeda ketika terjadi bom Bali 1 pada tahun 2002. Reaksi ketakutan begitu menyebar ke seluruh dunia, sehingga hampir seluruh negara Barat mengeluarkan Travel Warning kepada warganya agar untuk sementara waktu tidak berkunjung ke Indonesia.

Dampak yang justru dirasakan adalah perasaan sangat kecewa penggemar olah raga sepak bola Indonesia. Mereka tidak habis mengerti, mengapa di saat persepakbolaan Indonesia baru mulai belajar bangkit dan susah-payah mendatangkan “guru” kampiun sekelas Manchester United, direcokin oleh peledakan bom hanya kebetulan mereka Bule (Dunia Barat). Padahal jelas, dengan sepak bola, Team Iran bisa saja bertanding dengan Team Israel dan melupakan bahwa negara mereka tidak pernah akur. Demikian juga Team Irak bisa saja bertanding dengan Team Amerika Serikat dan melupakan bahwa saat ini negara mereka sedang berperang. Tapi, itulah dunia terorisme. Mereka tidak mau tahu apakah aksi mereka merugikan persepakbolaan nasional. Yang penting, misi mereka tercapai.

Kesimpulannya adalah efek peledakan bom Hotel J.W. Marriott dan Hotel Ritz Carlton tidak terlalu signifikan menimbulkan ketakutan terutama masyarakat asing dan dunia usaha. Proses recovery relatif singkat, bahkan diprediksikan dalam hitungan pekan atau bulan. Jika pada saat ini ada rasa ketakutan dan kekhawatiran, datangnya justru dari pemberitaan beberapa media yang terkesan mem-blow up secara besar-besaran, kurang proporsional, dan vulgar. Demikian juga berbagai analisis dari pakar atau yang dianggap pakar terorisme (yang tentu saja antara satu dengan yang lainnya seringkali bertolak belakang), turut menyumbang ketakutan dan kekhawatiran. Namun sekali lagi, hal tersebut tidak berlangsung lama. Bahkan meskipun merasa takut, khawatir, sedih, atau marah, masyarakat menjadikan pewartaan peledakan bom dengan segala embel-embelnya sebagai hal yang ditunggu-tunggu layaknya kecanduan sinetron atau telenovela yang bertele-tele itu.

Untuk meredam ketakutan dan meningkatkan kepercayaan dunia interansional serta dunia usaha atas kondisi keamanan di Indonesia, diperlukan langkah-langkah cepat dan cermat dalam mengidentifikasi pelaku, metode, maupun keterkaitan dengan jaringan terorisme yang ada di Indonesia. Kesigapan aparat dalam bertindak dan menemukan clues aksi terror, merupakan salah satu kemungkinan reaksi masyarakat dan dunia usaha tidak terlalu lenting. Artinya masyarakat dan dunia usaha telah mempercayai kemampuan aparat keamanan baik dari aspek kemampuan SDM maupun aspek teknologinya. Apalagi satuan anti terror Den-88 yang dibentuk pasca bom Bali I tahun 2002, telah teruji dalam berbagai peristiwa bom di Indonesia. Oleh karena itu, persepsi positif masyarakat dan dunia usaha ini perlu dijadikan moment penting untuk melakukan penangkapan Nurdin M.Top dan kelompoknya. Kalau perlu dijadikan kegiatan prioritas dalam 3 (tiga) bulan pemerintahan baru SBY – Budiono.

GunartaJl Makmur No 102A Kekupu Rangkapan Jaya Pancoran Mas Depokgunarta@bappenas.go.id08158719703
Penulis adalah Perencana Bappenas.
(msh/msh) Tetap update informasi di manapun dengan http://m.detik.com dari browser ponsel anda!

Tidak ada komentar: