Rasio Polisi adalah jumlah polisi dibandingkan dengan jumlah penduduk suatu wilayah atau negara. Menurut PBB Rasio Polisi yang ideal adalah 1 : 400. Besar kecilnya Rasio Polisi menentukan efektivitas pelayanan kepolisian kepada masyarakat. Logikanya semakin kecil Rasio Polisi, semakin efektif pelayanan kepolisian kepada masyarakat. Sebaliknya semakin besar Rasio Polisi akan menyebabkan pengaduan masyarakat tidak tertangani dengan baik, penyidikan berlarut-larut, intensitas patroli rendah, atau kehadiran polisi di tempat kejadian perkara (quick response) tidak tepat waktu.
Rasio Polisi tidak dapat dijadikan ukuran keberhasilan dalam menekan kriminalitas. Studi yang dilakukan oleh Lotfin and McDowall, 1982; Krahn and Kennedy, 1985; Koenig, 1991; Laurie, 1970; Gurr, 1979; Emsley, 1983; Silberman, 1978; Reiner, 1985; Lane, 1980; dan Walker, 1989 (dalam Bayley, 1994) menunjukkan bahwa analisa yang dilakukan berulang kali tidak menemukan hubungan antara jumlah personil kepolisian dengan angka kejahatan. Hal ini berarti bahwa semakin besar jumlah personil polisi tidak selalu menekan angka kejahatan. Karena pada dasarnya tindak kejahatan dapat terjadi karena ada kemauan dan kesempatan yang didukung oleh adanya gab kondisi sosial ekonomi suatu masyarakat.
Data dari Bureau of Justice Statistics 1987 (dalam Bayley, 1994), menyebutkan bahwa kota-kota Amerika Serikat yang berpenduduk lebih dari satu juta jiwa memiliki rasio polisi tertinggi (320 per 100.000), tetapi memiliki angka kejahatan serius tertinggi. Di antara kota-kota yang berpenduduk lebih dari satu juta jiwa, Dallas memiliki angka kejahatan tertinggi (16.282 per 100.000) dan yang terendah adalah Kansas City, Missouri (3.789 per 100.000), tetapi kedua kota tersebut memiliki jumlah personil polisi perkapita yang hampir sama yaitu 2,3 per 1000 di Dallas dan 2,4 per 1000 di Kansas City.
Semenjak dipisahkannya Polri dari TNI pada tahun 2000, Rasio Polisi Indonesia semakin membaik (mengecil). Jika pada akhir Program Pembangunan Nasional (Propenas) 2000 – 2004 Rasio Polisi mencapai 1 : 750, maka sampai dengan akhir tahun 2008 Polisi Rasio telah mencapai 1 : 578. Diharapkan pada akhir tahun 2009, sasaran Rasio Polisi 1 : 500 dapat tercapai. Sayangnya, Rasio Polisi tersebut dibentuk berdasarkan pada jumlah total anggota polisi, bukan pada berapa banyak anggota polisi lapangan (operasional) yang berinteraksi langsung dengan masyarakat, yaitu pada level Bintara.
Di lembaga kepolisian, kejahatan dikelompokkan dalam 4 jenis kejahatan yaitu kejahatan konvensional, kejahatan transnasional, kejahatan terhadap kekayaan negara, dan kejahatan berimplikasi kontijensi. Dalam kurun waktu 2005 – 2008, semua jenis kejahatan cenderung meningkat dengan indeks kriminalitas secara berturut-turut 110 pada tahun 2005; 104 pada tahun 2006; 140,89 pada tahun 2007; dan 128,81 pada tahun 2008. Senada dengan berbagai hasil studi, meningkatnya Rasio Polisi Indonesia ternyata tidak menurunkan angka kriminalitas.
Dalam hal penyelesaian perkara (clearing rate), khususnya kejahatan konvensional cenderung stagnan pada kisaran 50 persen. Padahal seharusnya dengan semakin menurunnya Rasio Polisi kinerja penyelesaian perkara akan meningkat. Sementara itu, untuk 3 jenis kejahatan lainnya, kinerja penyelesaian perkara relatif cukup baik, bahkan mendekati ke angka 100 persen. Hal ini cukup logis jika ditinjau dengan volume dan bobot suatu kasus.
Kasus-kasus kejahatan konvensional seperti pencurian, penipuan, penjambretan, perampasan, pemerkosaan, sampai dengan pembunuhan yang dianggap sebagai pekerjaan rutin dan bersifat lokal kurang memiliki nilai politis sehingga keberhasilannya kurang terapresiasi. Namun untuk jenis kejahatan transnasional seperti terorisme yang bersifat lintas negara, regional, maupun global memiliki bobot politis yang tinggi, sehingga keberhasilan dalam penanganannya sangat signifikan mempengaruhi kinerja kepolisian.
Stagnasi clearing rate kejahatan konvensional pada kisaran 50 persen diduga terkait dengan keterbatasan anggaran penyelidikan dan penyidikan tindak pidana. Setiap kasus tindak pidana telah ditetapkan besaran biayanya. Dengan demikian, setiap unit reserse kinerjanya diukur dari pencapaian target yang telah ditetapkan. Artinya jika dalam satu tahun ditargetkan sebanyak 40 kasus, maka maksimal kasus yang diselesaikan sebanyak 40 kasus. Jika melebihi target atau terlalu berprestasi, justru akan dipertanyakan “dapat biaya dari mana?”
Kondisi tersebut menyebabkan para penyidik tidak dapat melakukan improvisasi secara bebas dan terpaksa tebang pilih kasus yang dianggap menonjol dan dapat me-moncer-kan kariernya. Akibatnya banyak kasus-kasus yang dianggap tidak berbobot terpaksa tidak ditindaklanjuti dan dilepas begitu saja. Tentunya dengan sejumlah persyaratan yang kadangkala memberatkan tersangka.
Salah satu keberhasilan pelaksanaan tugas dan fungsi kepolisian, terutama dalam hal penanganan tindak kriminalitas adalah seberapa besar partisipasi masyarakat dalam melaporkan tindak kejahatan yang dialaminya. Tanpa laporan dari masyarakat, polisi tidak dapat melakukan langkah penyelidikan dan penyidikan terhadap suatu kasus kejahatan yang menimpa masyarakat.
Sayangnya sampai saat ini lembaga kepolisian belum sepenuhnya mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Seringkali masyarakat (pelapor) merasa tidak nyaman bila berhubungan dengan lembaga kepolisian karena proses yang berbelit-belit, makan waktu yang lama, dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Pandangan bahwa “melapor kehilangan ayam malah kehilangan kambing”, sampai saat ini masih melekat di sebagian masyarakat. Sementara dari kinerja penyidikan, masih banyak hasil penyidikan yang dibantah oleh terlapor ketika berperkara di pengadilan karena proses investigasi diwarnai intimidasi dan penyiksaan.
Citra Polisi juga masih dibayangi oleh masih banyaknya anggota Polisi yang melakukan tindakan menyimpang dari tugas pokok dan fungsinya. Pelanggaran kode etik dan berbagai tindak pidana yang pada tahun 2008 kasusnya mencapai hampir 2,5 persen dari total anggota Polri, menjadikan lembaga kepolisian belum sepenuhnya menjadi andalan masyarakat dalam mengatasi gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat. Hal ini ditunjukkan oleh masih banyaknya kasus main hakim terhadap penyelesaian kejahatan di masyarakat atau dengan cara menyewa pengamanan swasta yang seringkali bertindak bengis dan anarkhis.
Menilik dari kondisi di atas, ke depan diperlukan updating kebijakan dan regulasi secara terus-menerus untuk meningkatkan profesionalisme Polri. Menurunkan Rasio Polisi masih tetap diperlukan, minimal mencapai kondisi ideal yang ditetapkan PBB dan untuk mengatasi kesenjangan cakupan pelayanan. Tetapi yang tidak kalah penting adalah kualitas pelayanan kepolisian kepada masyarakat harus lebih baik. Indikatornya adalah masyarakat merasa nyaman berhubungan dengan polisi, polisi ada ketika masyarakat membutuhkan (quick response), serta masyarakat merasa nyaman dan aman beraktivitas.
Secara umum kualitas pendidikan anggota Polri sudah cukup baik. Persyaratan pendidikan minimal SLTA telah terpenuhi dan secara alamiah level tamtama akan terhapus di lembaga kepolisian dalam beberapa tahun ke depan. Namun demikian pemahaman terhadap hukum, kondisi sosial ekonomi masyarakat, dan hak asasi manusia perlu terus ditingkatkan. Langkah ini diperlukan untuk menekan angka penyimpangan dan pelanggaran profesi yang mengarah pada penistaan hak asasi manusia.
Gunarta – Perencana Bappenas
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar