Senin, 09 November 2009

PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TERORISME - [CATATAN NATIONAL SUMMIT 29 – 30 OKTOBER 2009]

Sepekan setelah pelantikan Presiden dan pelantikan anggota Kabinet Indonesia Bersatu II, Presiden melakukan gebrakan yang belum pernah dilakukan oleh pemerintahan-pemerintahan sebelumnya, yaitu Rembug Nasional (National Summit) yang digelar bersama dengan kamar dagang dan industri (KADIN) Indonesia. Gebrakan ini untuk mendiskusikan dan mematangkan program jangka pendek dan jangka menengah lima tahun ke depan, sebagaimana yang tertuang dalam Visi dan Misi Presiden terpilih periode 2009 - 2014. Hasil Rembug Nasional tersebut selanjutnya akan di kolaborasikan dalam Program 100 Hari Presiden dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2009 – 2014.

National Summit yang dilaksanakan di Pacific Place – Hotel Ritz Carlton membahas 3 bidang utama yaitu (1) Bidang Ekonomi dengan topik infrastruktur, pangan, energi, usaha kecil menengah (UKM), industri dan jasa, serta transortasi; (2) Bidang Kesejahteraan Rakyat dengan topik pengentasan kemiskinan, penciptaan kesempatan kerja, peningkatan kesehatan masyarakat, peningkatan relevansi dan daya saing pendidikan, mitigasi perubahan iklim dan adaptasi terhadap dampaknya, serta memperkuat peran agama dalam pembangunan; dan (3) Bidang Hukum dan Reformasi dengan topik efektivitas pembangunan daerah, pelayanan publik, pemberantasan korupsi, serta pemberantasan terorisme. Pemberantasan terorisme yang didiskusikan pada Komisi V juga membahas masalah peningkatan kemampuan pertahanan melalui peningkatan peran industri pertahanan dalam negeri.

Dalam tatanan ekonomi yang telah terintegrasi secara global, serangan teroris terutama yang berskala besar akan menimbulkan dampak merugikan terhadap kesejahteraan masyarakat di berbagai belahan dunia termasuk negara-negara berkembang. Serangan 11 September 2001 diperkirakan telah menambah jumlah orang miskin sampai dengan 10 juta dan kerugian total terhadap ekonomi dunia mencapai USD 80 milyar. Kelompok teroris seringkali menjadikan negara-negara yang lemah sebagai tempat perlindungannya dan tumbuh subur seiring kemiskinan, ketidakadilan, dan ketertindasan. Bangsa Indonesia mengalami kerugian baik materi dan non-materi serta kehilangan banyak jiwa sebagai dampak aksi terror di berbagai tempat di wilayah Indonesia. Indonesia juga sering terkena imbas dan warga negara Indonesia terkadang dikaitkan dengan berbagai kejadian terorisme internasional.

Untuk menangani terorisme, Indonesia saat ini telah menjalin kerjasama bilateral maupun multilateral. Secara bilateral dengan Polandia melalui Agreement on Cooperation in Combating Transnational Crime and Other Types of Crime dan dengan Vietnam melalui MoU on Cooperation and Combating Crime. Sedangkan secara multilateral melalui Forum dialog ASEAN melalui Expert Working Group on ASEAN Convention on Counter Terrorism (JEWG on ACCT), ASEAN – Republic of Korea Joint Declaration for Cooperation to Combat International Terrorism, ASEAN – Pakistan Joint Declaration for Cooperation to Combat International Terrorism, dan ASEAN – New Zealand Joint Declaration for Cooperation to Combat International Terrorism, dan Forum APEC melalui Counter Terrorism Task Force (CTTF).

Aksi terorisme yang selama ini berhasil diredam ternyata muncul kembali di wilayah NKRI yang ditandai dengan pemboman 2 (dua) hotel bertaraf internasional di Jakarta. Dengan modus operandi yang telah sedemikian berkembang, jaringan terorisme di wilayah NKRI ini merupakan ancaman dan gangguan yang sangat mengkhawatirkan bagi keamanan nasional. Perkembangan aksi terorisme juga mengindikasikan bahwa sangat mungkin di masa depan aksi terorisme berpotensi menggunakan persenjataan biologi maupun kimia dan bahkan persenjataan nuklir, mengingat ketersediaan dan perdagangan teknologi persenjataan biologi dan kimia, serta bahan nuklir cenderung semakin sulit dikontrol sepenuhnya. Saat ini hampir 60 negara membangun reaktor-reaktor tenaga nuklir dan sekurangnya 40 negara memiliki infrastruktur industri berbasis nuklir.

Selain itu, aksi terorisme yang melibatkan warga negara Indonesia dengan didukung kekuatan asing juga menunjukkan bahwa terorisme di Indonesia masih merupakan bahaya laten. Di masa mendatang, selain pengungkapan, penegakan hukum dan penuntasan jaringan terorisme, tantangan berat lainnya adalah meyakinkan dan memaksimalkan peran seluruh komponen bangsa dan negara serta masyarakat bahwa terorisme adalah musuh yang harus dihadapi secara bersama-sama dan sekuat tenaga sehingga aksi terorisme di wilayah NKRI dapat tercegah.

Dari diskusi yang berkembang terdapat beberapa usulan dan masukan kepada pemerintah guna menanggulangi dan memberantas terorisme. Payung hukum pencegahan dan pemberantasan terorisme perlu segera ditetapkan untuk menghindari berbagai polemik yang terjadi di masyarakat seperti tuduhan penculikan, pelanggaran HAM, atau tuduhan-tuduhan lainnya. Untuk merancang payung hukum tersebut, Departemen Kehakiman, Hukum dan HAM dapat mengadopsi Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional.

Merupakan kenyataan bahwa permasalahan terorisme sangat kompleks dan tidak mungkin hanya ditangani oleh satu instansi (POLRI), harus melibatkan berbagai instansi seperti Departemen Agama, Badan Intelijen, Departemen Pertanian, Dephan/TNI dan sebagainya. Dengan demikian Badan Penanggulangan Terorisme menjadi hal yang penting untuk segera dibentuk. Namun harus ditegaskan apakah sebagai badan koordinasi, regulasi atau operasional.

Terkait dengan koordinasi pencegahan dan penanggulangan terorisme, diperlukan perumusan bersama di mana titik-titik TNI dapat dilibatkan dalam penanggulangan dan pencegahan terorisme. TNI bisa terlibat dalam pencegahan dan penanggulangan terorisme berdasarkan permintaan dan keputusan negara (bisa legislative (politik) atau eksekutif (pemerintah = Presiden). Keterlibatan juga bisa didasarkan pada Beyond Police Capacity, yaitu kemampuan Polri menilai degradasi situasi yang memungkinkan keterlibatan TNI atau lembaga lain dalam pencegahan dan penanggulangan terorisme. Dengan demikian bisa juga dilakukan dengan instruksi (Presiden atau Kapolri). Untuk merumuskan hal-hal tersebut, pembentukan Dewan Keamanan Nasional menjadi urgen.

Pencegahan dan pemberantasan terorisme seringkali berkejaran dengan penguasaan teknologi canggih oleh para teroris. Aparat keamanan seringkali kesulitan mengungkap dan membongkar jaringan teroris karena keterbatasan teknologi yang dimilikinya. Oleh karena itu peningkatan upaya-upaya deteksi dini perlu diprioritaskan dalam pembangunan 5 tahun ke depan. Hal yang tidak kalah penting untuk menjadi perhatian pemerintah adalah adanya laboraturium-laboratorium biologi yang banyak terdapat di sektor pertanian. Laboratorium tersebut dengan mudah dapat merekayasa organisme yang potensial dikembangkan menjadi senjata biologi. Mudahnya akses pemanfaatan laboratorium biologi, sangat mungkin ada orang-orang yang tidak bertanggung jawab mengembangkan bioterorisme. Oleh karena itu, dalam jangka pendek perlu dilakukan inventarisasi dan identifikasi laboratorium-laboratorium agar tidak disalahgunakan atau dikembangkan untuk bioterorisme.

Di perguruan tinggi terdapat paradikma yang justru berkebalikan antara perguruan tinggi keagamaan dengan perguruan tinggi umum. Perguruan tinggi keagamaan (IAIN) cenderung menghasilkan orang-orang yang liberal, sementara perguruan tinggi umum terutama dari fakultas atau jurusan saintifik justru menghasilkan orang-orang radikal. Contohnya, yang terlibat dalam terorisme ciputat beberapa waktu yang lalu adalah mahasiswa saintifik (matematika). Di samping itu, saat ini terjadi pelemahan kegiatan-kegiatan otoritas kampus, sehingga para mahasiswa cendeung secara mandiri membuat atau melakukan berbagai kegiatan-kegiatan di luar kendali otoritas kampus yang sangat mungkin menjurus ke aktivitas terorisme.

Peran lembaga pembina keagamaan seperti Ditjen Binmas Islam Deparemen Agama dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sangat diperlukan dalam rangka mencegah masyarakat agar tidak terlibat dalam aksi terorisme. Pelaku terorisme yang berhasil ditangkap secara kebetulan kebanyakan berasal dari lembaga pendidikan keagamaan seperti pesantren. Bahkan saking banyaknya tersangka teroris dari kalangan pesantren muncul stigmatisasi bahwa pesantren sebagai lembaga yang memproduksi teroris atau sarang terorisme. Celakanya hal ini seringkali dijadikan black campaign bagi kelompok tertentu untuk menyudutkan umat dan agama Islam. Ditambah lagi baik pemerintah maupun media cetak seringkali secara sengaja maupun tidak sengaja meneguhkan stigma tersebut. Oleh karenanya, harus ada upaya menghentikan black campaign agar tidak melukai perasaaan umat Islam.

Pada saat ini MUI telah menerbitkan buku “Pelurusan Makna Jihad” dan telah disebarkan ke berbagai elemen masyarakat termasuk ke pondok-pondok pesantren. MUI juga telah mengeluarkan fatwa bahwa “Terorisme itu haram”, “Bom bunuh diri itu haram”, dan secara tegas tidak mengakui aksi bunuh diri sebagai tindakan Jihad. Sayangnya, fatwa-fatwa MUI tersebut baru disosialisasikan secara terbatas sehingga khalayak umum belum banyak yang mengetahui. Akibatnya stigma Islam sebagai agama kekerasan belum dapat dipupus sama sekali, terutama dikalangan non muslim.

Terorisme muncul dari kalangan radikalis yang seringkali salah memaknai jihad, murtad, kafir, musrik, munafik, ahlul bait, dan lain sebagainya. Inklusifme terhadap kelompoknya (yang radikal) menyebabkan orang di luar kelompoknya dianggap murtad, kafir, atau musrik yang wajib diperangi, kalau perlu dibunuh. Pandangan-pandangan semacam ini harus segera diluruskan. Upayanya adalah dengan melakukan dialog dengan lembaga-lembaga keagamaan yang rawan terlibat terorisme baik di sekolah umum (unit kerohanian Islam) maupun di pesantren-pesantren. Tujuannya adalah untuk menggali sekaligus mengetahui lata belakang mengapa mereka dapat terlibat aksi terorisme. Upaya ini juga harus diimbangi dengan meng-counter black campaign yang mendiskreditkan Islam.

Secara umum masukan dan saran, serta kesimpulan telah searah dengan konsep RPJM N 2009 – 2014 yang disusun oleh Bappenas. Namun demikian, tidak semua saran dan masukan dapat terakomodasikan secara khusus dalam Bab 6 Bidang Pertahanan dan keamanan yang menampung program kerja Dephan/TNI, Polri, BIN, BNN, Wantanas, Lemsaneg, Lemhannas sebagai mitra kerja Direktorat Pertahanan dan Keamanan. Beberapa usulan sifatnya lintas bidang dan lintas instansi seperti Deparemen Hukum dan HAM, Departemen Pertanian, Departemen Dalam Negeri, Departemen Agama, dan sebagainya.

Beberapa issue nasional Summit bidang pencegahan dan pemberantasan terorisme yang dapat diakomodasikan dalam program jangka pendek (program 100 hari) dan jangka panjang (RPJMN 2009 – 2014) adalah : (1) Pembentukan Payung Hukum Pencegahan dan Pemberantasan Terorisme; (2) Pembinaan lembaga pesantren, unit-unit kerohanian Islam untuk menghindarkan keterlibatan dalam aksi terorisme, termasuk menghilangkan stigmatisasi bahwa pesantren produsen teroris dan Islam agama kekerasan; (3) Upaya dialogis untuk meluruskan makna jihad dan berbagai konsep radikal kepada masyarakat umum, lembaga-lembaga pesantren, dan unit-unit kerohanian Islam di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi; (4) Upaya deteksi dini mencegah dan pemberantasan terorisme; (5) Berdasarkan kenyataan bahwa aksi terorisme tidak dapat ditangani oleh satu instansi, diperlukan pembentukan Badan Koordinasi Penanggulangan Terorisme; (6) Inventarisasi dan identifikasi Laboratorium-laboratorium biologi untuk mencegah pengembangan bioterorisme; dan (7) Perumusan keterlibatan TNI dalam pencegahan dan pemberantasan Terorisme.

Gunarta – Perencana Bappenas


Referensi utama : Konsep RPJMN 2010 – 2014 Bidang Hankam, Nasional Summit 2009, dan Hasil Sosialisasi RPJM.

Tidak ada komentar: