Rabu, 16/09/2009 08:47 WIB
Ketika Mudik Lebaran Tiba
Gunarta - suaraPembaca
Menurut pendapat pribadi, definisi bebas dari mudik lebaran adalah peristiwa pergerakan manusia dalam skala besar dari rumah kedua (tempat mencari nafkah) ke rumah pertama (tempat lahir) dalam rangka silaturahmi dan bermaaf-maafan dengan kerabat setelah melaksanakan ibadah puasa ramadhan. Mudik lebaran sudah menjadi khasanah budaya milik bangsa yang konon hanya ada di Indonesia (mudah-mudahan tidak diklaim sebagai tradisi negara tetangga). Oleh karena itu, mudik tidak sekedar tradisi religius umat Islam, tetapi sudah menjadi milik seluruh komponen bangsa baik yang muslim maupun non muslim.
Hal yang menarik dari peristiwa mudik lebaran adalah adanya “pelanggaran” prinsip-prinsip ekonomi, terutama hukum permintaan. Dari sisi konsumen, besarnya permintaan suatu produk (demand) ditentukan oleh harga produk. Jika harga produk rendah, maka permintaannya cenderung meningkat. Sebaliknya jika harga produk tinggi, maka permintaannya cenderung akan menurun (kurva permintaan berbanding terbalik).
Sementara itu dari sisi produsen, besarnya penawaran ditentukan oleh permintaan dan harga yang terjadi. Jika permintaan dan harga tinggi, produsen berusaha menawarkan produk lebih banyak dengan harapan mendapat laba lebih besar. Sebaliknya jika permintaan dan harga menurun, produsen berupaya menurunkan supply produk untuk menekan ongkos produksi dan kerugian yang lebih besar (kurva penawaran berbanding lurus).
Selama event lebaran, katakanlah H-30 sampai dengan H+7, hukum permintaan seolah menyimpang dari yang seharusnya. Konsumen atau pemudik seolah-olah tidak mempermasalahkan berapapun harga yang terjadi (kurva permintaan menuju inelastis sempurna). Hal ini terlihat dari usaha keras pemudik untuk mendapatkan tiket lebaran baik kereta api, pesawat udara, maupun bus antar kota. Berapapun tiket kereta api eksekutif ditawarkan oleh PT. KAI, tidak sampai hitungan hari sudah ludes. Saking butuhnya, calon pemudik rela mengantri dan menginap di stasiun demi sebuah kenikmatan perjalanan mudik. Bahkan calo tiketpun menjadi andalan para pemudik. Padahal harga tiket 100 persen lebih mahal daripada hari-hari kerja biasa dan itu untuk pemberangkatan 30 hari kedepan.
Himbauan pemerintah agar pengusaha angkutan mematuhi tuslah yang sudah ditetapkan, seringkali dianggap angin lalu karena seperti yang sudah-sudah sanksi tidak pernah diterapkan secara tegas. Kenaikan harga tiket bus yang berlipat dari harga tuslah, tidak menyurutkan permintaannya. Tidak mengherankan jika pengusaha akan mengeluarkan semua bus-bus cadangan dan kadangkala mengesampingkan kelayakannya. Dalam perjalanan mudikpun, pemudik tidak mempermasalahkan tingkat kenyamanan yang seharusnya diterima sesuai dengan harga yang dibayarkannya. Pemudik sangat pemaaf atas kondisi ini sesuai dengan semangat Idul Fitri yang sedang berlangsung.
Selama perjalanan, pemudik akan menghadapi penggelembungan harga ( inflasi) yang mau tidak mau harus tunduk pada aturan main “penguasa kuliner jalanan” jika tidak ingin kelaparan atau kehausan. Restoran tempat singgah bus antar kota antar propinsi (AKAP) saling berlomba melambungkan harga. Sebotol air mineral 500 mililiter yang biasanya dijual 2000 rupiah menjadi 5000 rupiah. Harga yang tidak rasional dibandingkan 1 liter Pertamax yang “hanya” 6.400 rupiah. Sekali lagi, kondisi inleastisitas sempurna terjadi pada event ini, di mana pemudik harus memenuhi kebutuhan biologis esensialnya.
Selanjutnya ketika sampai di kampung halamannya, pemudik terjebak pada sikap konsumerisme yang berlebihan. Dengan kata lain mudah membelanjakan tabungan yang dikumpulkan berbulan-bulan untuk membeli barang-barang yang tidak terlalu dibutuhkan alias pemborosan. Pemudik membelanjakan tabungannya untuk oleh-oleh, sandang, perhiasan, atau alat elektronik sekedar menunjukkan bahwa dia manusia modern dan berhasil berkarier di kota. Sikap semacam inilah yang disebut oleh Chatib Basri (Kompas.com) sebagai demonstration effect yang merupakan perubahan format tabungan menjadi konsumsi untuk memamerkan keberhasilan dihadapan keluarganya.
Hal lain yang juga tak kalah unik adalah perilaku pemudik yang seolah-olah menisbikan adanya hukum berkurangnya tambahan kepuasan dari setiap tambahan barang yang dibeli (law of diminishing marginal utility). Dengan levelnya masing-masing, pemudik seolah-olah tidak dapat membedakan mana barang inferior, giffen, barang normal, atau barang supperior. Indikasinya, semua jenis barang tersebut permintaannya menjadi tinggi semua. Tiwul, nasi jagung, atau tempe bongkrek yang pada hari-hari biasa menjadi barang inferior yang lekat dengan kemiskinan, pada saat lebaran menjadi barang istimewa yang diburu oleh para pemudik yang “kangen” dengan masa lalunya.
Kesadaran akan betapa borosnya pemudik adalah ketika lebaran telah usai. Tidak berlebihan jika pemeo lebaran adalah lebar, bubar, habis-habisan, atau enthek-enthekan. Orang yang pada saat lebaran merasa kaya, dermawan, boros, dan ajib harus kembali seperti sebelum lebaran. Merasa miskin, penuh perhitungan, dan menjadi orang kebanyakan yang harus banting tulang untuk mengumpulkan kepeng-demi kepeng (menabung). Anehnya, kondisi ini akan terulang lagi pada lebaran-lebaran mendatang.
Tentunya event lebaran jangan hanya dipandang sebagai pemborosan semata. Banyak efek berganda yang bisa muncul dan sangat mungkin memberikan dampak perekonomian di daerah-daerah tujuan. Meskipun sifatnya tahunan, moment lebaran harus bisa dimanfaatkan untuk menggali, mengenalkan, atau menggelar potensi perekonomian daerah. Para pemudik jangan hanya “diporoti” dengan harga lebaran. Para pemudik harus diperlakukan layaknya calon-calon investor yang diharapkan akan menanamkan modalnya. Atau paling tidak akan menjadi duta investor yang akan mempromosikan potensi daerah sekembalinya mereka ke kota.
Pemerintah Daerah harus pintar memanfaatkan moment lebaran untuk meningkatkan potensi pendapatan daerah. Bukan dengan cara membebani berbagai pungutan kepada pemudik. Tetapi Pemerintah Daerah dapat menggelar acara-acara yang produktif seperti pameran-pameran produk unggulan daerah yang layak jual. Potensi wisata perlu dibenahi dan dipercantik agar pemudik merasa happy dan tidak sayang untuk membelanjakan uang sakunya. Selanjutnya, pelaku bisnis seperti penjual makanan khas daerah atau penyedia transportasi jangan aji mumpung dengan menaikkan harga secara gila-gilaan. Perlakuan ini akan membuat pemudik kapok, meski kapok cabe rawit.
Jadi ! Jangan jadikan pemudik sebagai “sapi perah” yang hanya diperah setahun sekali.
Gunarta – Perencana Bappenas
(msh/msh) Tetap update informasi di manapun dengan http://m.detik.com dari browser ponsel anda!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar