Awal Bulan Agustus 2009 ini penulis berkesempatan mudik ke Wates, sebuah kota kecil di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta untuk bersilaturahmi dengan kerabat di desa sekaligus melestarian budaya “ruwahan” untuk menyambut bulan suci Ramadhan. Untuk mencapai rumah, penulis harus melalui hamparan sawah yang pada saat ini tengah menghijau oleh tanaman palawija seperti jagung, kacang merah, bawang merah, cabai keriting, atau jajaran pohon kelapa dengan buah cukup lebat.
Sungguh merupakan pemandangan yang menyegarkan di tengah kesibukan sehari-hari di kota metropolitan seperti Jakarta. Penulis berasumsi bahwa dengan kondisi yang demikian, petani mestinya akan makmur dengan panen palawija yang melimpah. Secara keseluruhan hasil panen sepertinya akan bagus tahun ini, karena menilik cara budidayanya rata-rata telah mengadopsi teknologi pertanian meskipun dalam skala terbatas. Perkiraan panen melimpah tersebut, juga didukung oleh kondisi iklim yang cukup kondusif bagi tumbuhnya tanaman dan tidak adanya serangan hama penyakit yang dapat mengancam kegagalan panen.
Namun ketika ditanyakan kepada petani mengenai penjualan hasil panennya, di sinilah masalah kesenjangan mulai terlihat. Kalau di Jakarta satu butir kelapa dihargai 4.000 rupiah, maka di tingkat petani hanya dihargai kurang lebih 400 rupiah perbutir. Harga yang diterima petani ini belum dikurangi ongkos pembudidayaan, memetik, menguliti, atau waktu tunggu panen.
Memang ketika menjelang lebaran harga yang diterima petani bisa mencapai 5.000 rupiah perbutir, tetapi di Jakarta atau kota-kota besar lainnya bisa mencapai 15.000 rupiah perbutir. Sebuah margin gab yang luar biasa berlipat. Tidak mengherankan apabila petani terpaksa tidak melakukan pemanenan kelapa dan dibiarkan jatuh dengan sendirinya untuk mengakali ongkos produksi.
Komoditas lain seperti cabai misalnya, kurang lebih permasalahan yang dihadapi hampir sama. Bedanya, fluktuasi harga cabai cukup fluktuatif karena tergantung musim panen. Artinya ketika permintaan cabai meningkat sementara hasil panen terbatas, petani cukup menikmati hasil panennya. Tetapi ketika sedang panen raya dan harga jatuh, ibarat ada yang meminta cabai, petani akan menyuruh memetik sendiri semaunya. Bahkan tidak jarang, cabai dibiarkan membusuk dan mengering di rantingnya.
Margin gab ini tidak hanya dihadapi oleh petani di Wates saja, tetapi sangat mungkin dihadapi oleh seluruh petani di Indonesia. Tidak mengherankan jika petani di Indonesia identik dengan kemiskinan dan orientasinya adalah immanent (untuk memenuhi kebutuhan sendiri). Bahkan bagi kalangan muda pencari kerja, bidang pertanian dapat dikatakan sebagai bidang yang paling tidak diminati. Mereka lebih memilih pergi ke kota-kota besar untuk mengadu nasib, meskipun dengan bekal pendidikan dan ketrampilan yang sangat minim.
Dengan kepemilikan lahan rata-rata di bawah 0,5 hektar, petani dihadapkan pada ketidakefisienan pemanfaatan sarana produksi, jam kerja orang (JKO) yang berlebih, harga sarana produksi yang mahal, serta resiko kegagalan panen akibat “salah mongso” atau serangan hama penyakit. Selanjutnya ketika panen, jika tidak terjerat sistem permainan ijon, petani seringkali terbentur harga jual yang jatuh karena produk melimpah dan kurang kompetitif.
Kemampuan pengelolaan pasca panen yang terkesan tradisional dan kurang inovatif, menyebabkan value added produk pertanian di tingkat petani sangat rendah. Metode pengawetan, khususnya melalui pengeringan masih mengandalkan cahaya matahari yang memang cukup melimpah di negara tropis ini. Ini tidak menguntungkan, terutama bagi daerah-daerah pertanian dengan curah hujan yang tinggi. Akibatnya kualitas produk rendah dan rentan terhadap serangan jamur atau serangga.
Dalam hal membuat produk agar terkesan menarik dan berkualitas, petani kita masih tertinggal dibandingkan dengan petani Thailand. Hal ini dapat dilihat di toko-toko buah dipinggiran jalan sekalipun, kemasan dan warna buah impor dari Thailand sangat menarik dibanding buah lokal yang terkesan kurang menarik, “burik”, dengan bentuk yang kurang simetris. Dari rasanyapun, buah impor lebih legit dan manis dibandingkan buah lokal yang seringkali masam karena proses budidaya dan grading yang kurang bagus.
Dari uraian tersebut di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa petani kita harus ditolong terutama dari aspek proses produksi dan aspek pemasaran hasil pertanian. Petani harus diubah pola pikirnya dari petani tradisional yang berorientasi immanent menjadi petani yang berorientasi bisnis dan berwawasan keluar (outward looking). Petani perlu diarahkan menghasilkan produk-produk pertanian yang kompetitif bernilai ekonomi tinggi yang layak bersaing, minimal di lingkungan ASEAN.
Oleh karena itu, petani secara politis tidak hanya didorong atau dilibatkan pada upaya-upaya pencapaian swasembada, katakanlah beras. Sebuah produk yang nilai politisnya sangat tinggi, tetapi kurang mensejahterakan para petani. Kalaupun akan dilibatkan secara politis, mereka layak mendapatkan kompensasi seperti subsidi pupuk, obat-obatan, dan jaminan penyerapan hasil panen dengan harga yang memadai.
Dari aspek pemasaran hasil pertanian, perlu diupayakan peningkatan pemahaman petani tentang pengelolaan pasca panen. Di era pasar bebas ini, petani jangan hanya berorientasi pada kuantitas tetapi kualitas. Pengetahuan tentang pengawetan, penyimpanan, grading, atau packing yang menarik menjadi hal penting untuk meningkatkan daya saing. Jika langkah ini tidak ditempuh, selamanya produk pertanian kita hanya menjadi second choices di tengah membanjirnya produk pertanian luar negeri.
Tugas pemerintah untuk menolong petani. Paling tidak terletak pada penjaminan ketersediaan sarana produksi yang meliputi benih berkualitas, pupuk, dan obat-obatan dengan harga terjangkau. Pemberian subsidi sarana produksi merupakan hal yang wajib dilakukan pemerintah dengan mekanisme yang tidak berbelit-belit dan tidak melibatkan rantai distribusi yang panjang lebar.
Untuk melaksanakan ini, kiranya pemerintahan saat ini perlu menengok atau merujuk kebijakan pemerintahan terdahulu seperti untuk swasembada beras melalui program Bimas, Inmas, Insus, dan Suprainsus yang cukup berhasil mendongkrak produksi beras. Sementara itu untuk mendukung distribusi saprodi dan menampung hasil produksi peran Koperasi Unit Desa (KUD) perlu dihidupkan kembali. Penulis masih ingat pada tahun 80-an, KUD sangat berperan sekali dalam mendukung program-program swasembada pangan yang didukung BRI, perguruan tinggi, dan penyuluh pertanian. Langkah ini memang terkesan melanggar prinsip-prinsip pasar bebas dalam kerangka WTO. Tetapi, sekali lagi. Petani perlu ditolong.
Gunarta – Perencana Bappenas
Minggu, 11 Oktober 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar