Minggu, 11 Oktober 2009

SETELAH GEMBONG TERORIS NOORDIN M. TOP TEWAS

Sekali lagi, acungan jempol kita tujukan kepada aparat keamanan yang berhasil menangkap tidak hidup gembong teroris Noordin M. Top. Pada operasi penyergapan di Kampung Kepuhsari, Kelurahan Mojosongo, Kecamatan Jebres, Solo, Jawa Tengah pada hari Kamis 17 September 2009, aparat keamanan berhasil menembak mati 3 orang buron terorisme yang salah satunya adalah Noordin M. Top. Keberhasilan ini, semoga semakin memantapkan kondisi keamanan dalam negeri dari ancaman terorisme.

Terbunuhnya Noordin M. Top merupakan puncak keberhasilan pencegahan dan penanggulangan terorisme di Indonesia. Setelah Dr. Azahari, Noordin M. Top merupakan tokoh yang paling dicari karena keahliannya dalam merakit bom, menggalang dana, dan alhi dalam perekrutan “penganten” pelaku bom bunuh diri. Kemampuannya dalam menyamar dan didukung dengan mobilitas yang tinggi serta dukungan pengikut yang setia, menyebabkan upaya penangkapan memerlukan waktu lebih dari 7 tahun.

Untuk sementara waktu, Indonesia dapat bernafas lega. Bayang-bayang aksi terorisme diharapkan semakin memudar seiring dengan semakin meningkatnya kemampuan aparat keamanan dalam pencegahan dan penanggulangan terorisme. Selanjutnya, “sisa-sisa” sel teroris agar segera dipotong dan dieliminir sehingga tidak sempat berkembang menjadi jaringan teroris yang dapat mengancam keamanan dalam negeri.

Setelah Noordin M. Top terbunuh, hal yang penting untuk dilakukan ke depan adalah bagaimana mencegah dan menanggulani ancaman terorisme secara lebih efektif dan lebih memperhatikan sensitivitas masyarakat, khususnya umat Islam Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa secara langsung maupun tidak langsung, berbagai aksi terorisme telah memberikan stigma negatif bagi umat dan agama Islam.

Cap terorisme mau tidak mau akan menjadi beban umat Islam karena kebetulan para pelaku aksi terorisme mengatasnamakan Jihad. Pemahaman Jihad yang ekstrim, oleh masyarakat non muslim dianggap sebagai ajaran Islam yang mengedepankan kekerasan. Padahal pengertian Jihad tidak hanya sebatas perang secara fisik melawan musuh-musuh Islam (yang memusuhi Islam), tetapi maknanya lebih luas seperti bekerja secara baik, menahan diri untuk tidak berbuat maksiat (melawan hawa nafsu), menahan godaan untuk tidak korupsi, atau perjuangan seorang ibu yang sedang melahirkan termasuk kategori dalam Jihad.

Untuk menghilangkan stigma negatif tersebut, memerlukan upaya yang sangat berat dan penuh dengan tantangan. Pemerintah harus bisa berbuat adil dan balance terhadap masyarakat Indonesia yang mayoritas Islam. Jangan sampai terdapat sikap tidak adil dan tidak-balance dalam menangani masalah terorisme, karena hal tersebut bisa menimbulkan perasaan saling curiga, saling serang, atau saling tolak dikalangan umat Islam sendiri.

Di sisi lain, pemerintah harus mampu memberikan pemahaman kepada masyarakat non muslim agar mereka tidak meng-gebyah uyah (menggeneralisir) dan mendiskreditkan umat dan agama Islam, hanya karena pelaku aksi terorisme adalah orang-orang yang beragama Islam. Karena pada dasarnya, aksi teroris dapat dilakukan oleh siapapun tidak hanya oleh orang muslim. Di negara-negara yang warganya mayoritas non muslim seperti India, Philipina, Jepang, atau negara-negara yang memiliki masalah separatisme, ada juga aksi-aksi terorisme yang tidak kalah dahsyatnya.

Perlunya pembinaan lembaga pesantren

Secara kebetulan atau tidak, pelaku terorisme di Indonesia kebanyakan berasal dari kalangan muda pesantren. Para santri yang sedang belajar di pondok pesantren relatif mudah menerima faham-faham keagamaan, termasuk yang radikal. Celakanya, kondisi ini sering dimanfaatkan oleh gembong terorisme untuk membantu mencapai apa yang diinginkannya. Dengan memanfaatkan keluguan para santri, para gembong teroris mampu mendogmatisasikan “Jihad” kepada para santri untuk melakukan aksi bom bunuh diri dengan iming-iming masuk surga. Harga surga yang sangat murah, tetapi tidak logis. Bagaimana surga didapat dengan membunuh dan mencederai orang-orang yang tidak bersalah!

Menurut Direktorat Jendral Pendidikan Islam Departemen Agama, jumlah pesantren di Indonesia pada tahun 2008 mencapai 15 ribuan dengan jumlah 5-6 juta santri. Kekhasan dari pesantren adalah penyelenggaraan program kajian ilmu-ilmu agama Islam yang bersumber pada kitab-kitab berbahasa Arab yang disusun pada zaman pertengahan atau lebih dikenal dengan nama kitab kuning (detik.com). Dalam kurikulumnya tidak ditemukan adanya ajaran terorisme, sehingga jika ada santri atau alumni yang terlibat aksi terorisme, sangat dimungkinkan diperoleh dari luar pondok pesantren.

Sebagian besar lembaga pesantren tidak memiliki fasilitas pendidikan dan pemondokan yang memadai. Tidak mengherankan jika banyak santri yang belajar dengan sarana sangat terbatas, tidur di pondok-pondok yang kurang sehat, atau terserang penyakit kulit karena sanitasi buruk. Dalam hal gizipun setali tiga uang, para santri banyak yang kekurangan gizi. Namun dengan kesahajaan tersebut, lembaga-lembaga pesantren mampu menghasilkan pemuda-pemuda yang sholeh dan pendakwah-pendakwah yang mumpuni.

Perhatian pemerintah terhadap lembaga pesantren, relatif masih sangat minim. Bahkan banyak yang belum tersentuh sama sekali bantuan pemerintah. Operasional pesantren kebanyakan hanya mengandalkan dana iuran orang tua santri yang tidak seberapa, donatur, pungutan sumbangan, atau bisnis kecil-kecilan pesantren yang jumlahnya sangat terbatas. Akibat dari keterbatasan ini, suatu lembaga pesantren kadangkala tidak bisa menolak uluran bantuan yang tidak jelas yang mungkin saja dapat “menjebaknya” dalam lingkaran terorisme karena utang budi.

Strategi kebijakan pemerintah terhadap lembaga pesantren harus diubah. Apabila selama ini lebih mengedepankan aspek pengawasan, ke depan harus mengutamakan aspek pembinaan tanpa ada upaya menggiring kearah penyeragaman kurikulum pesantren. Aspek pengawasan seringkali dilihat sebagai upaya campur tangan pemerintah, terutama dalam hal kurikulum pesantren. Padahal tidak mungkin menyeragamkan kurikulum, karena setiap lembaga pesantren umumnya memiliki mahzab masing-masing. Pengawasan yang berlebihan juga seringkali menimbulkan kecurigaan yang berujung pada sikap antipati.

Aspek pembinaan dapat dilakukan melalui forum dialog-dialog silaturahmi atau pemberian bantuan finansial untuk memberdayakan pesantren. Dialog sangat penting dilakukan untuk mencapai kesepahaman antara pemerintah dengan lembaga pesantren. Pendekatan yang intensif dalam suasana kekeluargaan dan persahabatan akan mengakrabkan antara umaro dan ulama, sehingga akan terjalin hubungan simbiose mutualisma. Umaro dapat melaksanakan program pembinaan sesuai dengan sasarannya, sementara para ulama atau pemimpin lembaga pesantren akan merasa diperhatikan oleh pemerintah.

Pemberian bantuan finansial dilaksanakan dalam rangka “membendung” pendanaan pesantren yang tidak jelas asal usulnya. Namun pemberian bantuan finansial akan efektif apabila disertai pelatihan-pelatihan ketrampilan. Kegiatan ini selain untuk meningkatkan hubungan silaturahmi antara pemerintah dan lembaga pesantren, juga akan menambah bekal bagi para santri ketika terjun ke masyarakat.

Diharapkan dengan perubahan strategi tersebut, pertumbuhan sel-sel terorisme yang ada di lingkungan pesantren dapat ditekan sehingga tidak berkembang menjadi jaringan terorisme. Klimaks keberhasilan dalam menangkap tidak hidup gembong teroris Noordin M. Top dapat dijadikan titik awal pencegahan dan penanggulangan terorisme yang lebih mengedepankan aspek sensitivitas umat Islam. Pencegahan dan penanggulangan terorisme harus terus dilanjutkan, tetapi jangan sampai menimbulkan kekhawatiran, ketakutan dan perpecahanan di kalangan umat Islam.

Gunarta – Perencana Bappenas.

Tidak ada komentar: