Pada tanggal 11 Desember 2008, Koran Tempo menurun artikel opini yang berjudul Pornografi dan Kejahatan Seksual tulisan Milton Diamond, Profesor dari University of Hawaii. Dalam tulisannya, Diamond sepertinya menyangsikan efektivitas penetapan Undang-Undang Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi.
Dalam pandangannya, suatu negara yang melegalkan pornografi memiliki kecenderungan tingkat kejahatan seksual menurun, khususnya ditinjau dari kasus-kasus pemerkosaan. Sebaliknya jika suatu negara tidak melegalkan pornografi, kejahatan seksual cenderung akan meningkat. Pandangannya tersebut didukung beberapa penelitian di negara-negara Barat yang memang sudah lama melegalkan pornografi seperti di Denmark, Swedia, Jerman, dan Amerika Serikat. Demikian juga penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Diamond sendiri dengan kolega-koleganya di Jepang, Kroasia, Shanghai, Polandia, Finlandia, Cekoslovakia, menunjukkan bahwa ketersediaan material-material pornografi cenderung menurunkan kasus-kasus pemerkosaan di negara-negara tersebut. Terkait dengan hasil penelitian-penelitian tersebut, Diamond menduga bahwa kejahatan seksual di Indonesia cenderung akan meningkat karena pelaksanaan Undang-Undang Pornografi.
Kesimpulan itu barangkali benar. Logikanya adalah sesuatu yang tidak ditabukan tidak lagi mengundang rasa penasaran seseorang untuk melabrak ketabuan. Orang yang setiap hari dicekoki produk-produk pornografi, pada saatnya nanti tidak “greng” lagi melihat hal-hal yang berbau pornografi. Bahkan dalam suatu perkawinanpun, masa-masa tidak “greng” akan menjangkiti pasangan suami-istri. Di sisi lain, pornografi yang dilegalkan akan berdampak pada meningkatnya budaya permisif, khususnya perilaku seksual. Orang tidak lagi merasa terkekang norma keagamaan dan ada kecenderungan orang melakukan aktivitas seksual berdasarkan suka sama suka meskipun bukan pada pasangan yang sah.
Dalam Pasal 3 disebutkan bahwa Undang-Undang Pornografi bertujuan : (a) mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat yang beretika, berkepribadian luhur, menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menghormati harkat dan martabat kemanusiaan; (b) menghormati, melindungi, dan melestarikan nilai seni dan budaya, adat istiadat, dan ritual keagamaan masyarakat Indonesia yang majemuk; (c) memberikan pembinaan dan pendidikan terhadap moral dan akhlak masyarakat; (d) memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi warga negara dari pornografi, terutama bagi anak dan perempuan; dan (e) mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di masyarakat. Melihat tujuan Undang-Undang itu sebenarnya sangat mulia dan hal tersebut sebagai wujud tanggung jawab serta perlindungan negara terhadap aktivitas pornografi.
Permasalahan utama yang selama ini menjadi pro kontra adalah terkait definisi pornografi yang tidak dapat digeneralisir dalam kemajemukan sosial, agama, budaya, dan masyarakat Indonesia.
Sebagai negara yang menjunjung tinggi adat ketimuran dan mengakui keberadaan agama, Undang-Undang Pornografi tetap harus dilaksanakan, meskipun pendapat Diamond itu dapat terjadi di Indonesia. Mungkin benar legalitas pornografi dapat mengurangi kejahatan seksual (pemerkosaan), tetapi membebaskan pornografi dapat meningkatkan angka perceraian, perselingkuhan, hubungan pranikah yang secara tegas dilarang dalam agama (Islam), tidak menghargai lembaga perkawinan, dan banyak anak-anak lahir tanpa orang tua yang lengkap.
Hal yang berbeda dengan dunia Barat. Atas nama hak asasi manusia, negara tidak banyak ikut campur masalah pribadi warganegaranya termasuk dalam hal perilaku seksual. Namun dampaknya dapat kita lihat di mana virginitas tidak lagi diagungkan, rumah tangga rentan terhadap perceraian, perselingkuhan menjadi hal yang biasa, bebas hidup bersama tanpa ikatan pernikahan, keluarga tidak bisa lagi mengendalikan perilaku seksualitas anggotanya sebelum memasuki usia perkawinan, dan berbagai kebebasan-kebebasan seksualitas lainnya.
Jadi kalau pandangan Diamon yang hanya dari sisi kejahatan seksual, mungkin benar. Untuk kondisi Indonesia yang masih menjunjung tinggi lembaga perkawinan sebagai pintu dari apa yang tidak diperbolehkan menjadi diperbolehkan (dari yang haram menjadi halal), maka pemberlakukan Undang-Undang Pornografi menjadi sangat relevan. Dalam pandangan Islam, menjaga diri dan keluarga (salah satunya dari perbuatan zina) yang dapat menjerumuskan ke api neraka, adalah kewajiban setiap muslim baik secara pribadi maupun kelembagaan dan negara. Perbuatan zina tidak hanya melakukan hubungan seksual secara harfiah (bercumbu atau bersenggama) dengan bukan pasangannya yang sah, tetapi melihat, menikmati, atau sekedar memfasilitasi material pornografi masuk dalam kategori perzinahan.
Selasa, 30 Desember 2008
Selasa, 21 Oktober 2008
KEPANGKATAN VS KESEJAHTERAAN PRAJURIT
Beberapa waktu yang lalu di kantor kami kedatangan seorang Perwira TNI berpangkat Letnan Kolonel yang berkantor di Departemen Pertahanan. Kedatangannya dalam rangka mengurus pertanggungjawaban SPPD ke luar negeri pimpinan kami. Agak aneh memang, seorang Perwira Menengah melaksanakan pekerjaan seperti itu yang seharusnya bisa dikerjakan oleh seorang Bintara. Tetapi begitulah dunia kerja kantor-kantor pemerintah. Pimpinan kadang-kadang kurang tepat memberikan perintah (mendelegasikan) pekerjaan kepada staf bawahannya. Pekerjaan fotocopy yang seharusnya bisa dilaksanakan oleh seorang office boy atau staf TU, diperintahkan kepada seorang staf golongan tiga. Demikian juga, seorang staf golongan tiga yang seharusnya ikut secara aktif dalam suatu diskusi / rapat-rapat mengerjakan perintah mengedarkan blangko absensi peserta rapat.
Sambil menunggu kedatangan pimpinan kami, momen kedatangan Perwira tersebut saya manfaatkan untuk “mengorek” hal ihwal tentang pemberian fasilitas TNI yang dalam bayangan saya sangat memadai dibandingkan dengan instansi pemerintah yang lainnya. Dalam pembicaraan tersebut, saya memperoleh informasi mengenai kendaraan dinas para pejabat militer baik di Departemen Pertahanan maupun Markas Besar TNI/Angkatan. Hasilnya kurang lebih sama dengan apa yang pernah saya tuliskan dalam tiga artikel terdahulu mengenai pemanfaatan fasilitas negara untuk para pegawai negerinya.
Berdasarkan penjelasannya, jika seorang tentara menduduki jabatan administrasi (bukan komandan) setingkat Mayor atau Letnan Kolonel, maka dia mendapatkan fasilitas kendaraan dinas sejenis Toyota Avansa. Jika seorang tentara menduduki jabatan administrasi setingkat Kolonel, maka dia mendapatkan fasilitas kendaraan dinas sejenis Toyota Vios. Jika seorang tentara menduduki jabatan setingkat bintang satu, maka dia mendapatkan fasilitas kendaraan dinas sejenis Toyota Altis. Selanjutnya jika seorang tentara menduduki jabatan setingkat bintang dua, maka dia mendapatkan fasilitas kendaraan dinas sejenis Camri. Kendaraan tambahan diberikan kepada para tentara yang memegang jabatan komando, yaitu kendaraan lapangan jenis Jeep mulai dari Katana, Escudo, Hardtop sampai dengan Jeep mewah sekelas Land Cruiser, Land Rover atau Mitsubisi Pajero. Bahkan untuk para panglima disediakan kendaraan keluarga dari Toyota Kijang sampai dengan Alpard.
Ketika membicarakan fasilitas perumahan TNI, saya agak terkejut mendengarkan pengakuannya bahwa sampai saat ini dia tidak memiliki rumah pribadi. Rumah yang ditinggali bersama keluarganya saat ini adalah sebuah rumah di kompleks Perwira TNI di kawasan Cibinong. Dia juga sempat mengeluh dan mengkhawatirkan masa depannya ketika sudah pensiun akan tinggal di mana. Kebutuhan hidup dan pendidikan anak-anaknya yang menyedot sebagian besar pendapatannya, menyebabkan sekedar menyisihkan uang muka untuk kredit perumahan terasa sangat berat. Sang perwira tersebut memang memiliki rumah di kampungnya (Yogyakarta), tetapi rumah tersebut masih milik orang tuanya.
Apabila yang dikatakannya benar dan bukan dalam rangka merendah, sepertinya tidak masuk akal seorang perwira berpangkat Letnan Kolonel yang sudah mengabdi lebih dari 20 tahun tidak memiliki rumah. Lantas bagaimana dengan para Tamtama dan Bintara yang merupakan jumlah terbesar dari personil organisasi TNI ?
Menurut pengakuannya, kondisi semacam itu tidak hanya dialami oleh dirinya, tetapi banyak rekan-rekan sejawatnya yang bernasib sama. Alasan yang dikemukakan adalah sistem penugasan personil TNI yang sangat dinamis. Dalam masa pengabdiannya, khususnya untuk tentara-tentara yunior, seorang tentara bisa berpindah-pindah tempat tugas sampai puluhan kali. Untungnya dalam setiap kepindahan tugasnya selalu disediakan fasilitas rumah dinas untuk tinggal bersama keluarganya. Akibat seringnya berpindah-pindah tugas, menyebabkan personil TNI terkadang melupakan atau menunda-nunda keinginan untuk memiliki rumah pribadi. Mereka merasakan sebagai hal yang sia-sia (mubazir) jika memiliki rumah tetapi tidak ditempatinya. Kemudian ketika menjadi tentara senior yang relatif tidak banyak mengalami perpindahan tugas, mereka tetap menempati rumah dinas dan biasanya dalam waktu yang lama. Pada saat ini, seperti dikeluhkan oleh perwira Dephan tadi, para tentara senior tersebut mulai merasakan urgensi kepemilikan rumah pribadi. Namun permasalahan yang mereka hadapi umumnya sama, yaitu tidak tersedianya dana yang mencukupi untuk membeli rumah karena sebagian besar pendapatannya dipergunakan untuk kebutuhan hidup dan pendidikan anak-anaknya.
Selanjutnya, ketika pensiun, mereka tetap menempati rumah dinas yang seharusnya sudah ditinggalkannya setelah pensiun. Perasaan telah berjasa bagi nusa dan bangsa menjadikan mereka merasa berhak atas rumah dinas yang telah ditempati bertahun-tahun. Kondisi inilah yang seringkali menyulitkan Departemen Pertahanan/TNI dalam menguasai kembali rumah dinas yang ditempati para pensiunan, janda, dan/atau anak-anak purnawirawan TNI. Langkah pengusiran seringkali terpaksa dilakukan karena Departemen Pertahanan/TNI menghadapi keterbatasan fasilitas perumahan untuk para personil militer aktif yang juga berhak mendapatkan rumah dinas. Bahkan bentrok fisik antara penghuni dengan kesatuan TNI yang menertibkan rumah dinas seringkali tidak dapat dihindarkan.
Berdasarkan keterangan Kapuspen TNI, Marsda TNI Sagom Tamboen, Departemen Pertahanan/TNI saat ini memiliki 177.944 unit rumah dinas. Sebanyak 32.819 unit atau 18,44 % masih ditempati oleh pensiunan, janda, dan/atau anak purnawirawan TNI (http://news.okezone.com). Dengan jumlah personil dan PNS TNI sebanyak 455.000 personil, berarti pada saat ini kurang lebih 310.000 personil dan PNS TNI tidak mendapatkan fasilitas rumah dinas. Oleh karena itu seandainya 32.819 unit rumah dinas dapat diambil alih, maka sebanyak 32.819 prajurit yang masih aktif akan mendapatkan fasilitas rumah dinas yang menjadi haknya.
Pemerintah khususnya Departemen Pertahanan/TNI harus mulai memikirkan bagaimana meningkatkan kesejahteraan para personil TNI, terutama bagi mereka yang akan memasuki masa pensiun. Sistem penugasan yang dinamis harus mampu memberikan kompensasi atau jaminan bahwa personil yang ditugaskan kedepannya harus memiliki rumah, sesederhana apapun. Pemerintah harus memberikan penghargaan yang memadai bagi pengorbanan serta dedikasi setiap prajurit untuk menjaga agar NKRI ini tetap tegak dan berjaya. Banyak fakta yang berbicara bahwa penugasan yang dinamis mengharuskan keluarga TNI harus rela ditinggal berbulan-bulan, berpindah-pindah tempat tinggal, berpindah-pindah tempat pendidikan anak-anaknya yang berarti harus selalu melakukan penyesuaian-penyesuaian, atau keluarga harus menanggung beban merawat dan menghidupi tentara yang cacat seumur hidup sebagai resiko dalam melaksanakan tugas.
Tataran anggota TNI yang harus dipikirkan kesejahteraannya adalah tataran Bintara dan Perwira Madya senior, yang pada umumnya riwayat kepangkatan merangkak dari bawah atau Perwira yang kurang beruntung dalam meniti kariernya. Para Perwira yang kurang beruntung tersebut seringkali dijuluki perwira ‘Kolpol (Kolonel sampai pol)” yang tidak dapat naik pangkatnya sampai pensiun. Sedangkan para Bintara yang sukses mencapai tataran Perwira, adalah para Bintara yang tergolong berprestasi dalam meniti karier, namun jumlahnya relatif sedikit dan secara ekonomi juga kurang sejahtera. Sementara itu perhatian pemerintah untuk tataran Bintara senior yang mendekati pensiun, yang merupakan jumlah terbesar dari organisasi TNI, diperlukan juga karena pada tataran ini kebanyakan prajurit hidup dengan perekonomian yang kurang sejahtera dan dapat disetarakan kesejahteraannya dengan PNS golongan I dan II.
Sambil menunggu kedatangan pimpinan kami, momen kedatangan Perwira tersebut saya manfaatkan untuk “mengorek” hal ihwal tentang pemberian fasilitas TNI yang dalam bayangan saya sangat memadai dibandingkan dengan instansi pemerintah yang lainnya. Dalam pembicaraan tersebut, saya memperoleh informasi mengenai kendaraan dinas para pejabat militer baik di Departemen Pertahanan maupun Markas Besar TNI/Angkatan. Hasilnya kurang lebih sama dengan apa yang pernah saya tuliskan dalam tiga artikel terdahulu mengenai pemanfaatan fasilitas negara untuk para pegawai negerinya.
Berdasarkan penjelasannya, jika seorang tentara menduduki jabatan administrasi (bukan komandan) setingkat Mayor atau Letnan Kolonel, maka dia mendapatkan fasilitas kendaraan dinas sejenis Toyota Avansa. Jika seorang tentara menduduki jabatan administrasi setingkat Kolonel, maka dia mendapatkan fasilitas kendaraan dinas sejenis Toyota Vios. Jika seorang tentara menduduki jabatan setingkat bintang satu, maka dia mendapatkan fasilitas kendaraan dinas sejenis Toyota Altis. Selanjutnya jika seorang tentara menduduki jabatan setingkat bintang dua, maka dia mendapatkan fasilitas kendaraan dinas sejenis Camri. Kendaraan tambahan diberikan kepada para tentara yang memegang jabatan komando, yaitu kendaraan lapangan jenis Jeep mulai dari Katana, Escudo, Hardtop sampai dengan Jeep mewah sekelas Land Cruiser, Land Rover atau Mitsubisi Pajero. Bahkan untuk para panglima disediakan kendaraan keluarga dari Toyota Kijang sampai dengan Alpard.
Ketika membicarakan fasilitas perumahan TNI, saya agak terkejut mendengarkan pengakuannya bahwa sampai saat ini dia tidak memiliki rumah pribadi. Rumah yang ditinggali bersama keluarganya saat ini adalah sebuah rumah di kompleks Perwira TNI di kawasan Cibinong. Dia juga sempat mengeluh dan mengkhawatirkan masa depannya ketika sudah pensiun akan tinggal di mana. Kebutuhan hidup dan pendidikan anak-anaknya yang menyedot sebagian besar pendapatannya, menyebabkan sekedar menyisihkan uang muka untuk kredit perumahan terasa sangat berat. Sang perwira tersebut memang memiliki rumah di kampungnya (Yogyakarta), tetapi rumah tersebut masih milik orang tuanya.
Apabila yang dikatakannya benar dan bukan dalam rangka merendah, sepertinya tidak masuk akal seorang perwira berpangkat Letnan Kolonel yang sudah mengabdi lebih dari 20 tahun tidak memiliki rumah. Lantas bagaimana dengan para Tamtama dan Bintara yang merupakan jumlah terbesar dari personil organisasi TNI ?
Menurut pengakuannya, kondisi semacam itu tidak hanya dialami oleh dirinya, tetapi banyak rekan-rekan sejawatnya yang bernasib sama. Alasan yang dikemukakan adalah sistem penugasan personil TNI yang sangat dinamis. Dalam masa pengabdiannya, khususnya untuk tentara-tentara yunior, seorang tentara bisa berpindah-pindah tempat tugas sampai puluhan kali. Untungnya dalam setiap kepindahan tugasnya selalu disediakan fasilitas rumah dinas untuk tinggal bersama keluarganya. Akibat seringnya berpindah-pindah tugas, menyebabkan personil TNI terkadang melupakan atau menunda-nunda keinginan untuk memiliki rumah pribadi. Mereka merasakan sebagai hal yang sia-sia (mubazir) jika memiliki rumah tetapi tidak ditempatinya. Kemudian ketika menjadi tentara senior yang relatif tidak banyak mengalami perpindahan tugas, mereka tetap menempati rumah dinas dan biasanya dalam waktu yang lama. Pada saat ini, seperti dikeluhkan oleh perwira Dephan tadi, para tentara senior tersebut mulai merasakan urgensi kepemilikan rumah pribadi. Namun permasalahan yang mereka hadapi umumnya sama, yaitu tidak tersedianya dana yang mencukupi untuk membeli rumah karena sebagian besar pendapatannya dipergunakan untuk kebutuhan hidup dan pendidikan anak-anaknya.
Selanjutnya, ketika pensiun, mereka tetap menempati rumah dinas yang seharusnya sudah ditinggalkannya setelah pensiun. Perasaan telah berjasa bagi nusa dan bangsa menjadikan mereka merasa berhak atas rumah dinas yang telah ditempati bertahun-tahun. Kondisi inilah yang seringkali menyulitkan Departemen Pertahanan/TNI dalam menguasai kembali rumah dinas yang ditempati para pensiunan, janda, dan/atau anak-anak purnawirawan TNI. Langkah pengusiran seringkali terpaksa dilakukan karena Departemen Pertahanan/TNI menghadapi keterbatasan fasilitas perumahan untuk para personil militer aktif yang juga berhak mendapatkan rumah dinas. Bahkan bentrok fisik antara penghuni dengan kesatuan TNI yang menertibkan rumah dinas seringkali tidak dapat dihindarkan.
Berdasarkan keterangan Kapuspen TNI, Marsda TNI Sagom Tamboen, Departemen Pertahanan/TNI saat ini memiliki 177.944 unit rumah dinas. Sebanyak 32.819 unit atau 18,44 % masih ditempati oleh pensiunan, janda, dan/atau anak purnawirawan TNI (http://news.okezone.com). Dengan jumlah personil dan PNS TNI sebanyak 455.000 personil, berarti pada saat ini kurang lebih 310.000 personil dan PNS TNI tidak mendapatkan fasilitas rumah dinas. Oleh karena itu seandainya 32.819 unit rumah dinas dapat diambil alih, maka sebanyak 32.819 prajurit yang masih aktif akan mendapatkan fasilitas rumah dinas yang menjadi haknya.
Pemerintah khususnya Departemen Pertahanan/TNI harus mulai memikirkan bagaimana meningkatkan kesejahteraan para personil TNI, terutama bagi mereka yang akan memasuki masa pensiun. Sistem penugasan yang dinamis harus mampu memberikan kompensasi atau jaminan bahwa personil yang ditugaskan kedepannya harus memiliki rumah, sesederhana apapun. Pemerintah harus memberikan penghargaan yang memadai bagi pengorbanan serta dedikasi setiap prajurit untuk menjaga agar NKRI ini tetap tegak dan berjaya. Banyak fakta yang berbicara bahwa penugasan yang dinamis mengharuskan keluarga TNI harus rela ditinggal berbulan-bulan, berpindah-pindah tempat tinggal, berpindah-pindah tempat pendidikan anak-anaknya yang berarti harus selalu melakukan penyesuaian-penyesuaian, atau keluarga harus menanggung beban merawat dan menghidupi tentara yang cacat seumur hidup sebagai resiko dalam melaksanakan tugas.
Tataran anggota TNI yang harus dipikirkan kesejahteraannya adalah tataran Bintara dan Perwira Madya senior, yang pada umumnya riwayat kepangkatan merangkak dari bawah atau Perwira yang kurang beruntung dalam meniti kariernya. Para Perwira yang kurang beruntung tersebut seringkali dijuluki perwira ‘Kolpol (Kolonel sampai pol)” yang tidak dapat naik pangkatnya sampai pensiun. Sedangkan para Bintara yang sukses mencapai tataran Perwira, adalah para Bintara yang tergolong berprestasi dalam meniti karier, namun jumlahnya relatif sedikit dan secara ekonomi juga kurang sejahtera. Sementara itu perhatian pemerintah untuk tataran Bintara senior yang mendekati pensiun, yang merupakan jumlah terbesar dari organisasi TNI, diperlukan juga karena pada tataran ini kebanyakan prajurit hidup dengan perekonomian yang kurang sejahtera dan dapat disetarakan kesejahteraannya dengan PNS golongan I dan II.
Senin, 22 September 2008
MUSIBAH DIANTARA BERKAH ZAKAT
Pada hari Senin, 15 September 2008 telah terjadi musibah yang sebenarnya tidak perlu terjadi lagi. Proses pembagian zakat oleh seorang dermawan di Pasuruhan Jawa Timur telah menimbulkan korban meninggal sebanyak 22 orang serta lusinan lainnya mengalami sesak nafas dan luka-luka. Kebanyakan korban meninggal akibat terinjak-injak oleh kerumunan massa yang diperkirakan mencapai lima ribuan orang. Sungguh sangat memprihatinkan, mereka rela antri berjam-jam, berdesak-desakan, “nglurug” puluhan kilometer, hanya sekedar memperebutkan uang Rp.20.000-an yang apabila dinalar tidak sebanding dengan tenaga dan waktu yang dicurahkan.
Kejadian tersebut seolah-olah merupakan ritual yang selalu terulang kembali seperti tahun-tahun sebelumnya yang juga memakan korban tewas. Sebagai contoh, pembagian zakat di kediaman H. Ismed Hasbi di Pejaten Pasar Minggu Jakarta Selatan pada tanggal 7 November 2003, memakan korban tewas sebanyak 4 orang; pembagian zakat di rumah Muhammad bin Alwi di Gresik Jawa Timur pada tanggal 28 September 2007, memakan korban satu orang tewas dan lima lainnya luka-luka; dan pembagian zakat di Pondok Pesantren Fatahillah Lamongan Jawa Timur pada tanggal 12 oktober 2007, membuat pingsan dan luka-luka sebanyak 13 orang (Koran Tempo, 17 September 2008). Sepertinya para dermawan “tidak kapok” dengan serentetan musibah akibat proses pembagian sedekah secara masal tersebut. Mungkin dengan cara demikian, mereka merasa telah melakukan syiar agama Islam dan berharap dapat menggugah para dermawan lain untuk turut berlomba-lomba melakukan hal yang sama dalam rangka menolong saudara seiman yang kurang mampu.
Namun di sisi lain, para penerima sedekah menjadikan sistem pembagian sedekah semacam ini sebagai peluang mengais rezeki yang selalu diharapkan terjadi setiap tahunnya. Rutinitas tersebut selanjutnya mengalami proses “gethok tular”, sehingga jumlah para pencari sedekah terus meningkat. Sayangnya, tidak semua pencari sedekah bisa mensyukuri apa yang diterimanya. Mereka tidak lagi menganggap sedekah sebagai solusi mengatasi kemiskinan dan kesulitan hidup. Tetapi sedekah dijadikan sebagai sumber mata pencaharian yang harus didapatkan tanpa susah payah bekerja, meskipun harus ditempuh dengan cara antri, berdesak-desakan, jalan puluhan kilometer, dan kalau perlu menggerakkan seluruh anggota keluarganya demi mendapatkan jumlah sedekah yang lebih banyak. Oleh karena itu tidak mengherankan kejadian seperti di Pasuruhan dapat terjadi dan mungkin akan selalu terjadi apabila tidak ada upaya memperbaiki metode penyaluran sedekah oleh para dermawan.
Sangat tidak arif jika kita lantas menyalahkan para dermawan yang dengan ikhlas memberikan sedekahnya bagi kaum miskin di sekitarnya, apalagi dijadikan tersangka dengan ancaman hukuman penjara (dikriminalisasikan). Hal yang tidak mungkin jika kejadian seperti itu merupakan faktor kesengajaan. Lebih tepat dikatakan sebagai musibah yang kemungkinan besar disebabkan oleh perilaku para pencari sedekah yang tidak tertib. Kedermawanan mereka patut diapresiasi ditengah kerakusan sebagian orang yang secara merajalela menumpuk harta baik yang diperoleh secara halal maupun haram, tidak peduli dengan warga sekitarnya yang menderita kelaparan, serta tidak sensitif dengan tingginya angka kemiskinan.
Oleh karena itu, harus dicarikan solusi yang tepat agar proses pembagian zakat secara massal tidak lagi menimbulkan korban. Mengkriminalisasikan proses pembagian zakat yang sempat menyebabkan musibah hanya akan menimbulkan “kejeraan” atau keengganan bagi para dermawan untuk menunaikan zakat, infak, dan sedekah, yang berarti pula menghambat keinginan umat Islam menunaikan syariatnya. Kita harus mampu melihat bahwa potensi zakat dari umat muslim di Indonesia cukup besar. Berdasarkan perhitungan kasar, potensi zakat yang dapat diperoleh dari 18,7 % masyarakat muslim yang diperkirakan mampu membayar zakat adalah sebesar Rp. 6,5 triliun (www.dompetdhuafa.or.id). Bahkan menurut hasil survei dari Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC) pada tahun 2007, potensi zakat lebih besar lagi yaitu sekitar Rp. 9,09 triliun (Koran Tempo, 18 September 2008). Merupakan jumlah yang cukup besar dan sangat potensial bagi upaya mengatasi masalah kemiskinan apabila dapat digali dan dimanfaatkan secara benar. Sayangnya, potensi tersebut belum dapat dimaksimalkan karena sampai saat ini tidak ada lembaga yang dapat “memaksa” umat muslim yang sudah mampu untuk membayar zakat. Lembaga yang ada kebanyakan hanya menampung dan menyalurkan zakat dari umat muslim yang secara sukarela membayarnya. Kondisi ini seringkali memunculkan inisiatif bagi para dermawan kakap untuk menyalurkan sendiri.
Paling tidak ada dua langkah yang perlu ditempuh dalam rangka menghindari musibah berkah zakat sebagaimana yang terjadi di Pasuruhan, yaitu mendorong pembenahan cara penyaluran zakat secara langsung, khususnya yang dilakukan secara massal dan pembenahan lembaga yang menangani penerimaan dan penyaluran zakat dengan mengacu Undang-Undang Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
Penyaluran zakat secara langsung yang dilaksanakan oleh para dermawan tidak bisa dilarang. Pelarangan justru akan menimbulkan kesan bahwa pemerintah menghalang-halangi niat baik seseorang untuk melaksanakan syariatnya. Unsur pemerintahan yang terdekat dengan lokasi pembagian zakat harus memfasilitasinya, antara lain secara proaktif melakukan koordinasi dengan penyelenggara dan tidak mempersulit perijinan. Agar sedekah tepat sasaran, pemerintah daerah diharapkan memberikan data orang-orang miskin kepada para dermawan. Kalau perlu, pemerintah setempat inisiatif turut membantu penyalurannya agar tidak terjadi penumpukan massa yang cenderung tidak terkendali karena takut tidak kebagian berkah sedekah.
Undang-Undang Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat menerangkan bahwa pembentukan Badan Amil Zakat dibentuk oleh pemerintah yang secara berjenjang di bentuk ditingkat pusat, propinsi, kabupaten, sampai dengan kecamatan. Badan Amil Zakat ini mempunyai tugas pokok mengumpulkan, mendistribusikan dan mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama. Di samping lembaga pengelola zakat yang resmi dibentuk pemerintah, di masyarakat juga bermunculan sejumlah lembaga pengelola zakat yang cukup professional seperti Dompet Dhuafa Republika, Masjid Sunda Kelapa, dan masjid-masjid lainnya yang tersebar di seluruh pelosok negeri. Bermodalkan Undang-Undang Pengelolaan Zakat tersebut, sudah seharusnya pengelola zakat terutama yang resmi dibentuk oleh pemerintah Badan Amil proaktif melakukan pendekatan dan penjemputan kepada para muzaki (wajib zakat), jangan seperti yang selama ini dilakukan yaitu hanya menunggu, menampung, dan menyalurkan zakat. Data muzaki tahun sebelumnya, dapat dijadikan referensi siapa saja yang akan dijemput atau didatangi. Hal yang perlu menjadi perhatian badan pengelola zakat, karakteristik para dermawan (muzaki) Indonesia akan merasa senang dan terhormat apabila didatangi, diingatkan, dan dibantu oleh para amil zakat dalam menghitung besaran zakat. Namun demikian, badan pengelola zakat harus amanah dan transparan dalam menyalurkan zakat, sehingga para muzaki akan tetap memercayai lembaga pengelola zakat dan kecenderungan para muzaki menyalurkan sendiri sedekahnya bisa berkurang.
Tidak kalah pentingnnya adalah peran dari aparat keamanan, terutama dari unsur kepolisian. Dalam kasus musibah Pasuruhan, Polisi dalam salah satu dakwaannya adalah menyalahkan kenapa dermawan yang menyalurkan sedekah tidak melakukan koordinasi dengan kepolisian setempat. Namun menurut hemat penulis, hal tersebut tidak dapat dijadikan bukti dalam dakwaan karena secara tugas dan fungsi, Polisi bisa proaktif bergerak untuk melakukan perlindungan, pengawalan, pengamanan, serta pelayanan masyarakat baik diminta maupun tidak. Apalagi pelaksanaan pembagian sedekah secara langsung oleh dermawan Pasuruhan tersebut sudah rutin dilakukan. Oleh karena itu, sudah tepat apabila Propam Polri melakukan pemeriksanaan terhadap Kapolres yang dianggap tidak tanggap terhadap situasi.
Kejadian tersebut seolah-olah merupakan ritual yang selalu terulang kembali seperti tahun-tahun sebelumnya yang juga memakan korban tewas. Sebagai contoh, pembagian zakat di kediaman H. Ismed Hasbi di Pejaten Pasar Minggu Jakarta Selatan pada tanggal 7 November 2003, memakan korban tewas sebanyak 4 orang; pembagian zakat di rumah Muhammad bin Alwi di Gresik Jawa Timur pada tanggal 28 September 2007, memakan korban satu orang tewas dan lima lainnya luka-luka; dan pembagian zakat di Pondok Pesantren Fatahillah Lamongan Jawa Timur pada tanggal 12 oktober 2007, membuat pingsan dan luka-luka sebanyak 13 orang (Koran Tempo, 17 September 2008). Sepertinya para dermawan “tidak kapok” dengan serentetan musibah akibat proses pembagian sedekah secara masal tersebut. Mungkin dengan cara demikian, mereka merasa telah melakukan syiar agama Islam dan berharap dapat menggugah para dermawan lain untuk turut berlomba-lomba melakukan hal yang sama dalam rangka menolong saudara seiman yang kurang mampu.
Namun di sisi lain, para penerima sedekah menjadikan sistem pembagian sedekah semacam ini sebagai peluang mengais rezeki yang selalu diharapkan terjadi setiap tahunnya. Rutinitas tersebut selanjutnya mengalami proses “gethok tular”, sehingga jumlah para pencari sedekah terus meningkat. Sayangnya, tidak semua pencari sedekah bisa mensyukuri apa yang diterimanya. Mereka tidak lagi menganggap sedekah sebagai solusi mengatasi kemiskinan dan kesulitan hidup. Tetapi sedekah dijadikan sebagai sumber mata pencaharian yang harus didapatkan tanpa susah payah bekerja, meskipun harus ditempuh dengan cara antri, berdesak-desakan, jalan puluhan kilometer, dan kalau perlu menggerakkan seluruh anggota keluarganya demi mendapatkan jumlah sedekah yang lebih banyak. Oleh karena itu tidak mengherankan kejadian seperti di Pasuruhan dapat terjadi dan mungkin akan selalu terjadi apabila tidak ada upaya memperbaiki metode penyaluran sedekah oleh para dermawan.
Sangat tidak arif jika kita lantas menyalahkan para dermawan yang dengan ikhlas memberikan sedekahnya bagi kaum miskin di sekitarnya, apalagi dijadikan tersangka dengan ancaman hukuman penjara (dikriminalisasikan). Hal yang tidak mungkin jika kejadian seperti itu merupakan faktor kesengajaan. Lebih tepat dikatakan sebagai musibah yang kemungkinan besar disebabkan oleh perilaku para pencari sedekah yang tidak tertib. Kedermawanan mereka patut diapresiasi ditengah kerakusan sebagian orang yang secara merajalela menumpuk harta baik yang diperoleh secara halal maupun haram, tidak peduli dengan warga sekitarnya yang menderita kelaparan, serta tidak sensitif dengan tingginya angka kemiskinan.
Oleh karena itu, harus dicarikan solusi yang tepat agar proses pembagian zakat secara massal tidak lagi menimbulkan korban. Mengkriminalisasikan proses pembagian zakat yang sempat menyebabkan musibah hanya akan menimbulkan “kejeraan” atau keengganan bagi para dermawan untuk menunaikan zakat, infak, dan sedekah, yang berarti pula menghambat keinginan umat Islam menunaikan syariatnya. Kita harus mampu melihat bahwa potensi zakat dari umat muslim di Indonesia cukup besar. Berdasarkan perhitungan kasar, potensi zakat yang dapat diperoleh dari 18,7 % masyarakat muslim yang diperkirakan mampu membayar zakat adalah sebesar Rp. 6,5 triliun (www.dompetdhuafa.or.id). Bahkan menurut hasil survei dari Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC) pada tahun 2007, potensi zakat lebih besar lagi yaitu sekitar Rp. 9,09 triliun (Koran Tempo, 18 September 2008). Merupakan jumlah yang cukup besar dan sangat potensial bagi upaya mengatasi masalah kemiskinan apabila dapat digali dan dimanfaatkan secara benar. Sayangnya, potensi tersebut belum dapat dimaksimalkan karena sampai saat ini tidak ada lembaga yang dapat “memaksa” umat muslim yang sudah mampu untuk membayar zakat. Lembaga yang ada kebanyakan hanya menampung dan menyalurkan zakat dari umat muslim yang secara sukarela membayarnya. Kondisi ini seringkali memunculkan inisiatif bagi para dermawan kakap untuk menyalurkan sendiri.
Paling tidak ada dua langkah yang perlu ditempuh dalam rangka menghindari musibah berkah zakat sebagaimana yang terjadi di Pasuruhan, yaitu mendorong pembenahan cara penyaluran zakat secara langsung, khususnya yang dilakukan secara massal dan pembenahan lembaga yang menangani penerimaan dan penyaluran zakat dengan mengacu Undang-Undang Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
Penyaluran zakat secara langsung yang dilaksanakan oleh para dermawan tidak bisa dilarang. Pelarangan justru akan menimbulkan kesan bahwa pemerintah menghalang-halangi niat baik seseorang untuk melaksanakan syariatnya. Unsur pemerintahan yang terdekat dengan lokasi pembagian zakat harus memfasilitasinya, antara lain secara proaktif melakukan koordinasi dengan penyelenggara dan tidak mempersulit perijinan. Agar sedekah tepat sasaran, pemerintah daerah diharapkan memberikan data orang-orang miskin kepada para dermawan. Kalau perlu, pemerintah setempat inisiatif turut membantu penyalurannya agar tidak terjadi penumpukan massa yang cenderung tidak terkendali karena takut tidak kebagian berkah sedekah.
Undang-Undang Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat menerangkan bahwa pembentukan Badan Amil Zakat dibentuk oleh pemerintah yang secara berjenjang di bentuk ditingkat pusat, propinsi, kabupaten, sampai dengan kecamatan. Badan Amil Zakat ini mempunyai tugas pokok mengumpulkan, mendistribusikan dan mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama. Di samping lembaga pengelola zakat yang resmi dibentuk pemerintah, di masyarakat juga bermunculan sejumlah lembaga pengelola zakat yang cukup professional seperti Dompet Dhuafa Republika, Masjid Sunda Kelapa, dan masjid-masjid lainnya yang tersebar di seluruh pelosok negeri. Bermodalkan Undang-Undang Pengelolaan Zakat tersebut, sudah seharusnya pengelola zakat terutama yang resmi dibentuk oleh pemerintah Badan Amil proaktif melakukan pendekatan dan penjemputan kepada para muzaki (wajib zakat), jangan seperti yang selama ini dilakukan yaitu hanya menunggu, menampung, dan menyalurkan zakat. Data muzaki tahun sebelumnya, dapat dijadikan referensi siapa saja yang akan dijemput atau didatangi. Hal yang perlu menjadi perhatian badan pengelola zakat, karakteristik para dermawan (muzaki) Indonesia akan merasa senang dan terhormat apabila didatangi, diingatkan, dan dibantu oleh para amil zakat dalam menghitung besaran zakat. Namun demikian, badan pengelola zakat harus amanah dan transparan dalam menyalurkan zakat, sehingga para muzaki akan tetap memercayai lembaga pengelola zakat dan kecenderungan para muzaki menyalurkan sendiri sedekahnya bisa berkurang.
Tidak kalah pentingnnya adalah peran dari aparat keamanan, terutama dari unsur kepolisian. Dalam kasus musibah Pasuruhan, Polisi dalam salah satu dakwaannya adalah menyalahkan kenapa dermawan yang menyalurkan sedekah tidak melakukan koordinasi dengan kepolisian setempat. Namun menurut hemat penulis, hal tersebut tidak dapat dijadikan bukti dalam dakwaan karena secara tugas dan fungsi, Polisi bisa proaktif bergerak untuk melakukan perlindungan, pengawalan, pengamanan, serta pelayanan masyarakat baik diminta maupun tidak. Apalagi pelaksanaan pembagian sedekah secara langsung oleh dermawan Pasuruhan tersebut sudah rutin dilakukan. Oleh karena itu, sudah tepat apabila Propam Polri melakukan pemeriksanaan terhadap Kapolres yang dianggap tidak tanggap terhadap situasi.
Rabu, 17 September 2008
MENGAPA ADA PERBEDAAN PEMBERIAN FASILITAS NEGARA **
Abrianto Yudho Prakosa adalah seorang anggota militer dengan pangkat Mayor Jenderal dan saat ini sedang menduduki jabatan penting pada suatu kesatuan elit organisasi kemiliteran. Karena jabatannya, dia mendapatkan berbagai fasilitas yang tersedia secara lengkap. Di markasnya, Pak Jenderal ini menempati ruangan yang cukup luas dan megah dengan dekorasi yang apik, meubel berkelas, dan perlengkapan kantor yang canggih. Di garasi kantornya nongkrong dua buah mobil dinas yaitu sedan Toyota Camry dan Lexus versi rover yang tergolong keluaran terbaru. Selain membawahi satuan setingkat divisi, di kantornya dia dibantu dan dilayani sejumlah prajurit yang selalu “siap” melaksanakan tugas. Dalam menjalankan tugas-tugas komando, setiap perjalannya selalu dikawal voorijder dan mobil Jeep Polisi Militer. Sesekali, dia juga naik helikopter yang selalu standby di hanggar markasnya. Mobilitas, efektivitas waktu tempuh, dan sulitnya medan yang dihadapi merupakan alasan menggunakan helikopter, meskipun biaya operasional pesawat ini sangat mahal. Sementara itu kurang lebih 3 kilometer dari markasnya, istri dan anak-anaknya mendiami rumah dinas. Rumah dinasnya tergolong sangat nyaman dengan view bebukitan ala vila-vila di Puncak. Keamanan rumah dinasnya dijamin 24 jam karena di depan rumahnya ada pos keamanan yang selalu di jaga oleh sekelompok prajurit bersenjata M-16.
Warsito Joko Lelono adalah seorang yang berpendidikan tinggi dengan sederet gelar akademik Doktor, Dokterandus, Magister Administrasi Publik dan saat ini menjadi pejabat tinggi di suatu instansi pemerintah yang namanya kurang begitu dikenal orang awam. Di samping sebagai pejabat struktural Eselon I di kantornya, Pak Warsito juga mengajar di almamaternya, sebuah perguruan tinggi yang cukup terkenal di seantero negeri. Oleh karenanya tidak mengherankan jika saat ini beliau juga menyandang gelar Professor, sebagai gelar penghargaan tertinggi di dunia pendidikan. Sebagai pejabat Eselon I, beliau mendapatkan fasilitas kendaraan dinas berupa Toyota Crista yang merupakan warisan dari pejabat sebelumnya. Ruang kerjanya standar, tidak tampak fasilitas kerja yang terkesan mewah. Sebagian besar tugas-tugasnya dilaksanakan di kantor, sehingga dalam melakukan perjalanan dinasnya tidak ada pengawalan, tetapi mengikuti peraturan SPPD pada umumnya. Fasilitas rumah dinas juga tidak disediakan karena perubahan jabatan atau mutasi tidak sampai berpindah domisili. Jadi kalau dibandingkan dengan Mayjen Abrianto Yudho Prakosa, fasilitas yang diterima jauh sekali perbedaannya.
Di sudut lain, di sebuah komplek perumahan elit di bilangan Jakarta Selatan terdapat sebuah rumah yang cukup asri dan berukuran besar. Di garasinya nongkrong 3 buah mobil mewah, salah satunya merupakan mobil dinas. Rupanya penghuni rumah yang bernama Sugiharto Cokro Bawono itu seorang direktur di sebuah BUMN elit di negeri ini. Penghasilannya hampir mencapai seratus juta rupiah perbulan, tidak termasuk berbagai insentif yang sering diterimanya. Di kantornya, di kawasan pusat bisnis Jakarta, Sugiharto menempati ruang kerja yang cukup nyaman yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas mewah. Jika dibandingkan dengan Mayjen Abrianto maupun Prof Warsito, kesejahteraannya jauh melebihi mereka berdua.
Sementara itu, di daerah Parung tinggal seorang pejabat eselon III senior sebuah lembaga kajian di bawah suatu departemen. Meskipun dapat fasilitas mobil dinas berupa Toyota Kijang Super tahun 90-an yang tidak lama lagi akan di dem, pejabat ini sering naik kereta api atau nebeng mobil jemputan kompleks suatu instansi pemerintah dekat tempat tinggalnya. Faktor kemacetan lalu lintas, kecapaian dalam mengemudi, atau mahalnya operasional mobil menjadi pertimbangan kenapa ia jarang menggunakan fasilitas mobil tersebut. Lebih tepatnya adalah dalam rangka melakukan penghematan agar kebutuhan hidup keluarganya terutama biaya pendidikan anak-anaknya tidak terlantar.
Meminjam pernyataan yang sering muncul pada awal pemutaran sinetron di TV untuk menghindari penuntutan pihak-pihak tertentu, dalam hal ini dinyatakan bahwa “penyebutan nama, peristiwa, tempat, dan jenis jabatan yang diceritakan di atas hanya rekayasa belaka. Apabila terjadi kesamaan dalam penyebutan nama, peristiwa, tempat, dan jenis jabatan, maka hal tersebut hanya kebetulan saja dan tidak ada unsur kesengajaan atau menyinggung perasaan seseorang atau suatu badan”.
Namun demikian, meskipun keempat contoh di atas hanya merupakan ilustrasi untuk menggambarkan variasi atau perbedaan pemberian fasilitas negara kepada para pejabat, tetapi dalam kenyataannya hal tersebut mendekati kebenaran. Kondisi ini praktis sering menjadi faktor kecemburuan diantara pejabat negara antar instansi, internal instansi, atau antar staf dan pimpinan. Kecemburuan tersebut sebenarnya beralasan dan wajar. Mereka berkilah, sesama pejabat negara, satu level, beban tugas juga sama-sama berat, seharusnya fasilitas yang diberikan negara tidak terlalu mencolok perbedaannya. Perbedaan instansi tidak jadi masalah, karena mereka merasa sama-sama sebagai PNS.
Apabila ditelisik tentang mengapa ada perbedaan fasilitas negara yang diterima oleh para pejabat, penulis mencoba untuk mengelompokkan dalam dua kategori besar, yaitu lembaga/badan strategis dan lembaga-lembaga non strategis. Pengertian bebas dari istilah strategis tersebut adalah terkait dengan tugas dan fungsi lembaga/badan, feedback kepada pemberi fasilitas, cakupan wilayah tugas, tanggung jawab, atau tingkat resiko yang diterima oleh pejabat yang bersangkutan jika gagal melaksanakan tugas. Kelompok pertama adalah lembaga/badan strategis yang relatif menerima fasilitas negara yang lebih baik. Sementara kelompok kedua adalah lembaga/badan non strategis yang relatif menerima fasilitas negara secara standar.
Instansi tempat Abrianto Yudho Prakosa mengabdi merupakan salah satu contoh lembaga/badan dalam kategori strategis, di mana dalam menjalankan tugas-tugas komandonya beliau menghadapi resiko yang lebih besar dibandingkan dengan tugas-tugas yang dihadapi oleh Warsito Joko Lelono. Dengan jumlah pasukan mencapai kurang lebih 10.000 prajurit, wilayah kerja nasional, serta bertanggung jawab terhadap kedaulatan dan kewibawaan NKRI, maka tidak berlebihan jika dikatakan jiwa dan raganya selalu terancam maut baik karena kecelakaan, serangan gelap, atau tertembak dalam menumpas musuh-musuh negara. Feedback-nya jelas, yaitu menciptakan rasa aman bagi seluruh warga negara tanpa kecuali dari gangguan pertahanan negara. Oleh karena itu, menjadi wajar jika beliau mendapatkan fasilitas yang lebih baik sebagai bentuk perlindungan dari negara seperti pengawalan ketat, kendaraan lapangan yang tangguh, tempat tinggal yang nyaman, atau tunjangan yang lebih besar.
Perusahaan negara, tempat di mana Sugiharto Cokro Bawono menjadi salah satu direkturnya, adalah sebuah BUMN yang selalu membukukan neraca keuntungan dalam jumlah besar dan selalu bertumbuh setiap tahunnya. Dividen yang disetorkan kepada negara dalam beberapa tahun terakhir menempati urutan teratas dari seluruh BUMN yang ada. Dengan statusnya sebagai direktur terbaik, dia menerima penghasilan yang sangat besar dan fasilitas perusahaan yang sangat layak/mewah. Lagi-lagi kita harus memahami kenapa Sugiharto mendapatkan fasilitas yang begitu melimpah dengan kesejahteraan melebihi rata-rata pejabat negara yang lain, yaitu feedback bagi perusahaan negara jelas, dia sangat berperan penting dalam menciptakan keuntungan perusahaan.
Dengan kondisi seperti di atas, apakah diantara sesama pejabat atau calon pejabat negara masih mempersoalkan perbedaan fasilitas yang diterimanya. Lebih ekstrim lagi, apakah pantas kita menuntut fasilitas yang lebih baik dari yang lain, sementara feedback kita kepada negara tidak bisa kita ukur? Sedangkan lembaga/badan dalam mengukur feedback pegawainya terbentur pada ketiadaan standar yang valid, yang selanjutnya pengukuran seringkali mengabaikan obyektivitas. Akibatnya pemberian fasilitas negara kepada para pejabatnya bersifat subyektif dan di-gebyah uyah (digeneralisir).
**Tulisan ini merupakan bagian kedua dari tiga tulisan dalam rangka mencermati pemanfaatan fasilitas negara untuk para PNS.
Warsito Joko Lelono adalah seorang yang berpendidikan tinggi dengan sederet gelar akademik Doktor, Dokterandus, Magister Administrasi Publik dan saat ini menjadi pejabat tinggi di suatu instansi pemerintah yang namanya kurang begitu dikenal orang awam. Di samping sebagai pejabat struktural Eselon I di kantornya, Pak Warsito juga mengajar di almamaternya, sebuah perguruan tinggi yang cukup terkenal di seantero negeri. Oleh karenanya tidak mengherankan jika saat ini beliau juga menyandang gelar Professor, sebagai gelar penghargaan tertinggi di dunia pendidikan. Sebagai pejabat Eselon I, beliau mendapatkan fasilitas kendaraan dinas berupa Toyota Crista yang merupakan warisan dari pejabat sebelumnya. Ruang kerjanya standar, tidak tampak fasilitas kerja yang terkesan mewah. Sebagian besar tugas-tugasnya dilaksanakan di kantor, sehingga dalam melakukan perjalanan dinasnya tidak ada pengawalan, tetapi mengikuti peraturan SPPD pada umumnya. Fasilitas rumah dinas juga tidak disediakan karena perubahan jabatan atau mutasi tidak sampai berpindah domisili. Jadi kalau dibandingkan dengan Mayjen Abrianto Yudho Prakosa, fasilitas yang diterima jauh sekali perbedaannya.
Di sudut lain, di sebuah komplek perumahan elit di bilangan Jakarta Selatan terdapat sebuah rumah yang cukup asri dan berukuran besar. Di garasinya nongkrong 3 buah mobil mewah, salah satunya merupakan mobil dinas. Rupanya penghuni rumah yang bernama Sugiharto Cokro Bawono itu seorang direktur di sebuah BUMN elit di negeri ini. Penghasilannya hampir mencapai seratus juta rupiah perbulan, tidak termasuk berbagai insentif yang sering diterimanya. Di kantornya, di kawasan pusat bisnis Jakarta, Sugiharto menempati ruang kerja yang cukup nyaman yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas mewah. Jika dibandingkan dengan Mayjen Abrianto maupun Prof Warsito, kesejahteraannya jauh melebihi mereka berdua.
Sementara itu, di daerah Parung tinggal seorang pejabat eselon III senior sebuah lembaga kajian di bawah suatu departemen. Meskipun dapat fasilitas mobil dinas berupa Toyota Kijang Super tahun 90-an yang tidak lama lagi akan di dem, pejabat ini sering naik kereta api atau nebeng mobil jemputan kompleks suatu instansi pemerintah dekat tempat tinggalnya. Faktor kemacetan lalu lintas, kecapaian dalam mengemudi, atau mahalnya operasional mobil menjadi pertimbangan kenapa ia jarang menggunakan fasilitas mobil tersebut. Lebih tepatnya adalah dalam rangka melakukan penghematan agar kebutuhan hidup keluarganya terutama biaya pendidikan anak-anaknya tidak terlantar.
Meminjam pernyataan yang sering muncul pada awal pemutaran sinetron di TV untuk menghindari penuntutan pihak-pihak tertentu, dalam hal ini dinyatakan bahwa “penyebutan nama, peristiwa, tempat, dan jenis jabatan yang diceritakan di atas hanya rekayasa belaka. Apabila terjadi kesamaan dalam penyebutan nama, peristiwa, tempat, dan jenis jabatan, maka hal tersebut hanya kebetulan saja dan tidak ada unsur kesengajaan atau menyinggung perasaan seseorang atau suatu badan”.
Namun demikian, meskipun keempat contoh di atas hanya merupakan ilustrasi untuk menggambarkan variasi atau perbedaan pemberian fasilitas negara kepada para pejabat, tetapi dalam kenyataannya hal tersebut mendekati kebenaran. Kondisi ini praktis sering menjadi faktor kecemburuan diantara pejabat negara antar instansi, internal instansi, atau antar staf dan pimpinan. Kecemburuan tersebut sebenarnya beralasan dan wajar. Mereka berkilah, sesama pejabat negara, satu level, beban tugas juga sama-sama berat, seharusnya fasilitas yang diberikan negara tidak terlalu mencolok perbedaannya. Perbedaan instansi tidak jadi masalah, karena mereka merasa sama-sama sebagai PNS.
Apabila ditelisik tentang mengapa ada perbedaan fasilitas negara yang diterima oleh para pejabat, penulis mencoba untuk mengelompokkan dalam dua kategori besar, yaitu lembaga/badan strategis dan lembaga-lembaga non strategis. Pengertian bebas dari istilah strategis tersebut adalah terkait dengan tugas dan fungsi lembaga/badan, feedback kepada pemberi fasilitas, cakupan wilayah tugas, tanggung jawab, atau tingkat resiko yang diterima oleh pejabat yang bersangkutan jika gagal melaksanakan tugas. Kelompok pertama adalah lembaga/badan strategis yang relatif menerima fasilitas negara yang lebih baik. Sementara kelompok kedua adalah lembaga/badan non strategis yang relatif menerima fasilitas negara secara standar.
Instansi tempat Abrianto Yudho Prakosa mengabdi merupakan salah satu contoh lembaga/badan dalam kategori strategis, di mana dalam menjalankan tugas-tugas komandonya beliau menghadapi resiko yang lebih besar dibandingkan dengan tugas-tugas yang dihadapi oleh Warsito Joko Lelono. Dengan jumlah pasukan mencapai kurang lebih 10.000 prajurit, wilayah kerja nasional, serta bertanggung jawab terhadap kedaulatan dan kewibawaan NKRI, maka tidak berlebihan jika dikatakan jiwa dan raganya selalu terancam maut baik karena kecelakaan, serangan gelap, atau tertembak dalam menumpas musuh-musuh negara. Feedback-nya jelas, yaitu menciptakan rasa aman bagi seluruh warga negara tanpa kecuali dari gangguan pertahanan negara. Oleh karena itu, menjadi wajar jika beliau mendapatkan fasilitas yang lebih baik sebagai bentuk perlindungan dari negara seperti pengawalan ketat, kendaraan lapangan yang tangguh, tempat tinggal yang nyaman, atau tunjangan yang lebih besar.
Perusahaan negara, tempat di mana Sugiharto Cokro Bawono menjadi salah satu direkturnya, adalah sebuah BUMN yang selalu membukukan neraca keuntungan dalam jumlah besar dan selalu bertumbuh setiap tahunnya. Dividen yang disetorkan kepada negara dalam beberapa tahun terakhir menempati urutan teratas dari seluruh BUMN yang ada. Dengan statusnya sebagai direktur terbaik, dia menerima penghasilan yang sangat besar dan fasilitas perusahaan yang sangat layak/mewah. Lagi-lagi kita harus memahami kenapa Sugiharto mendapatkan fasilitas yang begitu melimpah dengan kesejahteraan melebihi rata-rata pejabat negara yang lain, yaitu feedback bagi perusahaan negara jelas, dia sangat berperan penting dalam menciptakan keuntungan perusahaan.
Dengan kondisi seperti di atas, apakah diantara sesama pejabat atau calon pejabat negara masih mempersoalkan perbedaan fasilitas yang diterimanya. Lebih ekstrim lagi, apakah pantas kita menuntut fasilitas yang lebih baik dari yang lain, sementara feedback kita kepada negara tidak bisa kita ukur? Sedangkan lembaga/badan dalam mengukur feedback pegawainya terbentur pada ketiadaan standar yang valid, yang selanjutnya pengukuran seringkali mengabaikan obyektivitas. Akibatnya pemberian fasilitas negara kepada para pejabatnya bersifat subyektif dan di-gebyah uyah (digeneralisir).
**Tulisan ini merupakan bagian kedua dari tiga tulisan dalam rangka mencermati pemanfaatan fasilitas negara untuk para PNS.
Minggu, 31 Agustus 2008
FASILITAS NEGARA SEBAGAI KONSEKUENSI JABATAN
Pada aula besar suatu instansi pemerintah nampak sejumlah besar pegawai bergerombol dengan dandanan rapi dan necis. Sebagian besar mengenakan jas lengkap berpeci Melayu dengan pin KORPRI, sebagian kecil yang lain mengenakan baju batik dan baju putih dengan asesoris yang sama yaitu berpeci Melayu dan Pin KORPRI. Hampir seluruhnya bermuka cerah dan tampak bercanda ria dengan masing-masing gerombolannya. Rupanya pada hari itu ada pelantikan masal pejabat di instansi tersebut. Dikatakan masal karena pejabat yang akan dilantik dalam jumlah besar dan seluruh level eselon mulai dari Eselon terendah sampai dengan Eselon tertinggi tampak memenuhi aula tersebut.
Menilik dari cara dandan dan cara bergerombol, menunjukkan pada kita level apa yang akan diduduki oleh para pejabat yang akan dilantik. Kelompok karyawan dengan dandanan rapi dan necis, memakai jas mewah, berdasi, sudah dipastikan akan menduduki minimal eselon III, sementara kelompok karyawan dengan dandanan mengenakan baju batik dan baju putih adalah calon pejabat eselon IV atau V. Ini hanya perkiraan saja, tetapi dari performance-nya memang menunjukkan arah itu.
Dalam artikel ini, tidak akan diuraikan mengenai prosesi upacara pelantikan jabatan mulai dari pembacaan nomor urut pejabat yang dilantik, posisi jabatan, pengambilan sumpah jabatan, sambutan pimpinan instansi, sampai dengan ucapan selamat dari para undangan yang hadir. Tetapi uraian akan ditekankan pada pemberian fasilitas negara kepada para pejabat-pejabat yang dilantik sebagai konsekuensi posisi jabatan. Di samping peningkatan kesejahteraan berupa tunjangan jabatan atau prospek transitory income yang lebih besar, mereka tentunya sangat berharap mendapatkan fasilitas kantor dalam rangka memudahkan pelaksanaan tugas baru, sekaligus meningkatkan gengsi, paling tidak pada lingkungan terdekat dan keluarganya.
Dalam penelusuran berbagai peraturan mengenai pemberian fasilitas bagi para pejabat, belum ditemukan aturan baku mengenai ketentuan-ketentuan yang mengatur seorang pejabat − katakanlah yang menduduki eselon I, II, III, IV, atau V − akan menerima fasilitas negara dalam bentuk apa. Tetapi dalam pengamatan di lingkungan instansi-instansi pemerintah, ada fasilitas yang sifatnya standar dan ada fasilitas yang sifatnya lebih baik (mewah) dibandingkan pejabat yang lain dalam satu level. Bahkan ada posisi jabatan yang levelnya setingkat di bawah menerima fasilitas yang lebih lengkap dan lebih baik. Demikian juga dalam hal jenisnya, sangat bervariasi dengan harga yang bervariasi pula. Sepertinya tidak ada standar yang mengatur, baik dari sisi jenis fasilitas maupun dari sisi harganya.
Dapat dicontohkan disini, seorang direktur/Eselon II di Bappenas mungkin mendapatkan fasilitas sebuah mobil Kijang Innova atau Grand Livina dengan harga kurang lebih seharga 160-200 juta rupiah, tetapi di Departemen Pertahanan/TNI dan Polri seorang direktur/Eselon II/jabatan setingkat Bintang Satu bisa mendapatkan fasilitas mobil sedan atau mobil double gardan dengan nilai lebih dari 300 jutaan rupiah dengan model dan keluarannya relatif terbaru. Tetapi untuk direktur/Eselon II, katakanlah di Perpusatakaan Nasional atau Arsip Nasional, mungkin sama-sama mendapat fasilitas mobil, tetapi merupakan “warisan” turun-temurun dari direktur sebelumnya.
Contoh yang lebih mencengangkan lagi adalah fasilitas untuk pejabat Eselon I. Pada tingkatan ini, terkesan ada gab yang sangat lebar meskipun sama-sama menduduki Eselon I. Di Bappenas, seorang Deputi mendapatkan fasilitas mobil Honda CR-V dengan harga pada kisaran 300-400 juta rupiah. Seorang Dirjen di suatu departemen, biasanya mendapatkan fasilitas mobil Toyota Altis dengan harga 400 jutaan. Tetapi di Departemen Pertahanan/TNI dan Polri, jabatan setingkat Eselon I seperti Dirjen, Deputi, Pangdam, Kapolda, Asisten Perencanaan, Asisten Logistik, Asisten Operasi, dan sebagainya selain mendapatkan fasilitas Sedan Toyota Camri yang biasanya dipakai sebagai mobil dinas Menteri, juga mendapatkan mobil lapangan sejenis rover seperti Land Cruiser, Lexus, Mitsubishi Pajero, dan sebagainya yang harganya bisa mendekati satu milyar rupiah. Bahkan seorang pejabat setingkat eselon I di Dephan/TNI dan Polri, dengan alasan mobilitas dan efektivitas waktu tempuh, dapat menggunakan helikopter yang biaya operasionalnya sangat tinggi setiap kali terbangnya. Ini merupakan fasilitas yang impossible bisa diperoleh bagi pejabat selevel di instansi-instansi sipil.
Ditinjau dari fasilitas kerja seperti perkantoran, rumah dinas, dan sebagainya, variasinya juga sangat beragam meskipun pada level eselon yang sama. Seorang Direktur/Eselon II di Bappenas mendapatkan fasilitas ruangan dengan luas ruangan rata-rata 7 x 7 meter yang dilengkapi 1 set meja kerja lengkap dengan computer dan printer, 1 set kursi tamu, 1 set meja rapat kapasitas 6-10 orang, dan satu ruang sekretaris 3x3 meter yang difungsikan juga sebagai ruang dokumentasi. Tetapi di Departemen Pertahanan/TNI/Polri, fasilitas yang diterima oleh seorang Direktur/Eselon II/jabatan setingkat bintang satu, relatif sama, namun dengan penambahan ukuran ruangan yang lebih luas dan dilengkapi dengan kamar mandi serta kamar tidur. Fasilitas ini kurang lebih sama dengan fasilitas yang diterima oleh seorang Deputi/Eselon I di Bappenas.
Dalam hal fasilitas rumah dinas, para personil TNI dan Polri lebih banyak diuntungkan dengan fasilitas rumah dinas, baik yang menduduki posisi jabatan maupun tidak. Hal ini dapat dipahami karena penugasan personil di kedua lembaga ini paling dinamis dan seringkali tidak dalam waktu yang lama. Dengan demikian, domisilinya seringkali berpindah-pindah sesuai dengan lokasi penugasan yang baru. Hal yang demikian ini juga terjadi pada institusi Kejaksaan atau Kehakiman yang mobilitas penugasan para jaksa dan hakim termasuk dinamis. Di lihat dari efektivitas pelaksanaan tugas, kebijakan pemberian fasilitas rumah dinas tersebut sudah tepat, sehingga para pejabat tidak perlu pusing memikirkan tempat tinggal di tempat tugas yang baru. Namun untuk instansi-instansi lain, yang mobilitas penugasan kurang dinamis bahkan cenderung tidak pernah ada perubahan domisili, serta mutasi jabatan hanya pindah ruangan, maka pemberian fasilitas perumahan hanya merupakan pemborosan yang tidak perlu terjadi.
Lain lagi ceritanya fasilitas di badan-badan usaha milik pemerintah (BUMN dan BUMD). Para pejabat mendapatkan fasilitas kantor berupa ruang kerja, kendaraan, atau rumah dinas jauh lebih bagus dan seringkali terkesan sangat berlebihan. Pada BUMN besar seperti Telkom, Bank BRI, Bank BNI, Bank Mandiri, Bank Pemerintah Daerah, Aneka Tambang, dan sebagainya, para direksinya bisa mendapatkan fasilitas kendaraan mewah sejenis Alpard, Mercy, Volvo, bahkan berbagai jenis kendaraan mewah impor keluaran terbaru (built in). Perbedaan fasilitas ini mungkin terkait dengan performance perusahaan yang memang profit oriented, sementara untuk pejabat-pejabat pemerintah, fasilitas cenderung diberikan dalam rangka pelayanan publik.Yang jadi pertanyaan adalah kenapa fasilitas-fasilitas negara yang diberikan kepada para pejabat pemerintah, variasinya begitu besar baik dari sisi jenis fasilitas maupun rentang harga fasilitas. Kenapa tidak ada standar yang pasti ? Untuk fasilitas di badan-badan usaha milik pemerintah (BUMN dan BUMD), dapat dipahami karena pemberian fasilitas kepada para direksinya adalah dalam rangka menjaga image perusahaan dan mendongkrak keuntungan perusahaan. Sementara itu, untuk lembaga-lembaga pemerintah, apakah pemberian fasilitas yang bervariasi otomatis memberikan tingkat pelayanan publik yang berbeda secara signifikan ?
Menilik dari cara dandan dan cara bergerombol, menunjukkan pada kita level apa yang akan diduduki oleh para pejabat yang akan dilantik. Kelompok karyawan dengan dandanan rapi dan necis, memakai jas mewah, berdasi, sudah dipastikan akan menduduki minimal eselon III, sementara kelompok karyawan dengan dandanan mengenakan baju batik dan baju putih adalah calon pejabat eselon IV atau V. Ini hanya perkiraan saja, tetapi dari performance-nya memang menunjukkan arah itu.
Dalam artikel ini, tidak akan diuraikan mengenai prosesi upacara pelantikan jabatan mulai dari pembacaan nomor urut pejabat yang dilantik, posisi jabatan, pengambilan sumpah jabatan, sambutan pimpinan instansi, sampai dengan ucapan selamat dari para undangan yang hadir. Tetapi uraian akan ditekankan pada pemberian fasilitas negara kepada para pejabat-pejabat yang dilantik sebagai konsekuensi posisi jabatan. Di samping peningkatan kesejahteraan berupa tunjangan jabatan atau prospek transitory income yang lebih besar, mereka tentunya sangat berharap mendapatkan fasilitas kantor dalam rangka memudahkan pelaksanaan tugas baru, sekaligus meningkatkan gengsi, paling tidak pada lingkungan terdekat dan keluarganya.
Dalam penelusuran berbagai peraturan mengenai pemberian fasilitas bagi para pejabat, belum ditemukan aturan baku mengenai ketentuan-ketentuan yang mengatur seorang pejabat − katakanlah yang menduduki eselon I, II, III, IV, atau V − akan menerima fasilitas negara dalam bentuk apa. Tetapi dalam pengamatan di lingkungan instansi-instansi pemerintah, ada fasilitas yang sifatnya standar dan ada fasilitas yang sifatnya lebih baik (mewah) dibandingkan pejabat yang lain dalam satu level. Bahkan ada posisi jabatan yang levelnya setingkat di bawah menerima fasilitas yang lebih lengkap dan lebih baik. Demikian juga dalam hal jenisnya, sangat bervariasi dengan harga yang bervariasi pula. Sepertinya tidak ada standar yang mengatur, baik dari sisi jenis fasilitas maupun dari sisi harganya.
Dapat dicontohkan disini, seorang direktur/Eselon II di Bappenas mungkin mendapatkan fasilitas sebuah mobil Kijang Innova atau Grand Livina dengan harga kurang lebih seharga 160-200 juta rupiah, tetapi di Departemen Pertahanan/TNI dan Polri seorang direktur/Eselon II/jabatan setingkat Bintang Satu bisa mendapatkan fasilitas mobil sedan atau mobil double gardan dengan nilai lebih dari 300 jutaan rupiah dengan model dan keluarannya relatif terbaru. Tetapi untuk direktur/Eselon II, katakanlah di Perpusatakaan Nasional atau Arsip Nasional, mungkin sama-sama mendapat fasilitas mobil, tetapi merupakan “warisan” turun-temurun dari direktur sebelumnya.
Contoh yang lebih mencengangkan lagi adalah fasilitas untuk pejabat Eselon I. Pada tingkatan ini, terkesan ada gab yang sangat lebar meskipun sama-sama menduduki Eselon I. Di Bappenas, seorang Deputi mendapatkan fasilitas mobil Honda CR-V dengan harga pada kisaran 300-400 juta rupiah. Seorang Dirjen di suatu departemen, biasanya mendapatkan fasilitas mobil Toyota Altis dengan harga 400 jutaan. Tetapi di Departemen Pertahanan/TNI dan Polri, jabatan setingkat Eselon I seperti Dirjen, Deputi, Pangdam, Kapolda, Asisten Perencanaan, Asisten Logistik, Asisten Operasi, dan sebagainya selain mendapatkan fasilitas Sedan Toyota Camri yang biasanya dipakai sebagai mobil dinas Menteri, juga mendapatkan mobil lapangan sejenis rover seperti Land Cruiser, Lexus, Mitsubishi Pajero, dan sebagainya yang harganya bisa mendekati satu milyar rupiah. Bahkan seorang pejabat setingkat eselon I di Dephan/TNI dan Polri, dengan alasan mobilitas dan efektivitas waktu tempuh, dapat menggunakan helikopter yang biaya operasionalnya sangat tinggi setiap kali terbangnya. Ini merupakan fasilitas yang impossible bisa diperoleh bagi pejabat selevel di instansi-instansi sipil.
Ditinjau dari fasilitas kerja seperti perkantoran, rumah dinas, dan sebagainya, variasinya juga sangat beragam meskipun pada level eselon yang sama. Seorang Direktur/Eselon II di Bappenas mendapatkan fasilitas ruangan dengan luas ruangan rata-rata 7 x 7 meter yang dilengkapi 1 set meja kerja lengkap dengan computer dan printer, 1 set kursi tamu, 1 set meja rapat kapasitas 6-10 orang, dan satu ruang sekretaris 3x3 meter yang difungsikan juga sebagai ruang dokumentasi. Tetapi di Departemen Pertahanan/TNI/Polri, fasilitas yang diterima oleh seorang Direktur/Eselon II/jabatan setingkat bintang satu, relatif sama, namun dengan penambahan ukuran ruangan yang lebih luas dan dilengkapi dengan kamar mandi serta kamar tidur. Fasilitas ini kurang lebih sama dengan fasilitas yang diterima oleh seorang Deputi/Eselon I di Bappenas.
Dalam hal fasilitas rumah dinas, para personil TNI dan Polri lebih banyak diuntungkan dengan fasilitas rumah dinas, baik yang menduduki posisi jabatan maupun tidak. Hal ini dapat dipahami karena penugasan personil di kedua lembaga ini paling dinamis dan seringkali tidak dalam waktu yang lama. Dengan demikian, domisilinya seringkali berpindah-pindah sesuai dengan lokasi penugasan yang baru. Hal yang demikian ini juga terjadi pada institusi Kejaksaan atau Kehakiman yang mobilitas penugasan para jaksa dan hakim termasuk dinamis. Di lihat dari efektivitas pelaksanaan tugas, kebijakan pemberian fasilitas rumah dinas tersebut sudah tepat, sehingga para pejabat tidak perlu pusing memikirkan tempat tinggal di tempat tugas yang baru. Namun untuk instansi-instansi lain, yang mobilitas penugasan kurang dinamis bahkan cenderung tidak pernah ada perubahan domisili, serta mutasi jabatan hanya pindah ruangan, maka pemberian fasilitas perumahan hanya merupakan pemborosan yang tidak perlu terjadi.
Lain lagi ceritanya fasilitas di badan-badan usaha milik pemerintah (BUMN dan BUMD). Para pejabat mendapatkan fasilitas kantor berupa ruang kerja, kendaraan, atau rumah dinas jauh lebih bagus dan seringkali terkesan sangat berlebihan. Pada BUMN besar seperti Telkom, Bank BRI, Bank BNI, Bank Mandiri, Bank Pemerintah Daerah, Aneka Tambang, dan sebagainya, para direksinya bisa mendapatkan fasilitas kendaraan mewah sejenis Alpard, Mercy, Volvo, bahkan berbagai jenis kendaraan mewah impor keluaran terbaru (built in). Perbedaan fasilitas ini mungkin terkait dengan performance perusahaan yang memang profit oriented, sementara untuk pejabat-pejabat pemerintah, fasilitas cenderung diberikan dalam rangka pelayanan publik.Yang jadi pertanyaan adalah kenapa fasilitas-fasilitas negara yang diberikan kepada para pejabat pemerintah, variasinya begitu besar baik dari sisi jenis fasilitas maupun rentang harga fasilitas. Kenapa tidak ada standar yang pasti ? Untuk fasilitas di badan-badan usaha milik pemerintah (BUMN dan BUMD), dapat dipahami karena pemberian fasilitas kepada para direksinya adalah dalam rangka menjaga image perusahaan dan mendongkrak keuntungan perusahaan. Sementara itu, untuk lembaga-lembaga pemerintah, apakah pemberian fasilitas yang bervariasi otomatis memberikan tingkat pelayanan publik yang berbeda secara signifikan ?
Langganan:
Postingan (Atom)