Selasa, 11 Mei 2010

SENSUS PENDUDUK , HANYA TEMPEL STIKER ?

Mulai tanggal 1 Mei sampai dengan 31 Mei 2010, Pemerintah Indonesia menggelar kembali sensus penduduk. Sensus kali ini adalah merupakan sensus ke-6 setelah tahun 1961, 1971, 1980, 1990 dan 2000. Kabarnya pelaksanaan sensus kali ini menelan biaya sekitar 5-6 Triliun rupiah, dengan melibatkan sekitar 700.000 tim yang akan memonitor langsung pelaksanaannya di seluruh Indonesia. Mudah-mudahan dana sebesar ini tidak mubazir karena hasil sensus tidak valid, layaknya data Balai Desa yang kadangkala tidak berubah dari tahun ke tahun. Masih ingat waktu kuliah dulu, ketika Tugas Lapangan di suatu desa di Jawa Tengah, penulis buka buku potensi desa yang cukup rapi dan bersih. Dalam buku tersebut tertulis data jumlah ternak selama 5 tahun terakhir jumlahnya sama, yaitu sapi 41 ekor, kambing 126 ekor, ayam 3501 ekor.

Sudah menjadi kewajiban bagi warga negara untuk mensukseskan pelaksanaan Sensus Penduduk 2010. Keterlibatan warga negara secara aktif akan menentukan validitas data pembangunan Indonesia yang selama jeda sensus hanya didasarkan pada asumsi, proyeksi, atau survey yang seringkali penyimpangannya (deviasi) cukup tinggi.

Sensus penduduk dilaksanakan secara door to door, di mana setiap petugas sensus melakukan pendataan dari rumah ke rumah. Dengan metode ini diharapkan tidak akan ada rumah tangga yang terlewatkan, sehingga missing data tidak akan terjadi. Bahkan dengan metode ini, Kepala BPS berani menjamin bahwa semua rumah tangga akan terdata, desa terpelosok sekalipun tidak akan luput dari pendataan.

Dalam kunjungan petugas sensus, rumah tangga akan disodori sebanyak 43 pertanyaan. Secara pasti, penulis belum tahu substansi apa saja yang ditanyakan para petugas sensus, karena penulis belum merasa disensus. Namun berdasarkan hasil googling, pertanyaan sensus adalah seputar kondisi dan fasilitas perumahan dan bangunan tempat tinggal, karakteristik rumah tangga dan keterangan individu anggota rumah tangga.

Namun demikian, secara pribadi penulis agak menyangsikan hasil sensus kali ini. Kesangsian ini didasari pada penglihatan pelaksanaan sensus di tempat tinggal penulis. Penulis tinggal di Kampung Kupu Rangkapan Jaya Depok. Pada hari Minggu 2 Mei 2010, ada sejumlah ibu-ibu mengenakan rompi Sensus 2010 berjalan-jalan di depan rumah penulis. Penulis melihat dari dalam rumah, salah seorang dari tim itu menuju rumah. Penulis sudah siap-siap menyambutnya sebagai bentuk dukungan terhadap pelaksanaan Sensus Penduduk 2010.

“Assalamualaikum pak, Sensus Penduduk”.

Baru siap-siap mau keluar, petugas itu sudah mengeloyor meninggalkan rumah penulis dengan meninggalkan tempelan stiker di kaca jendela penulis. Agak kecewa juga. Apakah sensus hanya sekedar tempel stiker, tidak ada wawancara ? Padahal pintu rumah terbuka dan penulis beserta keluarga sudah siap-siap menjawab segala pertanyaan sejujur mungkin.

Katakanlah, petugas sensus berinisiatif mengambil data sekunder yang tersedia di kantor Rukun Tetangga ( RT). Namun, data RT-pun, sangat mungkin tidak pernah di-up date baik oleh petugas RT maupun oleh warga yang tinggal di wilayah RT tersebut. Hal ini dapat dimaklumi kalau petugas RT berlaku pasif dalam hal data kependudukan, mengingat jabatan ketua RT merupakan jabatan sosial, sukarela, dan tidak dibayar. Ketua RT akan bergerak jika ada insentif atau ada permintaan dari RW atau kelurahan.

Apabila petugas sensus mengutamakan pendataan bangunan fisik sesuai dengan kelas bangunan, mungkin hasilnya mendekati valid karena para petugas berkeliling kampung sambil menjumlah serta mengkategorikan kelas bangunan. Namun ketika hanya melihat bangunan fisik dari luar, sangat mungkin petugas sensus akan terkecoh dengan data pandangan mata dari fisik bangunan. Sebuah bangunan kadangkala dari luar terlihat bagus, tetapi bagian dalamnya mungkin “glondang” (kosong), tidak ada perabot rumah tangga, tidak ada kendaraan, atau barang-barang lain yang merupakan elemen penentu kriteria kelas bangunan. Hal sebaliknya, rumah yang dari luar tampak jelek, sangat mungkin dalamnya terdapat perabot rumah tangga yang lengkap, mewah, dan berkelas. Jadi, akan tidak bijak apabila petugas sensus tidak melakukan kunjungan rumah tangga.

Lantas dengan data yang lain bagaimana ? Jumlah penduduk, mungkin masih bisa didapat secara sekunder dari data RT karena di kantor (rumah) RT tersimpan kartu keluarga (kartu KK). Tetapi bagaimana data tentang pekerjaan warga? Kalau warga yang bermatapencaharian sebagai PNS atau TNI/Polri, hampir dipastikan tidak mengalami perubahan. Sementara data mata pencaharian warga seperti buruh, petani, bangunan, pegawai pabrik, jasa angkutan, jasa keuangan dan sebagainya sangat mungkin berubah setiap saat. Jadi, sangat mungkin data kependudukan yang ada di ketua RT terkait dengan mata pencaharian, tidak banyak berubah dalam beberapa tahun alias stagnan. Dengan demikian, petugas sensus memang harus mendatangi rumah tangga secara door to door,melakukan wawancara mendalam, dan tidak sekedar tempel stiker lantas ngeloyor pergi.

Akhirnya, secara pribadi penulis mengharapkan kepada pejabat Biro Pusat Statistik dapat melakukan Sensus Penduduk 2010 ini dengan mentaati metodologi yang telah dibuat. Penyimpangan dari metode yang telah ditetapkan akan berakibat hasil sensus tidak sesuai dengan yang diharapkan dan berujung pada kurang validnya data. Data pemangunan yang kurang valid, akan berakibat pada tidak tepatnya sasaran pembangunan yang ingin dicapai, baik sasaran jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka panjang.


Gunarta
PNS Bappenas

TUGAS DAN WEWENANG PENYIDIKAN TINDAK PIDANA NARKOBA - SATU PEKERJAAN DUA PETUGAS

Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika mengamanatkan dibentuknya BNN yang lebih operasional dan memiliki kewenangan penyidikan penyalahgunaan narkotika dan prekursor narkotika. Kewenangan penyidikan tersebut selama ini menjadi kewenangan Polri. Adanya kewenangan ini selain memperkuat kelembagaan BNN, sekaligus memunculkan kekhawatiran akan adanya kompetisi yang tidak sehat antara penyidik BNN dengan penyidik Polri, paling tidak pada tahap awal pengimplementasiannya. Kekhawatiran ini masuk akal mengingat kejahatan narkotika dan prekursor narkotika memiliki nilai yang cukup strategis. Banyak perwira Polri kariernya bersinar terang ketika sukses menangani kejahatan narkotika dan prekursor narkotika. Bahkan, Kepala BNN yang sedang menjabat saat ini, dahulunya pernah sukses menangani kasus narkoba yang melibatkan artis terkenal tahun 90-an.

Wewenang penyidik BNN cukup banyak. Pasal 75 menyebutkan bahwa alam rangka melakukan penyidikan, penyidik BNN berwenang: (a) melakukan penyelidikan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang adanya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika; (b) memeriksa orang atau korporasi yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika; (c) memanggil orang untuk didengar keterangannya sebagai saksi; (d) menyuruh berhenti orang yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika serta memeriksa tanda pengenal diri tersangka; (e) memeriksa, menggeledah, dan menyita barang bukti tindak pidana dalam penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika; (f) memeriksa surat dan/atau dokumen lain tentang penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan prekursor narkotika; (g) menangkap dan menahan orang yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika; (h) melakukan interdiksi terhadap peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika di seluruh wilayah juridiksi nasional; (i) melakukan penyadapan yang terkait dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan prekursor narkotika setelah terdapat bukti awal yang cukup; (j) melakukan teknik penyidikan pembelian terselubung dan penyerahan di bawah pengawasan; (k) memusnahkan narkotika dan prekursor narkotika; (l) melakukan tes urine, tes darah, tes rambut, tes asam dioksiribonukleat (DNA), dan/atau tes bagian tubuh lainnya; (m) mengambil sidik jari dan memotret tersangka; (n) melakukan pemindaian terhadap orang, barang, binatang, dan tanaman; (o) membuka dan memeriksa setiap barang kiriman melalui pos dan alat-alat perhubungan lainnya yang diduga mempunyai hubungan dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan prekursor narkotika; (p) melakukan penyegelan terhadap narkotika dan prekursor narkotika yang disita; (q) melakukan uji laboratorium terhadap sampel dan barang bukti Narkotika dan prekursor narkotika; (r) meminta bantuan tenaga ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan tugas penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika; dan (s) menghentikan penyidikan apabila tidak cukup bukti adanya dugaan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika.

Selain sebagaimana disebutkan dalam pasal 75, Penyidik BNN juga berwenang: (a) mengajukan langsung berkas perkara, tersangka, dan barang bukti, termasuk harta kekayaan yang disita kepada jaksa penuntut umum; (b) memerintahkan kepada pihak bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga dari hasil penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika milik tersangka atau pihak lain yang terkait; (c) untuk mendapat keterangan dari pihak bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka yang sedang diperiksa; (d) untuk mendapat informasi dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang terkait dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika; (e) meminta secara langsung kepada instansi yang berwenang untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri; (f) meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka kepada instansi terkait; (g) menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau mencabut sementara izin, lisensi, serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika yang sedang diperiksa; dan (h) meminta bantuan interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri (pasal 80).

Sesuai Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tugas pokok Polri adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakkan hukum; dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat (pasal 13). Penyelidikan and penyidikan merupakan salah satu dari 12 tugas Polri ( Pasal 14). Butir g menyebutkan bahwa Polri memiliki tugas melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam dua pasal ini di bidang proses pidana, Polri berwenang untuk : (a) melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan; (b) melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan; (c) membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan; (d) menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; (e) melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; (f) memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; (g) mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; (h) mengadakan penghentian penyidikan; (i) menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum; (j) mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana; (k) memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan (l) mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Jika dibandingkan, poin-poin tugas dan wewenang penyidikan antara BNN dan Polri hampir sama. Bedanya, BNN hanya menyidik kejahatan narkotika dan prekursor narkotika. Sementara itu, Polri menyidik semua jenis kejahatan termasuk narkotika dan prekursor narkotika. Untuk melakukan tugas dan wewenang ini, Badan Reserse Kriminal Polri (Bareskrim) membentuk direktorat khusus yang menangani narkotika dan prekursor narkotika. Dengan demikian kedua lembaga ini memiliki wewenang yang sama dalam melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika, sebagaimana diatur dalam pasal 81 UU nomor 35 tahun 2009.

Konsekuensi dari tugas dan wewenang penyidikan BNN adalah bagaimana menyiapkan sumber daya manusia penyidik BNN, sarana dan prasarana penyidikan, dan mekanisme kerjasama antara penyidik BNN dan penyidik Polri atau dengan penyidik lainnya. Sebagai lembaga yang semula hanya sebagai lembaga non-struktural yang bersifat koordinatif, maka secara organik tidak memiliki tenaga penyidik yang khusus. BNN hanya membentuk dan memfasilitasi satuan tugas yang sebenarnya dapat dikatakan sebagai perpanjangan tangan Direktorat IV Narkoba Bareskrim Polri. Tidak mengherankan jika laporan keberhasilan pencegahan dan penanggulangan kejahatan narkotika dan prekursor narkotika diklaim oleh Polri.

Oleh karena itu, BNN harus segera membentuk pasukan khusus (strike force) pencegahan dan penanggulangan kejahatan narkotika dan prekursor narkotika. Perekrutan dari awal mungkin tidak efektif karena harus melakukan pendidikan dan pelatihan yang memakan waktu cukup lama. Padahal kejahatan narkotika dan prekursor narkotika cenderung semakin meluas dan prevalensi penyalahgunaan narkotika cenderung meningkat. Akan lebih efektif apabila satuan tugas yang sudah ada dipertahankan, selanjutnya secara bertahap direkrut dan dididik penyidik BNN yang organik.

Sarana dan prasarana penyidik BNN juga harus segera disediakan untuk menunjang proses penyidikan. Berbeda dengan Polri, secara prinsip lembaga Polri sudah siap dan dilengkapi berbagai fasilitas penyidikan mulai dari laboratorium forensik, alat penyadap, sarana investigasi, sampai dengan kamar tahanan. Sementara itu, untuk melaksanakan tugas dan wewenang penyidikan BNN, sampai saat ini infrastrukturnyapun belum ada yang dibangun. Paling cepat tahun 2011 baru dimulai pembangunannya. Sehingga mau tidak mau, BNN harus memperpanjang masa tugas Satgas Pencegahan dan Penindakan.

Selanjutnya terkait dengan mekanisme kerjasama antara penyidik BNN dan penyidik Polri atau dengan penyidik lainnya, sudah diatur dalam UU 35/2009 ini. Dalam melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan prekursor narkotika, penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia memberitahukan secara tertulis dimulainya penyidikan kepada penyidik BNN begitu pula sebaliknya. Sementara itu, dalam melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan Narkotika dan prekursor narkotika, penyidik pegawai negeri sipil tertentu berkoordinasi dengan penyidik BNN atau penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana.

Ketentuan tersebut mengisyaratkan bahwa langkah kerjasama untuk menghindarkan penyalahgunaan wewenang atau penyerobotan wewenang oleh salah satu pihak ke pihak yang lain, khususnya antara penyidik Polri dengan penyidik BNN. Sedangkan untuk penyidik pegawai negeri sipil, segala upaya penyidikan diarahkan untuk membantu dan menyerahkan hasilnya kepada penyidik Polri maupun penyidik BNN. Namun dalam pelaksanaannya nanti, pelaksanaan tugas dan wewenang penyidikan penyalahgunaan narkoba ini berpotensi menimbulkan persaingan diantara penyidik Polri dan penyidik BNN.

Tidak mengherankan hal tersebut dapat terjadi karena sebagaimana di sebutkan di atas, kejahatan narkoba memiliki nilai yang cukup strategis baik dalam rangka penitian karier atau terkait dengan tingginya nilai ekonomi penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. Oleh karena itu, harus dibuat mekanisme yang efektif dan efisien, sehingga persaingan yang tidak sehat dapat ditekan seminimal mungkin. Apabila memungkinkan, Direktorat IV Narkoba Bareskrim Polri digabungkan dengan BNN agar tidak ada kesan overlapping pelaksanaan tugas, meskipun dengan demikian harus mengamandemen peraturan perundangannya.

Gunarta
Gambar diperoleh dari : http://edwardmushalli.files.wordpress.com/2009/05/indonesia-merdeka-tanpa-narkoba_resize2.jpg

Senin, 10 Mei 2010

KONSEKUENSI UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TERHADAP ORGANISASI BADAN NARKOTIKA NASIONAL


Sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 34 tahun 2009 tentang Narkotika, organisasi Badan Nasional Narkotika diatur melalui Peraturan Presiden Nomor 83 tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Propinsi, dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota. Dengan lahirnya undang-undang tersebut, terdapat perbaikan atau penguatan yang cukup signifikan terhadap kelembagaan pencegahan dan penanggulangan narkoba ini. Jika semula hanya sebagai lembaga non-struktural yang bersifat koordinatif, maka undang-undang yang baru mengisyaratkan sebagai lembaga yang lebih operasional.

Juga, dengan undang-undang tersebut, permasalahan pembentukan BNN di Propinsi dan Kabupaten/Kota tidak lagi terkendala oleh Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang tidak mengatur pembentukan BNP/BNKab/Kota. Meskipun hal tersebut dapat diatasi dengan PP 41 tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, tetapi sampai dengan tahun 2009 akhir baru terbentuk 14 BNP. Ini berarti, proses pembentukannya sangat terkait dengan kondisi politik di daerah dan keterbatasan anggaran pemerintah daerah.

Pasal 64 menyebutkan bahwa dalam rangka pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika, dibentuk Badan Narkotika Nasional (BNN), sebagai lembaga pemerintah nonkementerian yang berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden. Selanjutnya berdasarkan pasal 65, BNN berkedudukan di ibukota negara dengan wilayah kerja meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia. BNN memiliki perwakilan di daerah provinsi dan kabupaten/kota yang secara organisatoris merupakan instansi vertikal.

BNN dipimpin oleh seorang kepala dan dibantu oleh seorang sekretaris utama dan beberapa deputi. Kepala BNN diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Apabila melihat persyaratan yang harus dipenuhi, maka Kepala BNN sepertinya harus dari unsur kepolisian, di mana dalam pasal 69 butir e disebutkan : “berpengalaman paling singkat 5 (lima) tahun dalam penegakan hukum dan paling singkat 2 (dua) tahun dalam pemberantasan Narkotika”. Kriteria seperti ini hanya dimiliki oleh anggota Polri yang secara hukum memang mendapat tugas melakukan penegakan hukum dan pemberantasan narkoba.

Dibandingkan dengan BNN berdasarkan Perpres 83 tahun 2007, tugas dan wewenang BNN lebih luas, tidak sekedar menjalankan fungsi sebagai lembaga pengkoordinasi. Dalam Perpres tersebut, tugas BNN membantu Presiden dalam : (a) mengkoordinasikan instansi pemerintah terkait dalam penyusunan kebijakan dan pelaksanaan kebijakan operasional di bidang ketersediaan dan pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika,prekursor dan bahan adiktif lainnya atau dapat disingkat dengan P4GN; dan (b) melaksanakan P4GN dengan membentuk satuan tugas yang terdiri atas unsur instansi pemerintah terkait sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangannya masing-masing.

Dalam melaksanakan tugas tersebut, BNN menyelenggarakan fungsi: (a) pengkoordinasian instansi pemerintah terkait dalam penyiapan dan penyusunan kebijakan di bidang ketersediaan
dan P4GN; (b) pengkoordinasian instansi pemerintah terkait dalam pelaksanaan kebijakan di bidang ketersediaan dan P4GN serta pemecahan permasalahan dalam pelaksanaan tugas; (c) pengkoordinasian instansi pemerintah terkait dalam kegiatan pengadaan, pengendalian, dan pengawasan di bidang narkotika, psikotropika, prekursor dan bahan adiktif lainnya; (d) pengoperasian satuan tugas yang terdiri atas unsure pemerintah terkait dalam P4GN sesuai dengan bidang tugas, fungsi dan kewenangan masing-masing; (e) pemutusan jaringan peredaran gelap narkotika, psikotropika, prekursor dan bahan adiktif lainnya melalui satuan tugas; (f) pelaksanaan kerja sama nasional, regional dan internasional dalam rangka penanggulangan masalah narkotika, psikotropika, prekursor dan bahan adiktif lainnya; (g) pembangunan dan pengembangan sistem informasi, pembinaan dan pengembangan terapi dan rehabilitasi serta laboratorium narkotika, psikotropika, prekursor dan bahan adiktif lainnya; dan (h) pengorganisasian BNP dan BNK/Kota berkaitan dengan pelaksanaan kebijakan di bidang P4GN.

Sedangkan Berdasar pasal 70 UU 35 tahun 2009, tugas BNN adalah : (a) menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; (b) mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; (c) berkoordinasi dengan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; (d) meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial pecandu Narkotika, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat; (e) memberdayakan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; (f) memantau, mengarahkan, dan meningkatkan kegiatan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; (g) melakukan kerja sama bilateral dan multilateral, baik regional maupun internasional, guna mencegah dan memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; (h) mengembangkan laboratorium Narkotika dan Prekursor Narkotika; (i) melaksanakan administrasi penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan (j) membuat laporan tahunan mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang.

Dalam melaksanakan tugas pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, BNN berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika. Kewenangan ini dilaksanakan oleh Penyidik BNN yang diangkat dan diberhentikan oleh Kepala BNN.

Konsekuesi dari ditetapkannya Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 adalah terbentuknya BNN Propinsi dan BNN Kabupaten/Kota yang jumlahnya cukup banyak. Jika instansi vertikal ini terbentuk semua, maka akan ada 33 BNN Propinsi dan 483 BNN Kabupaten/Kota. Menurut ketentuan peralihannya, dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak undang-undang ini diundangkan, struktur organisasi dan tata kerja Badan Narkotika Nasional yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 harus sudah disesuaikan dengan undang-undang ini. Langkah ini sudah diselesaikan dengan ditetapkannya Peraturan Presiden Nomor 23 tahun 2010 tentang Badan Narkotika Nasional. Selanjutnya, dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak undang-undang ini diundangkan, struktur organisasi dan tata kerja BNN provinsi dan BNN kabupaten/kota yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 harus sudah disesuaikan dengan undang-undang ini.

Nampaknya untuk ketentuan peralihan kedua sangat sulit dipenuhi mengingat keterbatasan keuangan negara. Menurut perhitungan sementara, anggaran yang dibutuhkan untuk membentuk dan mengoperasionalkan BNN dan seluruh instansi vertical BNN selama 5 tahun pertama minimal Rp. 11 trilyun. Padahal dalam RPJMN 2010 – 2014, secara indikatif negara hanya mampu membiayai operasional BNN sebesar Rp. 4,1 trilyun. Anggaran ini dialokasikan untuk kegiatan-kegiatan prioritas, termasuk pembentukan 14 BNN Propinsi dan 100 BNN Kabupaten/Kota.

Konsekuensi lain yang tidak kalah penting adalah terkait dengan sumber daya manusia dan asset yang dimiliki oleh BNP dan BNKab/Kota. Peraturan Presiden Nomor 23 tahun 2010 menyebutkan bahwa Pejabat dan Pegawai di lingkungan Pelaksana Harian BNN, BNP, dan BNK/Kota yang menjadi Pejabat dan Pegawai BNN berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan dapat memilih status tetap sebagai Pejabat dan Pegawai BNN atau kembali kepada instansi induknya. Untuk memilih status kepegawaian ini tentu sangat tidak mudah mengingat akan terjadi perbedaan kesejahteraan. Hal yang sangat mungkin, jika memilih menjadi pegawai tetap BNN kesejahteraannya justru menurun karena tunjangan pemerintah akan dicabut.

Selanjutnya terkait dengan asset BNN disebutkan bahwa seluruh aset negara yang dikelola dan digunakan oleh Pelaksana Harian BNN sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Provinsi, dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota, dalam jangka waktu 6 (enam) bulan beralih penggunaan dan pengelolaan kepada BNN setelah mendapat persetujuan dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang keuangan. Upaya penyelesaian asset ini juga akan memakan waktu yang cukup lama, mengingat tidak mudah baik proses maupun keikhlasan pemerintah daerah secara suka rela untuk menyerahkan assetnya.


Gunarta

Jumat, 07 Mei 2010

ANCAMAN KEAMANAN DAN KESELAMATAN PENUMPANG KERETA COMMUTER JABODETABEK


Tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan kereta listrik Commuter Jabodetabek sangat dibutuhkan, terutama masyarakat wilayah pinggiran Ibu Kota Jakarta. Kedatangannya selalu dinanti jutaan masyarakat yang tinggal di pinggiran Ibu Kota Jakarta. Mutu pelayanan yang dirasakan masih sangat rendah, tidak menyurutkan keinginan masyarakat untuk terus menggunakan jasa kereta api, karena dari sisi waktu pencapaian lebih cepat dan lebih aman dibandingkan dengan moda transportasi yang lain yang rawan macet dan rawan kecelakaan.

Selain menjadi solusi transportasi, keberadaan kereta api memberikan efek pengganda yang cukup besar bagi perekonomian local, baik secara formal maupun informal. Mulai dari angkutan kota pengumpan dan penjemput (feederer), penitipan kendaraan, penjaja koran, penjaja makanan dan minuman, pernik-pernik, asesoris, pemondokan, perumahan, sampai dengan pusat-pusat bisnis, sangat terkait dengan aktivitas perkeretaapian ini. Tidak mengherankan juga apabila perkeretaapian memunculkan sederetan aktivitas kriminal seperti peredaran narkoba, pencopetan, pemukiman liar, pemalakan, atau pelecehan seksual yang mengganggu keamanan dan keselamatan penumpang.

Aliran manusia yang menggunakan jasa kereta api yang mencapai puncak pada pagi hari dan sore hari, merupakan pemandangan yang terlihat sehari-hari. Keterbatasan rangkaian kereta api membuat masyarakat tidak mempermasalahkan padatnya penumpang. Kenyamanan menjadi barang mahal dan pilihan bagi penumpang yang tidak ingin bersusah-payah berdesak-desakan di dalam kereta. Bila ingin nyaman, harus naik kereta ekspress yang sejuk dan relatif cepat sampai tujuan, tetapi harus membayar mahal. Bila ingin agak nyaman, naik kereta ekonomi AC, meskipun lebih sering diganti kipas angin. Pilihan terakhir yang relatif kurang aman dan nyaman, tetapi murah, bisa naik kereta ekonomi baik di dalam gerbong maupun di atas gerbong. Sedikit (sangat) berbahaya, tetapi sesuai dengan harga yang dibayar.

Meski relatif aman, pilihan menggunakan moda kereta api tetap saja mengandung resiko, di mana besanya resiko berbeda-beda tergantung kelas kereta. Resiko terkena tindak criminal dimulai ketika penumpang masuk gerbong. Keinginan untuk mendapatkan posisi dan tempat duduk, menyebabkan para penumpang saling dorong memasuki gerbong. Resiko jatuh, terinjak-injak oleh penumpang lain, atau kecopetan bisa saja terjadi jika tidak hati-hati.

Selanjutnya ketika berada di dalam kereta, kepadatan penumpang akan mendorong tindak kriminal pencopetan dan pelecehan seksual. Kecopetan bisa terjadi ketika penumpang lengah dan tidak dengan baik menjaga barang miliknya. Sementara itu tindak pelecehan seksual dapat menimpa para perempuan yang tampil “menarik”. Kondisi yang berdesak-desakan, memberikan kesempatan pada laki-laki maniak (cenderung sakit jiwa daripada kriminal) untuk sekedar menggesek-gesekkan alat vitalnya atau bahkan melakukan masturbasi ke bagian belakang tubuh wanita (maaf : pantat). Kejadian ini sering terjadi digerbong-gerbong yang relatif gelap dan padat penumpang.

Hal yang tidak kalah menyeramkan adalah tindak kriminal aksi pelemparan batu oleh orang-orang yang sekedar iseng atau orang yang mengalami gangguan kejiwaan. Selain menimbulkan kerusakan pada kaca gerbong kereta, aksi pelemparan seringkali menimbulkan korban luka-luka para masinis dan penumpang.

Menurut catatan DAOP 3 Cirebion, data kerugian materil akibat pelemparan batu pada tahun 2008 sebanyak 497 kaca pecah dan membutuhkan biaya sebesar 278 juta rupiah untuk penggantian kaca, belum termasuk 3 penumpang dan 1 orang masinis luka-luka http://argojati.wordpress.com/. Selain menyebabkan petugas dan penumpang terluka, aksi pelemparan seringkali juga menyeabkan keterlambatan kereta karena harus mengevakuasi para korban dan memperbaiki serta mengecek tingkat kerusakan agar tidak membahayakan perjalanan kereta api selanjutnya.

Pada tahun 2005, Masinis Zaenal Abidin, harus kehilangan matanya karena dilempari batu oleh anak sekolah saat kereta api yang dikemudikannya melintas di daerah Kebayoran Baru. Zaenal Abidin saat ini menjadi pelayan di Griya Karya PT. KA karena sudah cacad. Selanjutnya pada September 2008, Sutarya (53 tahun) asisten masinis Kereta Bengawan harus operasi mata karena aksi pelemparan batu di lintasan Stasiun Kranji Bekasi.

Masih banyak lagi cerita-cerita pilu akibat ulah orang yang sekedar iseng atau orang sakit jiwa melempari kereta. Berdasarkan penglihatan dan pengamatan sehari-hari penulis, untuk lintasan Jakarta – Depok – Bogor, aksi pelemparan sering terjadi antara ruas Stasiun Manggarai – Tebet – Cawang – Kalibata – Pasar Minggu Baru - Stasiun Pasar Minggu – Tanjung Barat. Sesekali terjadi di ruas Stasiun Universitas Pancasila – Universitas Indonesia; Pondok Cina – Depok Baru; dan Depok Lama – Citayam. Ruas-ruas ini relatif merupakan permukiman padat, tetapi banyak kebon-kebon kosong yang merupakan tempat aman untuk melakukan pelemparan.

Atas berbagai ancaman keamanan dan keselamatan perkeretaapin tersebut, PT. KA, khususnya PT. KAI Commuter sebagai pengelola kereta listrik Jabodetabek perlu melakukan tindakan nyata untuk mencegah semakin banyaknya kerugian dan korban yang jatuh. Kenyamanan penumpang tidak hanya dengan menambah jadwal atau memperbanyak jumlah gerbong-gerbong AC (profit oriented). Keselamatan para penumpang sebagai sumber pendapatan utama kereta api harus semakin diperhatikan. Nilai strategis kereta api yang monopolistik tidak boleh menganut “take it or leaved”, mentang-mentang dibutuhkan, tidak ada saingan, lalu mendendangkan lagu “hitam-hitam si kereta api, walau hitam banyak yang mencari”. Artinya, pihak kereta api harus meningkatkan kualitas pelayanan yang selama ini terkesan tidak prima.

Secara internal, PT. KA harus menyediakan tenaga-tenaga pengamanan (Satpam) yang mampu bertindak tegas dan tidak mengumbar toleransi. Masih banyaknya penumpang liar yang tidak hanya di kereta ekonomi, tetapi juga kereta eksekutif menunjukkan pengawasan lalu lintas penumpang masih belum optimal. Saat ini memang sudah ada outsourcing security, tetapi berdasarkan pengamatan penulis, dalam menjalankan tugasnya masih kurang tegas dan memberikan toleransi kepada penumpang/penumpang liar untuk melakukan pelanggaran seperti tidak beli karcis, merokok tidak pada tempatnya, atau membiarkan para pengasong berseliweran di peron atau di dalam rangkaian kereta api.

Sebagai bentuk peningkatan pelayanan prima, PT. KA harus memberikan kenyamanan para penumpang, terutama di ruang tunggu atau peron. Oleh karena itu, peron harus disterilkan dari pedagang, pengemis, gelandangan, atau pengamen yang seringkali menyerobot hak penumpang untuk duduk, membuang sampah sembarangan, dan berperilaku jorok. PT. KA secara periodik telah melakukan upaya pembersihan lingkungan stasiun kereta, khususnya di area peron. Tetapi upaya tersebut tampaknya sifatnya tidak rutin dan tidak memberikan hasil yang permanen. Ketika operasi sterilisasi peron dari pedagang, pengemis, gelandangan, atau pengamen dilakukan, paling hanya bertahan beberapa hari. Hari-hari berikutnya, pedagang, pengemis, gelandangan, atau pengamen sudah bebas berdagang dan berseliweran di peron stasiun. Langkah yang terkesan sia-sia.

Terakhir, secara eksternal pihak PT. KA harus melakukan pendekatan kepada masyarakat yang berada dan bermukim di sekitar jalur rel kereta api, agar mereka tidak mengganggu aktivitas kereta. Langkah ini diperlukan untuk meningkatkan pelayanan keamanan dan kenyamanan berkendara kereta api. Peralatan keselamatan dan keamanan gerbong harus selalu diperhatikan. Kerusakan segera diganti, terutama kaca-kaca yang pecah. Untuk menghidari aksi pelemparan, PT. KA perlu melakukan kerjasama dengan aparat kepolisian untuk menempatkan polisi di ruas-ruas yang rawan aksi pelemparan. Selanjutnya untuk menggugah kesadaran para pelaku pelemparan, ruas-ruas yang rawan perlu di pasang papan himbauan tentang dampak aksi pelemparan. Jika perlu dipasang gambar Pak Zaenal Abidin atau Pak Sutarya, agar sisi kemanusiaannya terusik dan tidak mengulangi perbuatannya.

Gunarta

Rabu, 05 Mei 2010

PENGGUNA NARKOTIKA TIDAK LAGI DIHUKUM, TETAPI WAJIB MELAKSANAKAN REHABILITASI


Pada tanggal 12 Oktober 2009, pemerintah menetapkan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Undang-Undang ini merupakan pengganti dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang untuk menanggulangi dan memberantas tindak pidana nakotika. Realitasnya kondisi saat ini tindak pidana Narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan sudah banyak menimbulkan korban, terutama di kalangan generasi muda bangsa yang sangat membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.

Undang-Undang baru ini memberikan perlakukan yang berbeda bagi pelaku penyalahgunaan narkoba. Sebelum undang-undang ini berlaku, tidak ada perbedaan perlakuan antara pengguna pengedar, bandar, maupun produsen narkoba, sama-sama dipenjara baik di Lapas umum maupun Lapas khusus narkoba. Kita masih ingat beberapa figure masyarakat dan artis terkenal dipenjara karena menggunakan narkoba, bahkan ada yang sampai 2 kali menjalani hukuman karena sudah kecanduan. Perlakuan yang tidak berbeda didasari pada hasil penyelidikan dan penyidikan bahwa antara pengguna pengedar narkoba, bandar, maupun produsen seringkali saling terkait erat dan sulit dibedakan. Artinya seorang pengguna pada akhirnya akan terjebak dalam lingkaran mafia narkoba ketika sudah tidak memiliki dana untuk memenuhi kecanduannya.

Pengguna atau pecandu sebenarnya bukan pelaku penyalahgunaan narkoba, lebih tepatnya adalah korban dari sindikat narkoba. Oleh karena itu, para pengguna atau pecandu lebih tepat disembuhkan melalui rehabilitasi. Pasal-pasal terkait dengan kewajiban melakukan rehabilitasi yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 adalah sebagaimana ditampilkan dalam uraian berikut ini.

Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial (pasal 54). Rehabilitasi Medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan Narkotika (pasal 1 no 16). Sedangkan rehabilitasi Sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu Narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat (pasal 1 nomor 17).

Orang tua atau wali dari Pecandu Narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial (pasal 55 (1)). Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial (pasal 55 (2)).

Rehabilitasi medis Pecandu Narkotika dilakukan di rumah sakit yang ditunjuk oleh Menteri (pasal 56 (1)). Lembaga rehabilitasi tertentu yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat dapat melakukan rehabilitasi medis Pecandu Narkotika setelah mendapat persetujuan Menteri (pasal 56 (2)). Selain melalui pengobatan dan/atau rehabilitasi medis, penyembuhan Pecandu Narkotika dapat diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat melalui pendekatan keagamaan dan tradisional (pasal 57). Rehabilitasi sosial mantan Pecandu Narkotika diselenggarakan baik oleh instansi pemerintah maupun oleh masyarakat (pasal 58).

Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat: (a) memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika; atau (b) menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika (pasal 103 (1)). Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi Pecandu Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman (pasal 103 (2)).

Setiap Penyalah Guna: (a) Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun; (b) b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan (c) Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun (pasal 127 (1)). Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103 (pasal 127 (2)). Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial (pasal 127 (2)).

Orang tua atau wali dari pecandu yang belum cukup umur, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) yang sengaja tidak melapor, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) (Pasal 128 (1)). Pecandu Narkotika yang belum cukup umur dan telah dilaporkan oleh orang tua atau walinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) tidak dituntut pidana (Pasal 128 (2)). Pecandu Narkotika yang telah cukup umur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) yang sedang menjalani rehabilitasi medis 2 (dua) kali masa perawatan dokter di rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis yang ditunjuk oleh pemerintah tidak dituntut pidana (Pasal 128 (3)). Rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus memenuhi standar kesehatan yang ditetapkan oleh Menteri (Pasal 128 (4)).

Dari beberapa pasal tersebut, paling tidak masyarakat dapat memetik tiga keuntungan dengan diberlakukannya Undang-Undang ini. Pertama, masyarakat tidak perlu lagi takut mendapatkan aib akan perilaku keluarganya yang menjadi korban penyalahgunaan narkoba. Statusnya yang bukan sebagai narapidana, akan memberikan sugesti bagi keluarga layaknya melakukan perawatan bagi keluarganya yang sakit.

Kedua, keluarga korban tidak lagi khawatir lagi akan terjadinya peningkatan status dari korban menjadi pelaku penyalahgunaan narkoba. Sangat mungkin korban narkoba yang sedang menjalani hukuman, bukannya menjadi sadar, tetapi menjadi lebih “ahli” yang dikemudian hari justru menjadi pelaku. Ketiga, melalui lembaga Terapi dan Rehabilitasi, pemerintah akan membantu upaya penyembuhan dengan pembiayaan ditanggung oleh pemerintah. Ini akan sangat membantu bagi keluarga korban narkoba, karena kalau dilakukan secara mandiri membutuhkan pembiayaan yang cukup besar.

Gunarta
gambar diambil dari : www.stefanusmanja.wordpress.com

Selasa, 04 Mei 2010

KONSEKUENSI BAGI PELAKU PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DAN PREKURSOR NARKOTIKA


Dalam ketentuan umum Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009, definisi narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongang-olongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang tersebut. Sedangkan prekursor narkotika adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan narkotika yang dibedakan dalam tabel sebagaimana terlampir dalam Undang- Undang tersebut.

Narkotika dibagi dalam tiga golongan yaitu : narkotika golongan I, narkotika golongan II, dan narkotika golongan III. Penggolongan ini ditetapkan dan dijadikan sebagai lampiran yang tidak terpisahkan dari undang-undang tersebut. Dikemudian hari masih memungkinkan adanya perubahan golongan narkotika yang penetapannya diatur dengan Peraturan Menteri Kesehatan.
Narkotika golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan. Dalam jumlah terbatas, narkotika golongan I dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan untuk reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah mendapatkan persetujuan Menteri Kesehatan atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.

Sedangkan narkotika golongan II dan III dapat digunakan untuk kepentingan medis yang penggunaannya diatur melalui Peraturan Menteri Kesehatan. Oleh karena itu, untuk kepentingan pengobatan dan berdasarkan indikasi medis, dokter dapat memberikan narkotika golongan II atau golongan III dalam jumlah terbatas dan sediaan tertentu kepada pasien sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sehubungan dengan upaya pengobatan, pasien dapat memiliki, menyimpan, dan/atau membawa narkotika untuk dirinya sendiri dan harus mempunyai bukti yang sah bahwa narkotika yang dimiliki, disimpan, dan/atau dibawa untuk digunakan diperoleh secara sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Prekursor narkotika juga dibagi dalam 2 digolongkan sebagaimana tercantum dalam table I dan table II pada Lampiran Undang-Undang 35/2009 dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari undang-undang tersebut. Dikemudian hari masih memungkinkan adanya perubahan golongan narkotika yang penetapannya diatur dengan Peraturan Menteri Kesehatan.
Ketentuan pidana diantara golongan narkotika dan prekursor narkotika berbeda-beda, tetapi ancaman baik denda maupun pidana umumnya cukup berat. Dendanya bervariasi antara ratusan juta sampai dengan milyaran rupiah, tergantung peran pelaku apakah sebagai penanam, pemilik, produsen, pengekspor, pengimpor, distributor, atau mengunakan/memberikan untuk orang lain. Demikian juga sangsi pidananya mulai dari 5 tahun, 20 tahun, seumur hidup, sampai dengan pidana mati. Untuk lebih memahami tentang ketentuan pidana bagi pelaku penyalahguna narkotika dan prekursor narkotika, di bawah ini akan diuraikan berdasarkan golongan sebagaimana tercantum dalam UU 35/2009.

NARKOTIKA GOLONGAN I
Berdasarkan Pasal 111 sampai dengan Pasal 116 disebutkan bahwa :
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan I dalam bentuk tanaman dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). Apabila beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dengan denda maksimum sebagaimana tersebut di atas ditambah sepertiganya.

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). Apabila beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana tersebut di atas ditambah sepertiganya.

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Apabila dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana tersebut di atas ditambah sepertiganya.

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Apabila dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana tersebut di atas ditambah sepertiganya.

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito narkotika golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). Apabila bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana tersebut di atas ditambah sepertiganya.

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan narkotika golongan I terhadap orang lain atau memberikan narkotika golongan I untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Apabila mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana tersebut di atas ditambah sepertiganya.

NARKOTIKA GOLONGAN II
Berdasarkan Pasal 117 sampai dengan Pasal 121 disebutkan bahwa :
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Apabila beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana tersebut di atas ditambah sepertiganya.

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). Apabila beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana tersebut di atas ditambah sepertiganya.

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). Apabila beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana tersebut di atas ditambah sepertiganya.

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito narkotika golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Apabila beratnya melebihi 5 (lima) gram maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana tersebut di atas ditambah sepertiganya.

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan narkotika golongan II tehadap orang lain atau memberikan narkotika golongan II untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). Apabila mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana tersebut di atas ditambah sepertiganya.

NARKOTIKA GOLONGAN III
Berdasarkan Pasal 122 sampai dengan Pasal 126 disebutkan bahwa :
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Apabila beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana tersebut di atas ditambah sepertiganya.

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Apablia beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana tersebut di atas ditambah sepertiganya.

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Apabila beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana tersebut di atas ditambah sepertiganya.
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito narkotika golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Apabila beratnya melebihi 5 (lima) gram maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana tersebut di atas ditambah sepertiganya.

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan narkotika golongan III tehadap orang lain atau memberikan narkotika golongan III untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Apabila mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana tersebut di atas ditambah sepertiganya.

Sementara itu untuk prekursor narkotika dalam pasal 129 disebutkan bahwa dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum : (a) memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan prekursor narkotika untuk pembuatan narkotika; (b) memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan prekursor narkotika untuk pembuatan narkotika; (c) menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan prekursor narkotika untuk pembuatan narkotika; dan (d) membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito prekursor narkotika untuk pembuatan narkotika.

Tindak pidana penyalahgunaan narkotika dan prekursor narkotika sebagaimana yang disebutkan di atas adalah yang dilakukan secara perorangan. Masih ada ketentuan lain seperti yang dilakukan oleh korporasi, organisasi, orang-orang yang mengetahui tetapi tidak melapor, menggunakan tetapi tidak melapor, orangtua korban yang tidak melaporkan, industri farmasi, dan sebagainya yang berimplikasi pidana yang sangat berat.

Konsekuensi yang sangat berat ternyata belum menyurutkan pelaku penyalahgunaan narkotika dan precursor narkotika untuk terus berbisnis di bidang yang haram ini. Dalam kurun waktu tahun 2000 sampai dengan pertengahan tahun 2009 kasus tindak pidana narkoba meningkat lebih dari 7 kali lipat, dengan kecenderungan tersangka semakin muda usianya. Bahkan, laporan World Drug Report tahun 2009 menempatkan Indonesia sebagai salah satu dari 10 negara terbesar yang melakukan penyitaan methaphetamine dan memiliki kisaran harga-harga narkoba cukup tinggi dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya. Kondisi ini mengindikasikan bahwa Indonesia menjadi negara produsen sekaligus pasar potensial dalam perdagangan narkoba internasional.

Ditetapkannnya UU nomor 35 tahun 2009, sebagai pengganti UU nomor 22 tahun 1997 diharapkan akan semakin meningkatkan kinerja pemberantasan dan pencegahanan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. Implikasi yang berat dan diterapkan secara tegas, berkeadilan, serta tidak pandang bulu akan menjadikan pelaku penyalahguna narkotika dan prekursor narkotika berpikir ulang untuk melakukan bisnis haram ini. Kalau ceroboh dengan tetap melakukan bisnis haram ini, maka siap-siap saja pelaku menghadapi hukuman setimpal.
Gunarta
Gambar diambil dari : www.hizbut-tahrir.or.id