Pada saat ini, pemerintah sedang mempertimbangkan pelarangan sepeda motor menggunakan Premium, terutama untuk sepeda motor produksi tahun-tahun baru. Wacana kebijakan ini untuk mengendalikan konsumsi BBM bersubsidi agar tidak membengkak seiring dengan pertumbuhan produksi sepeda motor. Di samping itu, masyarakat pengguna sepeda motor banyak yang mulai beralih menggunakan BBM non subsidi (pertamax), sehingga pemerintah menilai sudah saatnya subsidi BBM semakin dikurangi.
Wacana tersebut kontan menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Bagi yang pro menilai bahwa banyak keluarga di Indonesia yang memiliki lebih dari 1 unit sepeda motor. Pemilik kendaraan roda empat, juga banyak yang memiliki sepeda motor. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kepemilikan sepeda motor bukan sekedar untuk menghemat pengeluaran transportasi keluarga. Tetapi lebih pada kepraktisan dan mengatasi permasalahan kemacetan, khususnya di kota-kota besar. Kepemilikannyapun semakin memperhatikan keandalan (capasitas silider yang besar) dan kemewahan, sehingga dapat dijadikan simbol kesuksesan.
Sementara itu bagi yang kontra, pelarangan penggunaan Premium bagi sepeda motor dianggap sebagai kebijakan yang diskriminatif dan tidak peka terhadap kesulitan hidup rakyat. Mereka menilai lebih tepat jika kebijakan tersebut diberlakukan bagi kendaraan pribadi roda empat yang secara ekonomi lebih mapan dan paling banyak menerima subsidi. Pendapat lain mengatakan bahwa meskipun bukan merupakan kebijakan kenaikan harga BBM, kebijakan pelarangan sepeda motor menggunakan Premium diperkirakan akan menimbulkan dampak yang kurang lebih sama dengan kebijakan kenaikan harga BBM.
Meskipun wacana pelarangan sepeda motor menggunakan Premium tidak lagi dijadikan opsi dalam menekan penggunaan BBM bersubsidi (dibatalkan/ditunda), namun hal tersebut tentunya bukan kebijakan yang serampangan. Pemerintah pasti sudah memperhitungkan untung ruginya jika menerapkan hal tersebut. Terkait dengan hal ini, penulis mencoba menganalisa kira-kira dampak apa yang akan terjadi seandainya kebijakan tersebut jadi diterapkan.
Kebutuhan bensin untuk sepeda motor
Kebutuhan BBM secara nasional pertahun mencapai 62,93 juta kiloliter atau 172,41 ribu kiloliter perhari. Dari jumlah tersebut, negara memberikan subsidi sebanyak 36,5 juta kiloleter atau 58,0 persen dari kebutuhan nasional. Jumlah subsidi BBM yang terdiri dari solar, bensin Premium, dan minyak tanah rata-rata mencapai Rp. 2 ribu/liter, sehingga total subsidi BBM mencapai Rp.73 trilyun.
Menurut BPH Migas, jumlah sepeda motor Indonesia diperkirakan mencapai 35 juta unit dengan pertumbuhan rata-rata mencapai 5-6 persen atau 1,75 juta unit pertahun. Jika 1 unit sepeda motor memerlukan BBM 2 liter perhari, maka kebutuhan BBM akan mencapai 70 juta liter perhari. Jumlah ini setara dengan 40,6 persen kebutuhan BBM nasional atau mencapai 70 persen BBM bersubsidi. Dengan demikian, total kebutuhan subsidi sepeda motor mencapai Rp. 140 milyar/hari atau Rp.51,10 trilun/tahun.
Jika seorang pengguna sepeda motor dilarang menggunakan Premium dan dialihkan penggunaannya ke Pertamax, maka tambahan pengeluaran adalah Rp.4000/hari. Dengan demikian sebulan memerlukan tambahan pengeluaran sebesar Rp. 120.000 atau total pengeluaran BBM untuk sepeda motor menjadi Rp. 390.000. Tambahan ini cukup singifikan (sekitar 44,44 persen) bagi orang yang mengandalkan sepeda motor sebagai sarana transportasi.
Namun demikian, biaya BBM sepeda motor masih lebih murah dan lebih fleksibel bila dibandingkan dengan menggunakan transportasi umum. Untuk masyarakat yang tinggal di pinggiran Jakarta, naik kendaraan umum sekali jalan bisa 2 – 3 kali ganti sasana angkutan untuk sampai ke tempat kerja.
Seseorang yang tinggal di Depok misalnya, untuk mencapai tempat kerja dengan rute rumah – stasiun kereta – tempat kerja di kawasan Jalan Diponegoro, dengan sarana transportasi termurah minimal membutuhkan ongkos pulang - pergi sebesar Rp. 13.000. Jika menggunakan kereta express diperlukan tambahan sebesar Rp. 15.000. Jika ditambah naik ojek diperlukan tambahan sebesar Rp. 10.000, dan jika menggunakan taksi diperlukan tambahan yang lebih besar lagi. Sehingga untuk transportasi kerja dibutuhkan dana antara Rp. 13.000 – Rp. 35.000 perhari atau Rp. 286.000 – Rp.770.000,- perbulan.
Hitungan ini untuk satu orang, sedangkan motor bisa digunakan untuk 2 orang sehingga menjadi lebih murah lagi. Apabila memperhitungkan “cangkingan”, semisal sekalian menghantarkan anak sekolah, biayanya akan lebih murah lagi.
Dampak pelarangan sepeda motor menggunakan premium
Pengalihan penggunaan Premium ke Pertamax akan menimbulkan beberapa dampak positif, meskipun tidak menutup kemungkinan menimbulkan dampak negatif. Dampak negatif yang mungkin timbul adalah adanya gejolak sosial dan ekonomi berupa penolakan yang berpotensi anarkhis, tuntutan kenaikan upah buruh, tuntutan kenaikan tarif angkutan umum, inflasi, dan sebagainya meskipun semuanya itu akan menuju keseimbangan dengan sendirinya.
Pelarangan penggunaan Premium akan menekan tingkat polusi udara. Masyarakat akan bertindak lebih efisien dan cenderung akan menurunkan konsumsi BBM dan mengurangi aktivitas-aktivitas yang tidak begitu penting. Dampak ini sangat positif mengingat tingkat polusi udara sudah sedemikian parahnya, terutama di kota-kota besar.
Berdasarkan The US Environmental Protection Agency (EPA) dalam setiap galon bensin akan menghasilkan emisi karbon sebanyak 8,8 kg CO2 atau 2,3 kg CO2/liter. Jika 35 juta unit sepeda motor mengkonsumsi 2 liter bensin, maka akan menghasilkan emisi karbon sebanyak 161 ribu ton CO2/hari atau dalam setahun akan menghasilkan emisi karbon 58,76 juta ton CO2.
Seandainya kebijakan pelarangan penggunaan Premium berhasil menekan penggunaan BBM sebanyak setengah liter bensin/hari, maka akan menurunkan emisi karbon sebanyak 40,25 ribu ton CO2/hari atau dalam setahun akan menurunkan emisi karbon sebanyak 14,69 juta ton CO2. Seandainya berhasil, ini merupakan sumbangan yang cukup berarti bagi penanganan efek rumah kaca (global warming).
Bagi pemerintah, kebijakan pengalihan penggunaan Premium ke Pertamax adalah penghematan subsidi BBM. Maksimal penghematan subsidi BBM Rp.51,10 trilun/tahun. Penghematan ini dapat digunakan untuk subsidi yang lain seperti penciptaan lapangan kerja, pemberdayaan UKM, peningkatan pelayanan kesehatan dan pendidikan bagi masyarakat miskin, atau peningkatan kesejahteraan prajurit TNI/Polri.
Hitung-hitungan tersebut di atas kertas terkesan sederhana dan mudah untuk dipahami. Namun bagi masyarakat yang sedang mengalami kesulitan hidup, sulit untuk menerimanya. Mungkin untuk menambah pengeluaran Rp. 4000/perhari tidak terlalu berat, tetapi rentetan naiknya harga-harga yang lain yang menjadi keberatan masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah harus benar-benar mengkaji kebijakan tersebut. Jika kebijakan tersebut benar-benar dilaksanakan harus sangat selektif (tidak semua dilarang) dan jangan sampai terjadi penyimpangan.
Kesulitan yang dihadapi mungkin adalah bagaimana membedakan mana yang harus disubsidi dan yang tidak disubsidi. Apakah dibedakan berdasarkan tahun pembuatan, kapasitas silinder, atau yang lainnya. Barangkali perlu diciptakan mekanisme untuk membedakan mana yang harus disubsidi dan yang tidak disubsidi seperti pemasangan chip, pembedaan warna plat nomor kendaraan, atau pengenaan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi. Jika mekanisme ini diterapkan dan disertai pengawasan yang ketat, diharapkan penyimpangan dapat ditekan dan sasaran subsidi BBM dapat tercapai.
Gunarta
Staf Perencana Bappenas
Senin, 07 Juni 2010
Selasa, 01 Juni 2010
MENGAPA PEMENUHAN 20 PERSEN APBN PENDIDIKAN BELUM BERPENGARUH NYATA PADA KUALITAS PENDIDIKAN
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiOe07PYqPPiQhFeWeE8Xu0soTble4y-Z_c_TFSIRGeXtBJwnnzJcaCrYa1e2EvwBSXkFqyZEriUrn-D_sm__eQIkcLsoZ6WhtznqlE9mRQk3NVwFCZuqkL6-u4vXEOPyQ7g27VOKz1lrk/s320/logo-depdiknas%5B1%5D.png)
Apabila kita mencermati pemberitaan tentang perkembangan dunia pendidikan, tampaknya mass media lebih menonjolkan kondisi pendidikan yang belum begitu menggembirakan. Media massa seringkali menyoroti kondisi bangunan sekolah yang tidak memadai seperti atap yang bocor, dinding yang berlobang-lobang, bangunan semi permanen, atau anak-anak yang belajar dengan fasilitas seadanya. Sangat jarang media massa menyoroti kualitas anak yang cerdas, berprestasi, penuh bakat meskipun berasal dari sekolah-sekolah di pelosok desa yang relatif sulit mendapat akses ke dunia luar.
Pemberitaan bad news tersebut seakan mempertanyakan peningkatan anggaran pendidikan yang telah mencapai angka 20 persen dari APBN, namun pada kenyataannya masih banyak kondisi sarana prasarana pendidikan yang kurang layak. Belum lagi masalah kualitas pendidikan yang belum meningkat secara signifikan apabila dikaitkan dengan seberapa lengkapnya sarana prasarana pendidikan, kualitas hasil pendidikan, keterterimaan hasil didik pada dunia kerja, tingkat penerapan teknologi pendidikan, serta yang paling mudah mengukurnya adalah tingkat kelulusan ujian nasional (UN) yang merupakan standar nasional kualitas pendidikan.
Tidak dapat disangkal lagi bahwa salah satu indikator keberhasilan belajar bagi siswa Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA/MA) adalah lulus UN. Lulus UN berarti akan ada transformasi jenjang pendidikan dari level dasar ke level menengah pertama, menengah atas (umum), atau ke bangku kuliah di perguruan tinggi. Menjadi jamak jika kelulusan UN acap diperlakukan sebagai puncak keberhasilan yang patut dirayakan dengan syukuran, berkonvoi keliling kota, atau coret moret baju seragam.
Sebaliknya bagi siswa yang tidak lulus UN, mereka akan meratapi dan menganggap usaha kerasnya selama ini tidak memetik hasil alias gagal. Kegagalan tersebut menyebabkan sebagian dari mereka mengalami depresi dan sedih berkepanjangan. Mereka tidak percaya kalau harus mengulang ujian UN yang menurut pandangan penulis hanya sebagai “bebungah” atau pelipur lara bagi para siswa yang gagal UN.
Berdasarkan pernyataan dari Mendiknas, secara nasional tingkat kelulusan SMU tahun 2010 menurun 4 persen dari tahun 2009, yakni dari 93,74 persen menjadi 89,88 persen. Total peserta UN tingkat SMA/MA tahun 2010 sebanyak 1.522.162 siswa, 154.079 siswa (10,12 persen) diantaranya mengulang dan jumlah yang tidak mengulang 1.368.083 siswa (89,88 persen). Provinsi dengan jumlah ketidaklulusan tinggi berada di wilayah timur Indonesia yaitu : Gorontalo (53 persen) Nusa Tenggara Timur/NTT (52,8 persen), dan Maluku Utara (41 persen), Sulawesi Tenggara /Sultra (35 persen) Kalimantan Timur/Kaltim (30 persen) dan Kalimantan Tengah/Kalteng (39 persen).
Untuk jenjang SMP, secara nasional tingkat kelulusannya juga mengalami penurunan. Tingkat kelulusan UN SMP/MTs/SMPT tahun 2010 turun 4,78 persen menjadi 90,27 persen dibanding tahun 2009 yang mencapai 95,05 persen. Jumlah siswa SMP/MTs/SMPT yang harus mengulang UN adalah sekitar 350.798 siswa dari sekitar 3.605.324 siswa. Sekolah yang terbanyak angka ketidaklulusannya, antara lain di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sebesar 39,87 persen dan Propinsi Gorontalo sebesar 38,80 persen. Sedangkan angka ketidaklulusan terendah di Propinsi Bali yakni 1,4 persen.
Sedangkan untuk kelulusan UN Sekolah Dasar, akan ditentukan sekitar tanggal 19 Juni 2010. Apabila proses pelaksanaannya tidak jauh berbeda dengan pelaksanaan UN SMA/MA dan SMP/MTs/SMPT, maka diprediksikan hasilnya juga akan mengalami penurunan.
Jika selama ini yang dikeluhkan adalah masalah keterbatasan anggaran pendidikan, maka sesuai dengan amandemen UUD 45, anggaran pendidikan dalam beberapa tahun ke belakang secara bertahap telah mencapai 20 persen dari APBN. Namun ironisnya, kualitas pendidikan yang dilihat dari tingkat kelulusan UN justru mengalami penurunan.
Mungkin masih terlalu dini untuk mengukur dampak 20 % APBN pendidikan, karena pemenuhannya baru tercapai dalam tahuan 2009 dan 2010. Namun secara gradual upaya pemenuhan 20 % APBN pendidikan telah dilakukan sejak tahun 2005, sehingga seharusnya dampaknya sudah mulai terlihat. Realitasnya, mutu pendidikan belum juga meningkat secara signifikan dengan trend menurun.
Ironi yang lain dari peningkatan APBN pendidikan tersebut adalah bukannya biaya pendidikan menjadi semakin murah, tetapi justru biaya pendidikan yang harus ditanggung oleh masyarakat menjadi semakin mahal. Akibatnya fenomena menara gading muncul kembali, di mana hanya orang-orang tertentu yang bisa mencapai puncak menara.
Untuk masuk perguruan tinggi ternyata tidak hanya bermodal otak encer, tetapi kantong juga harus tebal. Tanpa dana yang lebih besar, jangan harap bisa memasuki perguruan tinggi favorit. Begitu dinyatakan lulus seleksi, calon mahasiswa disodori kesediaan untuk membayar uang pembangunan (uang gedung) yang jumlahnya puluhan, bahkan ratusan juta. Bahkan untuk masuk SMP atau SMA unggulan yang dikemas SBI, orang tua murid harus mengeluarkan dana awal sampai dengan 30 jutaan.
Anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN, sepertinya lebih banyak digunakan untuk meningkatkan akses pendidikan bagi warga negara termasuk pembangunan infrastruktur pendidikan, kualitas pendidik, dan meningkatkan kesejahteraan guru. Alokasi untuk meningkatkan kualitas pendidikan dengan aspek teknologi masih sangat kurang. Hal tersebut dapat dilihat pada prioritas pembangunan pendidikan yang tercantum dalam dokumen RPJMN 2010 – 2014 Buku II Bidang Sosial Budaya dan Kehidupan Beragama.
Menurut dokumen tersebut, untuk mencapai keluasan dan kemerataan akses pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan tinggi yang bermutu dan berdaya saing internasional, serta pendidikan non formal yang bermutu dan relevan dengan kebutuhan masyarakat dialokasikan sebesar Rp. 313,41 trilyun.
Untuk mencapai kemerataan guru dan tenaga kependidikan yang bermutu, antar propinsi, kabupaten dan kota dialokasikan sebesar Rp. 114,39 trilyun. Untuk mencapai meningkatnya layanan perpustakaan, pelestarian fisik dan kandungan naskah kuno dan budaya gemar membaca di masyarakat dialokasikan anggaran sebesar Rp. 1,34 trilyun. Untuk meningkatnya kualitas pendidikan agama dan keagamaan dialokasikan anggaran sebesar Rp. 4,14 trilyun. Selanjutnya untuk mencapai makin mantapnya pelaksanaan sistem pendidikan nasional dialokasikan anggaran sebesar Rp. 27,89 trilyun.
Anggaran yang cukup besar tersebut sebagain besar untuk kegiatan pemberian bantuan operasional sekolah (BOS) dan bantuan operasional managemen mutu (BOMM), pemberian beasiswa siswa/mahasiswa miskin, penguatan tata kelola dan sistem pengendalian di lingkungan Ditjen Dikti dan Perguruan Tinggi, sertifikasi dan beasiswa bagi pendidik sekolah dasar dan menengah, serta tunjangan profesi dan fungsional guru.
Berbagai kegiatan tersebut tampaknya lebih pada upaya peletakan dasar (fondasi) pendidikan, belum pada upaya meningkatkan kualitas pendidikan. Oleh karena itu, hasilnya belum tampak secara nyata. Para birokrat dan praktisi pendidikan masih sibuk memperjuangkan institusi dan hak-hak pendidik, sehingga tidak terlalu fokus pada pencapaian kualitas pendidikan, setidaknya pada jangka pendek.
Anggaran pendidikan menurut hemat penulis, sebaiknya mulai dipikirkan untuk lebih meningkatkan standar pendidikan. Salah satunya melalui penyetaraan kurikulum pendidikan. Kurikulum pendidikan memang sudah dibuat, tetapi kenyataannya hanya sebagian kecil sekolah mampu melaksanakan standar kurikulum dengan optimal. Itupun karena didukung dengan biaya yang mahal yang harus ditanggung orang tua murid.
Jika setiap sekolah dibuat mampu melaksakanan standar kurikulum, maka kisruh kelulusan Ujian Akhir Nasional tidak akan terjadi lagi. Ini adalah tugas yang sangat berat dan membutuhkan kerelaan dan pengorbanan para birokrat dan praktisi pendidikan. Tidak dapat dipungkiri apabila para birokrat pendidikan saat ini lebih senang “mroyek” di bidang pendidikan. Artinya mereka mencari penghidupan di bidang ini dan tidak terlalu peduli akan hasil proyeknya.
Di sisi lain, para praktisi pendidikan menjadikan bidang pendidikan sebagai ladang bisnis yang profit oriented. Makanya tidak jarang, antara birokrat dan praktisi bisnis terjebak dalam konspirasi yang menguntungkan kedua belah pihak, tetapi merugikan dunia pendidikan. Ujung-ujungnya, banyak birokrasi pendidikan berperkara dengan aparat penegak hukum.
Gunarta
Staf Perencana Bappenas
Pemberitaan bad news tersebut seakan mempertanyakan peningkatan anggaran pendidikan yang telah mencapai angka 20 persen dari APBN, namun pada kenyataannya masih banyak kondisi sarana prasarana pendidikan yang kurang layak. Belum lagi masalah kualitas pendidikan yang belum meningkat secara signifikan apabila dikaitkan dengan seberapa lengkapnya sarana prasarana pendidikan, kualitas hasil pendidikan, keterterimaan hasil didik pada dunia kerja, tingkat penerapan teknologi pendidikan, serta yang paling mudah mengukurnya adalah tingkat kelulusan ujian nasional (UN) yang merupakan standar nasional kualitas pendidikan.
Tidak dapat disangkal lagi bahwa salah satu indikator keberhasilan belajar bagi siswa Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA/MA) adalah lulus UN. Lulus UN berarti akan ada transformasi jenjang pendidikan dari level dasar ke level menengah pertama, menengah atas (umum), atau ke bangku kuliah di perguruan tinggi. Menjadi jamak jika kelulusan UN acap diperlakukan sebagai puncak keberhasilan yang patut dirayakan dengan syukuran, berkonvoi keliling kota, atau coret moret baju seragam.
Sebaliknya bagi siswa yang tidak lulus UN, mereka akan meratapi dan menganggap usaha kerasnya selama ini tidak memetik hasil alias gagal. Kegagalan tersebut menyebabkan sebagian dari mereka mengalami depresi dan sedih berkepanjangan. Mereka tidak percaya kalau harus mengulang ujian UN yang menurut pandangan penulis hanya sebagai “bebungah” atau pelipur lara bagi para siswa yang gagal UN.
Berdasarkan pernyataan dari Mendiknas, secara nasional tingkat kelulusan SMU tahun 2010 menurun 4 persen dari tahun 2009, yakni dari 93,74 persen menjadi 89,88 persen. Total peserta UN tingkat SMA/MA tahun 2010 sebanyak 1.522.162 siswa, 154.079 siswa (10,12 persen) diantaranya mengulang dan jumlah yang tidak mengulang 1.368.083 siswa (89,88 persen). Provinsi dengan jumlah ketidaklulusan tinggi berada di wilayah timur Indonesia yaitu : Gorontalo (53 persen) Nusa Tenggara Timur/NTT (52,8 persen), dan Maluku Utara (41 persen), Sulawesi Tenggara /Sultra (35 persen) Kalimantan Timur/Kaltim (30 persen) dan Kalimantan Tengah/Kalteng (39 persen).
Untuk jenjang SMP, secara nasional tingkat kelulusannya juga mengalami penurunan. Tingkat kelulusan UN SMP/MTs/SMPT tahun 2010 turun 4,78 persen menjadi 90,27 persen dibanding tahun 2009 yang mencapai 95,05 persen. Jumlah siswa SMP/MTs/SMPT yang harus mengulang UN adalah sekitar 350.798 siswa dari sekitar 3.605.324 siswa. Sekolah yang terbanyak angka ketidaklulusannya, antara lain di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sebesar 39,87 persen dan Propinsi Gorontalo sebesar 38,80 persen. Sedangkan angka ketidaklulusan terendah di Propinsi Bali yakni 1,4 persen.
Sedangkan untuk kelulusan UN Sekolah Dasar, akan ditentukan sekitar tanggal 19 Juni 2010. Apabila proses pelaksanaannya tidak jauh berbeda dengan pelaksanaan UN SMA/MA dan SMP/MTs/SMPT, maka diprediksikan hasilnya juga akan mengalami penurunan.
Jika selama ini yang dikeluhkan adalah masalah keterbatasan anggaran pendidikan, maka sesuai dengan amandemen UUD 45, anggaran pendidikan dalam beberapa tahun ke belakang secara bertahap telah mencapai 20 persen dari APBN. Namun ironisnya, kualitas pendidikan yang dilihat dari tingkat kelulusan UN justru mengalami penurunan.
Mungkin masih terlalu dini untuk mengukur dampak 20 % APBN pendidikan, karena pemenuhannya baru tercapai dalam tahuan 2009 dan 2010. Namun secara gradual upaya pemenuhan 20 % APBN pendidikan telah dilakukan sejak tahun 2005, sehingga seharusnya dampaknya sudah mulai terlihat. Realitasnya, mutu pendidikan belum juga meningkat secara signifikan dengan trend menurun.
Ironi yang lain dari peningkatan APBN pendidikan tersebut adalah bukannya biaya pendidikan menjadi semakin murah, tetapi justru biaya pendidikan yang harus ditanggung oleh masyarakat menjadi semakin mahal. Akibatnya fenomena menara gading muncul kembali, di mana hanya orang-orang tertentu yang bisa mencapai puncak menara.
Untuk masuk perguruan tinggi ternyata tidak hanya bermodal otak encer, tetapi kantong juga harus tebal. Tanpa dana yang lebih besar, jangan harap bisa memasuki perguruan tinggi favorit. Begitu dinyatakan lulus seleksi, calon mahasiswa disodori kesediaan untuk membayar uang pembangunan (uang gedung) yang jumlahnya puluhan, bahkan ratusan juta. Bahkan untuk masuk SMP atau SMA unggulan yang dikemas SBI, orang tua murid harus mengeluarkan dana awal sampai dengan 30 jutaan.
Anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN, sepertinya lebih banyak digunakan untuk meningkatkan akses pendidikan bagi warga negara termasuk pembangunan infrastruktur pendidikan, kualitas pendidik, dan meningkatkan kesejahteraan guru. Alokasi untuk meningkatkan kualitas pendidikan dengan aspek teknologi masih sangat kurang. Hal tersebut dapat dilihat pada prioritas pembangunan pendidikan yang tercantum dalam dokumen RPJMN 2010 – 2014 Buku II Bidang Sosial Budaya dan Kehidupan Beragama.
Menurut dokumen tersebut, untuk mencapai keluasan dan kemerataan akses pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan tinggi yang bermutu dan berdaya saing internasional, serta pendidikan non formal yang bermutu dan relevan dengan kebutuhan masyarakat dialokasikan sebesar Rp. 313,41 trilyun.
Untuk mencapai kemerataan guru dan tenaga kependidikan yang bermutu, antar propinsi, kabupaten dan kota dialokasikan sebesar Rp. 114,39 trilyun. Untuk mencapai meningkatnya layanan perpustakaan, pelestarian fisik dan kandungan naskah kuno dan budaya gemar membaca di masyarakat dialokasikan anggaran sebesar Rp. 1,34 trilyun. Untuk meningkatnya kualitas pendidikan agama dan keagamaan dialokasikan anggaran sebesar Rp. 4,14 trilyun. Selanjutnya untuk mencapai makin mantapnya pelaksanaan sistem pendidikan nasional dialokasikan anggaran sebesar Rp. 27,89 trilyun.
Anggaran yang cukup besar tersebut sebagain besar untuk kegiatan pemberian bantuan operasional sekolah (BOS) dan bantuan operasional managemen mutu (BOMM), pemberian beasiswa siswa/mahasiswa miskin, penguatan tata kelola dan sistem pengendalian di lingkungan Ditjen Dikti dan Perguruan Tinggi, sertifikasi dan beasiswa bagi pendidik sekolah dasar dan menengah, serta tunjangan profesi dan fungsional guru.
Berbagai kegiatan tersebut tampaknya lebih pada upaya peletakan dasar (fondasi) pendidikan, belum pada upaya meningkatkan kualitas pendidikan. Oleh karena itu, hasilnya belum tampak secara nyata. Para birokrat dan praktisi pendidikan masih sibuk memperjuangkan institusi dan hak-hak pendidik, sehingga tidak terlalu fokus pada pencapaian kualitas pendidikan, setidaknya pada jangka pendek.
Anggaran pendidikan menurut hemat penulis, sebaiknya mulai dipikirkan untuk lebih meningkatkan standar pendidikan. Salah satunya melalui penyetaraan kurikulum pendidikan. Kurikulum pendidikan memang sudah dibuat, tetapi kenyataannya hanya sebagian kecil sekolah mampu melaksanakan standar kurikulum dengan optimal. Itupun karena didukung dengan biaya yang mahal yang harus ditanggung orang tua murid.
Jika setiap sekolah dibuat mampu melaksakanan standar kurikulum, maka kisruh kelulusan Ujian Akhir Nasional tidak akan terjadi lagi. Ini adalah tugas yang sangat berat dan membutuhkan kerelaan dan pengorbanan para birokrat dan praktisi pendidikan. Tidak dapat dipungkiri apabila para birokrat pendidikan saat ini lebih senang “mroyek” di bidang pendidikan. Artinya mereka mencari penghidupan di bidang ini dan tidak terlalu peduli akan hasil proyeknya.
Di sisi lain, para praktisi pendidikan menjadikan bidang pendidikan sebagai ladang bisnis yang profit oriented. Makanya tidak jarang, antara birokrat dan praktisi bisnis terjebak dalam konspirasi yang menguntungkan kedua belah pihak, tetapi merugikan dunia pendidikan. Ujung-ujungnya, banyak birokrasi pendidikan berperkara dengan aparat penegak hukum.
Gunarta
Staf Perencana Bappenas
Selasa, 11 Mei 2010
SENSUS PENDUDUK , HANYA TEMPEL STIKER ?
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiISqskNkjmaJVwJebT2hDBSn8EAUbnAoLAc3ziSiD1qy-QTb-advxNK_Gh-GrIfM6u5aQhrzi3JTdypfrXshYQxDuG0rn7bHEhyphenhyphent-qJdHi5ZmkfFucpmozOa8sQPAk6r7vMZlwO0SIyLs/s320/sensus.jpg)
Sudah menjadi kewajiban bagi warga negara untuk mensukseskan pelaksanaan Sensus Penduduk 2010. Keterlibatan warga negara secara aktif akan menentukan validitas data pembangunan Indonesia yang selama jeda sensus hanya didasarkan pada asumsi, proyeksi, atau survey yang seringkali penyimpangannya (deviasi) cukup tinggi.
Sensus penduduk dilaksanakan secara door to door, di mana setiap petugas sensus melakukan pendataan dari rumah ke rumah. Dengan metode ini diharapkan tidak akan ada rumah tangga yang terlewatkan, sehingga missing data tidak akan terjadi. Bahkan dengan metode ini, Kepala BPS berani menjamin bahwa semua rumah tangga akan terdata, desa terpelosok sekalipun tidak akan luput dari pendataan.
Dalam kunjungan petugas sensus, rumah tangga akan disodori sebanyak 43 pertanyaan. Secara pasti, penulis belum tahu substansi apa saja yang ditanyakan para petugas sensus, karena penulis belum merasa disensus. Namun berdasarkan hasil googling, pertanyaan sensus adalah seputar kondisi dan fasilitas perumahan dan bangunan tempat tinggal, karakteristik rumah tangga dan keterangan individu anggota rumah tangga.
Namun demikian, secara pribadi penulis agak menyangsikan hasil sensus kali ini. Kesangsian ini didasari pada penglihatan pelaksanaan sensus di tempat tinggal penulis. Penulis tinggal di Kampung Kupu Rangkapan Jaya Depok. Pada hari Minggu 2 Mei 2010, ada sejumlah ibu-ibu mengenakan rompi Sensus 2010 berjalan-jalan di depan rumah penulis. Penulis melihat dari dalam rumah, salah seorang dari tim itu menuju rumah. Penulis sudah siap-siap menyambutnya sebagai bentuk dukungan terhadap pelaksanaan Sensus Penduduk 2010.
“Assalamualaikum pak, Sensus Penduduk”.
Baru siap-siap mau keluar, petugas itu sudah mengeloyor meninggalkan rumah penulis dengan meninggalkan tempelan stiker di kaca jendela penulis. Agak kecewa juga. Apakah sensus hanya sekedar tempel stiker, tidak ada wawancara ? Padahal pintu rumah terbuka dan penulis beserta keluarga sudah siap-siap menjawab segala pertanyaan sejujur mungkin.
Katakanlah, petugas sensus berinisiatif mengambil data sekunder yang tersedia di kantor Rukun Tetangga ( RT). Namun, data RT-pun, sangat mungkin tidak pernah di-up date baik oleh petugas RT maupun oleh warga yang tinggal di wilayah RT tersebut. Hal ini dapat dimaklumi kalau petugas RT berlaku pasif dalam hal data kependudukan, mengingat jabatan ketua RT merupakan jabatan sosial, sukarela, dan tidak dibayar. Ketua RT akan bergerak jika ada insentif atau ada permintaan dari RW atau kelurahan.
Apabila petugas sensus mengutamakan pendataan bangunan fisik sesuai dengan kelas bangunan, mungkin hasilnya mendekati valid karena para petugas berkeliling kampung sambil menjumlah serta mengkategorikan kelas bangunan. Namun ketika hanya melihat bangunan fisik dari luar, sangat mungkin petugas sensus akan terkecoh dengan data pandangan mata dari fisik bangunan. Sebuah bangunan kadangkala dari luar terlihat bagus, tetapi bagian dalamnya mungkin “glondang” (kosong), tidak ada perabot rumah tangga, tidak ada kendaraan, atau barang-barang lain yang merupakan elemen penentu kriteria kelas bangunan. Hal sebaliknya, rumah yang dari luar tampak jelek, sangat mungkin dalamnya terdapat perabot rumah tangga yang lengkap, mewah, dan berkelas. Jadi, akan tidak bijak apabila petugas sensus tidak melakukan kunjungan rumah tangga.
Lantas dengan data yang lain bagaimana ? Jumlah penduduk, mungkin masih bisa didapat secara sekunder dari data RT karena di kantor (rumah) RT tersimpan kartu keluarga (kartu KK). Tetapi bagaimana data tentang pekerjaan warga? Kalau warga yang bermatapencaharian sebagai PNS atau TNI/Polri, hampir dipastikan tidak mengalami perubahan. Sementara data mata pencaharian warga seperti buruh, petani, bangunan, pegawai pabrik, jasa angkutan, jasa keuangan dan sebagainya sangat mungkin berubah setiap saat. Jadi, sangat mungkin data kependudukan yang ada di ketua RT terkait dengan mata pencaharian, tidak banyak berubah dalam beberapa tahun alias stagnan. Dengan demikian, petugas sensus memang harus mendatangi rumah tangga secara door to door,melakukan wawancara mendalam, dan tidak sekedar tempel stiker lantas ngeloyor pergi.
Akhirnya, secara pribadi penulis mengharapkan kepada pejabat Biro Pusat Statistik dapat melakukan Sensus Penduduk 2010 ini dengan mentaati metodologi yang telah dibuat. Penyimpangan dari metode yang telah ditetapkan akan berakibat hasil sensus tidak sesuai dengan yang diharapkan dan berujung pada kurang validnya data. Data pemangunan yang kurang valid, akan berakibat pada tidak tepatnya sasaran pembangunan yang ingin dicapai, baik sasaran jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka panjang.
Gunarta
PNS Bappenas
TUGAS DAN WEWENANG PENYIDIKAN TINDAK PIDANA NARKOBA - SATU PEKERJAAN DUA PETUGAS
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgfVPwc8nNqnppganQPKCYU5p5hUN2_Zqs9LdEBiBGm9MpbqHsx208I3G8KqDbBRdch5wxpuiGMScqeSQKMz5f8wK6DOPt6i3lLtXPW2urYA3ut7025XsGLAHC4CXX9_zX2fb9HrSWaq98/s320/indonesia-merdeka-tanpa-narkoba_resize2%5B1%5D.jpg)
Wewenang penyidik BNN cukup banyak. Pasal 75 menyebutkan bahwa alam rangka melakukan penyidikan, penyidik BNN berwenang: (a) melakukan penyelidikan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang adanya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika; (b) memeriksa orang atau korporasi yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika; (c) memanggil orang untuk didengar keterangannya sebagai saksi; (d) menyuruh berhenti orang yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika serta memeriksa tanda pengenal diri tersangka; (e) memeriksa, menggeledah, dan menyita barang bukti tindak pidana dalam penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika; (f) memeriksa surat dan/atau dokumen lain tentang penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan prekursor narkotika; (g) menangkap dan menahan orang yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika; (h) melakukan interdiksi terhadap peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika di seluruh wilayah juridiksi nasional; (i) melakukan penyadapan yang terkait dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan prekursor narkotika setelah terdapat bukti awal yang cukup; (j) melakukan teknik penyidikan pembelian terselubung dan penyerahan di bawah pengawasan; (k) memusnahkan narkotika dan prekursor narkotika; (l) melakukan tes urine, tes darah, tes rambut, tes asam dioksiribonukleat (DNA), dan/atau tes bagian tubuh lainnya; (m) mengambil sidik jari dan memotret tersangka; (n) melakukan pemindaian terhadap orang, barang, binatang, dan tanaman; (o) membuka dan memeriksa setiap barang kiriman melalui pos dan alat-alat perhubungan lainnya yang diduga mempunyai hubungan dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan prekursor narkotika; (p) melakukan penyegelan terhadap narkotika dan prekursor narkotika yang disita; (q) melakukan uji laboratorium terhadap sampel dan barang bukti Narkotika dan prekursor narkotika; (r) meminta bantuan tenaga ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan tugas penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika; dan (s) menghentikan penyidikan apabila tidak cukup bukti adanya dugaan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika.
Selain sebagaimana disebutkan dalam pasal 75, Penyidik BNN juga berwenang: (a) mengajukan langsung berkas perkara, tersangka, dan barang bukti, termasuk harta kekayaan yang disita kepada jaksa penuntut umum; (b) memerintahkan kepada pihak bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga dari hasil penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika milik tersangka atau pihak lain yang terkait; (c) untuk mendapat keterangan dari pihak bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka yang sedang diperiksa; (d) untuk mendapat informasi dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang terkait dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika; (e) meminta secara langsung kepada instansi yang berwenang untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri; (f) meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka kepada instansi terkait; (g) menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau mencabut sementara izin, lisensi, serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika yang sedang diperiksa; dan (h) meminta bantuan interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri (pasal 80).
Sesuai Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tugas pokok Polri adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakkan hukum; dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat (pasal 13). Penyelidikan and penyidikan merupakan salah satu dari 12 tugas Polri ( Pasal 14). Butir g menyebutkan bahwa Polri memiliki tugas melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam dua pasal ini di bidang proses pidana, Polri berwenang untuk : (a) melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan; (b) melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan; (c) membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan; (d) menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; (e) melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; (f) memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; (g) mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; (h) mengadakan penghentian penyidikan; (i) menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum; (j) mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana; (k) memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan (l) mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Jika dibandingkan, poin-poin tugas dan wewenang penyidikan antara BNN dan Polri hampir sama. Bedanya, BNN hanya menyidik kejahatan narkotika dan prekursor narkotika. Sementara itu, Polri menyidik semua jenis kejahatan termasuk narkotika dan prekursor narkotika. Untuk melakukan tugas dan wewenang ini, Badan Reserse Kriminal Polri (Bareskrim) membentuk direktorat khusus yang menangani narkotika dan prekursor narkotika. Dengan demikian kedua lembaga ini memiliki wewenang yang sama dalam melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika, sebagaimana diatur dalam pasal 81 UU nomor 35 tahun 2009.
Konsekuensi dari tugas dan wewenang penyidikan BNN adalah bagaimana menyiapkan sumber daya manusia penyidik BNN, sarana dan prasarana penyidikan, dan mekanisme kerjasama antara penyidik BNN dan penyidik Polri atau dengan penyidik lainnya. Sebagai lembaga yang semula hanya sebagai lembaga non-struktural yang bersifat koordinatif, maka secara organik tidak memiliki tenaga penyidik yang khusus. BNN hanya membentuk dan memfasilitasi satuan tugas yang sebenarnya dapat dikatakan sebagai perpanjangan tangan Direktorat IV Narkoba Bareskrim Polri. Tidak mengherankan jika laporan keberhasilan pencegahan dan penanggulangan kejahatan narkotika dan prekursor narkotika diklaim oleh Polri.
Oleh karena itu, BNN harus segera membentuk pasukan khusus (strike force) pencegahan dan penanggulangan kejahatan narkotika dan prekursor narkotika. Perekrutan dari awal mungkin tidak efektif karena harus melakukan pendidikan dan pelatihan yang memakan waktu cukup lama. Padahal kejahatan narkotika dan prekursor narkotika cenderung semakin meluas dan prevalensi penyalahgunaan narkotika cenderung meningkat. Akan lebih efektif apabila satuan tugas yang sudah ada dipertahankan, selanjutnya secara bertahap direkrut dan dididik penyidik BNN yang organik.
Sarana dan prasarana penyidik BNN juga harus segera disediakan untuk menunjang proses penyidikan. Berbeda dengan Polri, secara prinsip lembaga Polri sudah siap dan dilengkapi berbagai fasilitas penyidikan mulai dari laboratorium forensik, alat penyadap, sarana investigasi, sampai dengan kamar tahanan. Sementara itu, untuk melaksanakan tugas dan wewenang penyidikan BNN, sampai saat ini infrastrukturnyapun belum ada yang dibangun. Paling cepat tahun 2011 baru dimulai pembangunannya. Sehingga mau tidak mau, BNN harus memperpanjang masa tugas Satgas Pencegahan dan Penindakan.
Selanjutnya terkait dengan mekanisme kerjasama antara penyidik BNN dan penyidik Polri atau dengan penyidik lainnya, sudah diatur dalam UU 35/2009 ini. Dalam melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan prekursor narkotika, penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia memberitahukan secara tertulis dimulainya penyidikan kepada penyidik BNN begitu pula sebaliknya. Sementara itu, dalam melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan Narkotika dan prekursor narkotika, penyidik pegawai negeri sipil tertentu berkoordinasi dengan penyidik BNN atau penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana.
Ketentuan tersebut mengisyaratkan bahwa langkah kerjasama untuk menghindarkan penyalahgunaan wewenang atau penyerobotan wewenang oleh salah satu pihak ke pihak yang lain, khususnya antara penyidik Polri dengan penyidik BNN. Sedangkan untuk penyidik pegawai negeri sipil, segala upaya penyidikan diarahkan untuk membantu dan menyerahkan hasilnya kepada penyidik Polri maupun penyidik BNN. Namun dalam pelaksanaannya nanti, pelaksanaan tugas dan wewenang penyidikan penyalahgunaan narkoba ini berpotensi menimbulkan persaingan diantara penyidik Polri dan penyidik BNN.
Tidak mengherankan hal tersebut dapat terjadi karena sebagaimana di sebutkan di atas, kejahatan narkoba memiliki nilai yang cukup strategis baik dalam rangka penitian karier atau terkait dengan tingginya nilai ekonomi penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. Oleh karena itu, harus dibuat mekanisme yang efektif dan efisien, sehingga persaingan yang tidak sehat dapat ditekan seminimal mungkin. Apabila memungkinkan, Direktorat IV Narkoba Bareskrim Polri digabungkan dengan BNN agar tidak ada kesan overlapping pelaksanaan tugas, meskipun dengan demikian harus mengamandemen peraturan perundangannya.
Gunarta
Gambar diperoleh dari : http://edwardmushalli.files.wordpress.com/2009/05/indonesia-merdeka-tanpa-narkoba_resize2.jpg
Oleh karena itu, BNN harus segera membentuk pasukan khusus (strike force) pencegahan dan penanggulangan kejahatan narkotika dan prekursor narkotika. Perekrutan dari awal mungkin tidak efektif karena harus melakukan pendidikan dan pelatihan yang memakan waktu cukup lama. Padahal kejahatan narkotika dan prekursor narkotika cenderung semakin meluas dan prevalensi penyalahgunaan narkotika cenderung meningkat. Akan lebih efektif apabila satuan tugas yang sudah ada dipertahankan, selanjutnya secara bertahap direkrut dan dididik penyidik BNN yang organik.
Sarana dan prasarana penyidik BNN juga harus segera disediakan untuk menunjang proses penyidikan. Berbeda dengan Polri, secara prinsip lembaga Polri sudah siap dan dilengkapi berbagai fasilitas penyidikan mulai dari laboratorium forensik, alat penyadap, sarana investigasi, sampai dengan kamar tahanan. Sementara itu, untuk melaksanakan tugas dan wewenang penyidikan BNN, sampai saat ini infrastrukturnyapun belum ada yang dibangun. Paling cepat tahun 2011 baru dimulai pembangunannya. Sehingga mau tidak mau, BNN harus memperpanjang masa tugas Satgas Pencegahan dan Penindakan.
Selanjutnya terkait dengan mekanisme kerjasama antara penyidik BNN dan penyidik Polri atau dengan penyidik lainnya, sudah diatur dalam UU 35/2009 ini. Dalam melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan prekursor narkotika, penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia memberitahukan secara tertulis dimulainya penyidikan kepada penyidik BNN begitu pula sebaliknya. Sementara itu, dalam melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan Narkotika dan prekursor narkotika, penyidik pegawai negeri sipil tertentu berkoordinasi dengan penyidik BNN atau penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana.
Ketentuan tersebut mengisyaratkan bahwa langkah kerjasama untuk menghindarkan penyalahgunaan wewenang atau penyerobotan wewenang oleh salah satu pihak ke pihak yang lain, khususnya antara penyidik Polri dengan penyidik BNN. Sedangkan untuk penyidik pegawai negeri sipil, segala upaya penyidikan diarahkan untuk membantu dan menyerahkan hasilnya kepada penyidik Polri maupun penyidik BNN. Namun dalam pelaksanaannya nanti, pelaksanaan tugas dan wewenang penyidikan penyalahgunaan narkoba ini berpotensi menimbulkan persaingan diantara penyidik Polri dan penyidik BNN.
Tidak mengherankan hal tersebut dapat terjadi karena sebagaimana di sebutkan di atas, kejahatan narkoba memiliki nilai yang cukup strategis baik dalam rangka penitian karier atau terkait dengan tingginya nilai ekonomi penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. Oleh karena itu, harus dibuat mekanisme yang efektif dan efisien, sehingga persaingan yang tidak sehat dapat ditekan seminimal mungkin. Apabila memungkinkan, Direktorat IV Narkoba Bareskrim Polri digabungkan dengan BNN agar tidak ada kesan overlapping pelaksanaan tugas, meskipun dengan demikian harus mengamandemen peraturan perundangannya.
Gunarta
Gambar diperoleh dari : http://edwardmushalli.files.wordpress.com/2009/05/indonesia-merdeka-tanpa-narkoba_resize2.jpg
Senin, 10 Mei 2010
KONSEKUENSI UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TERHADAP ORGANISASI BADAN NARKOTIKA NASIONAL
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhOCiFimB0vLr9bYV8jGksMMils7v5zkBoJce2BupV7bDPZyIhnfNImsgTXaMkSwRznTdrFdZDHVW7EKiPEXZ_pFGAip1mPCIbJphX1FlTFwtmZ_cGahAGWv8GfKOsBQwwFnJ6LXOGDSds/s320/anti_narkoba%5B1%5D.jpg)
Sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 34 tahun 2009 tentang Narkotika, organisasi Badan Nasional Narkotika diatur melalui Peraturan Presiden Nomor 83 tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Propinsi, dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota. Dengan lahirnya undang-undang tersebut, terdapat perbaikan atau penguatan yang cukup signifikan terhadap kelembagaan pencegahan dan penanggulangan narkoba ini. Jika semula hanya sebagai lembaga non-struktural yang bersifat koordinatif, maka undang-undang yang baru mengisyaratkan sebagai lembaga yang lebih operasional.
Juga, dengan undang-undang tersebut, permasalahan pembentukan BNN di Propinsi dan Kabupaten/Kota tidak lagi terkendala oleh Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang tidak mengatur pembentukan BNP/BNKab/Kota. Meskipun hal tersebut dapat diatasi dengan PP 41 tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, tetapi sampai dengan tahun 2009 akhir baru terbentuk 14 BNP. Ini berarti, proses pembentukannya sangat terkait dengan kondisi politik di daerah dan keterbatasan anggaran pemerintah daerah.
Pasal 64 menyebutkan bahwa dalam rangka pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika, dibentuk Badan Narkotika Nasional (BNN), sebagai lembaga pemerintah nonkementerian yang berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden. Selanjutnya berdasarkan pasal 65, BNN berkedudukan di ibukota negara dengan wilayah kerja meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia. BNN memiliki perwakilan di daerah provinsi dan kabupaten/kota yang secara organisatoris merupakan instansi vertikal.
BNN dipimpin oleh seorang kepala dan dibantu oleh seorang sekretaris utama dan beberapa deputi. Kepala BNN diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Apabila melihat persyaratan yang harus dipenuhi, maka Kepala BNN sepertinya harus dari unsur kepolisian, di mana dalam pasal 69 butir e disebutkan : “berpengalaman paling singkat 5 (lima) tahun dalam penegakan hukum dan paling singkat 2 (dua) tahun dalam pemberantasan Narkotika”. Kriteria seperti ini hanya dimiliki oleh anggota Polri yang secara hukum memang mendapat tugas melakukan penegakan hukum dan pemberantasan narkoba.
Dibandingkan dengan BNN berdasarkan Perpres 83 tahun 2007, tugas dan wewenang BNN lebih luas, tidak sekedar menjalankan fungsi sebagai lembaga pengkoordinasi. Dalam Perpres tersebut, tugas BNN membantu Presiden dalam : (a) mengkoordinasikan instansi pemerintah terkait dalam penyusunan kebijakan dan pelaksanaan kebijakan operasional di bidang ketersediaan dan pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika,prekursor dan bahan adiktif lainnya atau dapat disingkat dengan P4GN; dan (b) melaksanakan P4GN dengan membentuk satuan tugas yang terdiri atas unsur instansi pemerintah terkait sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangannya masing-masing.
Dalam melaksanakan tugas tersebut, BNN menyelenggarakan fungsi: (a) pengkoordinasian instansi pemerintah terkait dalam penyiapan dan penyusunan kebijakan di bidang ketersediaan
dan P4GN; (b) pengkoordinasian instansi pemerintah terkait dalam pelaksanaan kebijakan di bidang ketersediaan dan P4GN serta pemecahan permasalahan dalam pelaksanaan tugas; (c) pengkoordinasian instansi pemerintah terkait dalam kegiatan pengadaan, pengendalian, dan pengawasan di bidang narkotika, psikotropika, prekursor dan bahan adiktif lainnya; (d) pengoperasian satuan tugas yang terdiri atas unsure pemerintah terkait dalam P4GN sesuai dengan bidang tugas, fungsi dan kewenangan masing-masing; (e) pemutusan jaringan peredaran gelap narkotika, psikotropika, prekursor dan bahan adiktif lainnya melalui satuan tugas; (f) pelaksanaan kerja sama nasional, regional dan internasional dalam rangka penanggulangan masalah narkotika, psikotropika, prekursor dan bahan adiktif lainnya; (g) pembangunan dan pengembangan sistem informasi, pembinaan dan pengembangan terapi dan rehabilitasi serta laboratorium narkotika, psikotropika, prekursor dan bahan adiktif lainnya; dan (h) pengorganisasian BNP dan BNK/Kota berkaitan dengan pelaksanaan kebijakan di bidang P4GN.
Sedangkan Berdasar pasal 70 UU 35 tahun 2009, tugas BNN adalah : (a) menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; (b) mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; (c) berkoordinasi dengan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; (d) meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial pecandu Narkotika, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat; (e) memberdayakan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; (f) memantau, mengarahkan, dan meningkatkan kegiatan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; (g) melakukan kerja sama bilateral dan multilateral, baik regional maupun internasional, guna mencegah dan memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; (h) mengembangkan laboratorium Narkotika dan Prekursor Narkotika; (i) melaksanakan administrasi penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan (j) membuat laporan tahunan mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang.
Dalam melaksanakan tugas pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, BNN berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika. Kewenangan ini dilaksanakan oleh Penyidik BNN yang diangkat dan diberhentikan oleh Kepala BNN.
Konsekuesi dari ditetapkannya Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 adalah terbentuknya BNN Propinsi dan BNN Kabupaten/Kota yang jumlahnya cukup banyak. Jika instansi vertikal ini terbentuk semua, maka akan ada 33 BNN Propinsi dan 483 BNN Kabupaten/Kota. Menurut ketentuan peralihannya, dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak undang-undang ini diundangkan, struktur organisasi dan tata kerja Badan Narkotika Nasional yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 harus sudah disesuaikan dengan undang-undang ini. Langkah ini sudah diselesaikan dengan ditetapkannya Peraturan Presiden Nomor 23 tahun 2010 tentang Badan Narkotika Nasional. Selanjutnya, dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak undang-undang ini diundangkan, struktur organisasi dan tata kerja BNN provinsi dan BNN kabupaten/kota yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 harus sudah disesuaikan dengan undang-undang ini.
Nampaknya untuk ketentuan peralihan kedua sangat sulit dipenuhi mengingat keterbatasan keuangan negara. Menurut perhitungan sementara, anggaran yang dibutuhkan untuk membentuk dan mengoperasionalkan BNN dan seluruh instansi vertical BNN selama 5 tahun pertama minimal Rp. 11 trilyun. Padahal dalam RPJMN 2010 – 2014, secara indikatif negara hanya mampu membiayai operasional BNN sebesar Rp. 4,1 trilyun. Anggaran ini dialokasikan untuk kegiatan-kegiatan prioritas, termasuk pembentukan 14 BNN Propinsi dan 100 BNN Kabupaten/Kota.
Konsekuensi lain yang tidak kalah penting adalah terkait dengan sumber daya manusia dan asset yang dimiliki oleh BNP dan BNKab/Kota. Peraturan Presiden Nomor 23 tahun 2010 menyebutkan bahwa Pejabat dan Pegawai di lingkungan Pelaksana Harian BNN, BNP, dan BNK/Kota yang menjadi Pejabat dan Pegawai BNN berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan dapat memilih status tetap sebagai Pejabat dan Pegawai BNN atau kembali kepada instansi induknya. Untuk memilih status kepegawaian ini tentu sangat tidak mudah mengingat akan terjadi perbedaan kesejahteraan. Hal yang sangat mungkin, jika memilih menjadi pegawai tetap BNN kesejahteraannya justru menurun karena tunjangan pemerintah akan dicabut.
Selanjutnya terkait dengan asset BNN disebutkan bahwa seluruh aset negara yang dikelola dan digunakan oleh Pelaksana Harian BNN sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Provinsi, dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota, dalam jangka waktu 6 (enam) bulan beralih penggunaan dan pengelolaan kepada BNN setelah mendapat persetujuan dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang keuangan. Upaya penyelesaian asset ini juga akan memakan waktu yang cukup lama, mengingat tidak mudah baik proses maupun keikhlasan pemerintah daerah secara suka rela untuk menyerahkan assetnya.
Gunarta
Juga, dengan undang-undang tersebut, permasalahan pembentukan BNN di Propinsi dan Kabupaten/Kota tidak lagi terkendala oleh Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang tidak mengatur pembentukan BNP/BNKab/Kota. Meskipun hal tersebut dapat diatasi dengan PP 41 tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, tetapi sampai dengan tahun 2009 akhir baru terbentuk 14 BNP. Ini berarti, proses pembentukannya sangat terkait dengan kondisi politik di daerah dan keterbatasan anggaran pemerintah daerah.
Pasal 64 menyebutkan bahwa dalam rangka pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika, dibentuk Badan Narkotika Nasional (BNN), sebagai lembaga pemerintah nonkementerian yang berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden. Selanjutnya berdasarkan pasal 65, BNN berkedudukan di ibukota negara dengan wilayah kerja meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia. BNN memiliki perwakilan di daerah provinsi dan kabupaten/kota yang secara organisatoris merupakan instansi vertikal.
BNN dipimpin oleh seorang kepala dan dibantu oleh seorang sekretaris utama dan beberapa deputi. Kepala BNN diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Apabila melihat persyaratan yang harus dipenuhi, maka Kepala BNN sepertinya harus dari unsur kepolisian, di mana dalam pasal 69 butir e disebutkan : “berpengalaman paling singkat 5 (lima) tahun dalam penegakan hukum dan paling singkat 2 (dua) tahun dalam pemberantasan Narkotika”. Kriteria seperti ini hanya dimiliki oleh anggota Polri yang secara hukum memang mendapat tugas melakukan penegakan hukum dan pemberantasan narkoba.
Dibandingkan dengan BNN berdasarkan Perpres 83 tahun 2007, tugas dan wewenang BNN lebih luas, tidak sekedar menjalankan fungsi sebagai lembaga pengkoordinasi. Dalam Perpres tersebut, tugas BNN membantu Presiden dalam : (a) mengkoordinasikan instansi pemerintah terkait dalam penyusunan kebijakan dan pelaksanaan kebijakan operasional di bidang ketersediaan dan pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika,prekursor dan bahan adiktif lainnya atau dapat disingkat dengan P4GN; dan (b) melaksanakan P4GN dengan membentuk satuan tugas yang terdiri atas unsur instansi pemerintah terkait sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangannya masing-masing.
Dalam melaksanakan tugas tersebut, BNN menyelenggarakan fungsi: (a) pengkoordinasian instansi pemerintah terkait dalam penyiapan dan penyusunan kebijakan di bidang ketersediaan
dan P4GN; (b) pengkoordinasian instansi pemerintah terkait dalam pelaksanaan kebijakan di bidang ketersediaan dan P4GN serta pemecahan permasalahan dalam pelaksanaan tugas; (c) pengkoordinasian instansi pemerintah terkait dalam kegiatan pengadaan, pengendalian, dan pengawasan di bidang narkotika, psikotropika, prekursor dan bahan adiktif lainnya; (d) pengoperasian satuan tugas yang terdiri atas unsure pemerintah terkait dalam P4GN sesuai dengan bidang tugas, fungsi dan kewenangan masing-masing; (e) pemutusan jaringan peredaran gelap narkotika, psikotropika, prekursor dan bahan adiktif lainnya melalui satuan tugas; (f) pelaksanaan kerja sama nasional, regional dan internasional dalam rangka penanggulangan masalah narkotika, psikotropika, prekursor dan bahan adiktif lainnya; (g) pembangunan dan pengembangan sistem informasi, pembinaan dan pengembangan terapi dan rehabilitasi serta laboratorium narkotika, psikotropika, prekursor dan bahan adiktif lainnya; dan (h) pengorganisasian BNP dan BNK/Kota berkaitan dengan pelaksanaan kebijakan di bidang P4GN.
Sedangkan Berdasar pasal 70 UU 35 tahun 2009, tugas BNN adalah : (a) menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; (b) mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; (c) berkoordinasi dengan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; (d) meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial pecandu Narkotika, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat; (e) memberdayakan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; (f) memantau, mengarahkan, dan meningkatkan kegiatan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; (g) melakukan kerja sama bilateral dan multilateral, baik regional maupun internasional, guna mencegah dan memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; (h) mengembangkan laboratorium Narkotika dan Prekursor Narkotika; (i) melaksanakan administrasi penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan (j) membuat laporan tahunan mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang.
Dalam melaksanakan tugas pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, BNN berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika. Kewenangan ini dilaksanakan oleh Penyidik BNN yang diangkat dan diberhentikan oleh Kepala BNN.
Konsekuesi dari ditetapkannya Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 adalah terbentuknya BNN Propinsi dan BNN Kabupaten/Kota yang jumlahnya cukup banyak. Jika instansi vertikal ini terbentuk semua, maka akan ada 33 BNN Propinsi dan 483 BNN Kabupaten/Kota. Menurut ketentuan peralihannya, dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak undang-undang ini diundangkan, struktur organisasi dan tata kerja Badan Narkotika Nasional yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 harus sudah disesuaikan dengan undang-undang ini. Langkah ini sudah diselesaikan dengan ditetapkannya Peraturan Presiden Nomor 23 tahun 2010 tentang Badan Narkotika Nasional. Selanjutnya, dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak undang-undang ini diundangkan, struktur organisasi dan tata kerja BNN provinsi dan BNN kabupaten/kota yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 harus sudah disesuaikan dengan undang-undang ini.
Nampaknya untuk ketentuan peralihan kedua sangat sulit dipenuhi mengingat keterbatasan keuangan negara. Menurut perhitungan sementara, anggaran yang dibutuhkan untuk membentuk dan mengoperasionalkan BNN dan seluruh instansi vertical BNN selama 5 tahun pertama minimal Rp. 11 trilyun. Padahal dalam RPJMN 2010 – 2014, secara indikatif negara hanya mampu membiayai operasional BNN sebesar Rp. 4,1 trilyun. Anggaran ini dialokasikan untuk kegiatan-kegiatan prioritas, termasuk pembentukan 14 BNN Propinsi dan 100 BNN Kabupaten/Kota.
Konsekuensi lain yang tidak kalah penting adalah terkait dengan sumber daya manusia dan asset yang dimiliki oleh BNP dan BNKab/Kota. Peraturan Presiden Nomor 23 tahun 2010 menyebutkan bahwa Pejabat dan Pegawai di lingkungan Pelaksana Harian BNN, BNP, dan BNK/Kota yang menjadi Pejabat dan Pegawai BNN berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan dapat memilih status tetap sebagai Pejabat dan Pegawai BNN atau kembali kepada instansi induknya. Untuk memilih status kepegawaian ini tentu sangat tidak mudah mengingat akan terjadi perbedaan kesejahteraan. Hal yang sangat mungkin, jika memilih menjadi pegawai tetap BNN kesejahteraannya justru menurun karena tunjangan pemerintah akan dicabut.
Selanjutnya terkait dengan asset BNN disebutkan bahwa seluruh aset negara yang dikelola dan digunakan oleh Pelaksana Harian BNN sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Provinsi, dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota, dalam jangka waktu 6 (enam) bulan beralih penggunaan dan pengelolaan kepada BNN setelah mendapat persetujuan dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang keuangan. Upaya penyelesaian asset ini juga akan memakan waktu yang cukup lama, mengingat tidak mudah baik proses maupun keikhlasan pemerintah daerah secara suka rela untuk menyerahkan assetnya.
Gunarta
gambar diambil dari : http://www.kabarindo.com/?act=dnews&no=4470
Jumat, 07 Mei 2010
ANCAMAN KEAMANAN DAN KESELAMATAN PENUMPANG KERETA COMMUTER JABODETABEK
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEieTUqWzFwE82cugcALP0SAGnoGnvxTheiCVYJAZkxF5CVUutK1Isr8wlB4iztfVdxE0liQZYDvDoO4OoeLfyCzCOmLCvJME5hSruuOEw4zRIb2-n-ZqYdLCARzF56QSuvCfDSXviBU4oc/s320/3833752810_279c28b268%5B1%5D.jpg)
Tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan kereta listrik Commuter Jabodetabek sangat dibutuhkan, terutama masyarakat wilayah pinggiran Ibu Kota Jakarta. Kedatangannya selalu dinanti jutaan masyarakat yang tinggal di pinggiran Ibu Kota Jakarta. Mutu pelayanan yang dirasakan masih sangat rendah, tidak menyurutkan keinginan masyarakat untuk terus menggunakan jasa kereta api, karena dari sisi waktu pencapaian lebih cepat dan lebih aman dibandingkan dengan moda transportasi yang lain yang rawan macet dan rawan kecelakaan.
Selain menjadi solusi transportasi, keberadaan kereta api memberikan efek pengganda yang cukup besar bagi perekonomian local, baik secara formal maupun informal. Mulai dari angkutan kota pengumpan dan penjemput (feederer), penitipan kendaraan, penjaja koran, penjaja makanan dan minuman, pernik-pernik, asesoris, pemondokan, perumahan, sampai dengan pusat-pusat bisnis, sangat terkait dengan aktivitas perkeretaapian ini. Tidak mengherankan juga apabila perkeretaapian memunculkan sederetan aktivitas kriminal seperti peredaran narkoba, pencopetan, pemukiman liar, pemalakan, atau pelecehan seksual yang mengganggu keamanan dan keselamatan penumpang.
Aliran manusia yang menggunakan jasa kereta api yang mencapai puncak pada pagi hari dan sore hari, merupakan pemandangan yang terlihat sehari-hari. Keterbatasan rangkaian kereta api membuat masyarakat tidak mempermasalahkan padatnya penumpang. Kenyamanan menjadi barang mahal dan pilihan bagi penumpang yang tidak ingin bersusah-payah berdesak-desakan di dalam kereta. Bila ingin nyaman, harus naik kereta ekspress yang sejuk dan relatif cepat sampai tujuan, tetapi harus membayar mahal. Bila ingin agak nyaman, naik kereta ekonomi AC, meskipun lebih sering diganti kipas angin. Pilihan terakhir yang relatif kurang aman dan nyaman, tetapi murah, bisa naik kereta ekonomi baik di dalam gerbong maupun di atas gerbong. Sedikit (sangat) berbahaya, tetapi sesuai dengan harga yang dibayar.
Meski relatif aman, pilihan menggunakan moda kereta api tetap saja mengandung resiko, di mana besanya resiko berbeda-beda tergantung kelas kereta. Resiko terkena tindak criminal dimulai ketika penumpang masuk gerbong. Keinginan untuk mendapatkan posisi dan tempat duduk, menyebabkan para penumpang saling dorong memasuki gerbong. Resiko jatuh, terinjak-injak oleh penumpang lain, atau kecopetan bisa saja terjadi jika tidak hati-hati.
Selanjutnya ketika berada di dalam kereta, kepadatan penumpang akan mendorong tindak kriminal pencopetan dan pelecehan seksual. Kecopetan bisa terjadi ketika penumpang lengah dan tidak dengan baik menjaga barang miliknya. Sementara itu tindak pelecehan seksual dapat menimpa para perempuan yang tampil “menarik”. Kondisi yang berdesak-desakan, memberikan kesempatan pada laki-laki maniak (cenderung sakit jiwa daripada kriminal) untuk sekedar menggesek-gesekkan alat vitalnya atau bahkan melakukan masturbasi ke bagian belakang tubuh wanita (maaf : pantat). Kejadian ini sering terjadi digerbong-gerbong yang relatif gelap dan padat penumpang.
Hal yang tidak kalah menyeramkan adalah tindak kriminal aksi pelemparan batu oleh orang-orang yang sekedar iseng atau orang yang mengalami gangguan kejiwaan. Selain menimbulkan kerusakan pada kaca gerbong kereta, aksi pelemparan seringkali menimbulkan korban luka-luka para masinis dan penumpang.
Menurut catatan DAOP 3 Cirebion, data kerugian materil akibat pelemparan batu pada tahun 2008 sebanyak 497 kaca pecah dan membutuhkan biaya sebesar 278 juta rupiah untuk penggantian kaca, belum termasuk 3 penumpang dan 1 orang masinis luka-luka http://argojati.wordpress.com/. Selain menyebabkan petugas dan penumpang terluka, aksi pelemparan seringkali juga menyeabkan keterlambatan kereta karena harus mengevakuasi para korban dan memperbaiki serta mengecek tingkat kerusakan agar tidak membahayakan perjalanan kereta api selanjutnya.
Pada tahun 2005, Masinis Zaenal Abidin, harus kehilangan matanya karena dilempari batu oleh anak sekolah saat kereta api yang dikemudikannya melintas di daerah Kebayoran Baru. Zaenal Abidin saat ini menjadi pelayan di Griya Karya PT. KA karena sudah cacad. Selanjutnya pada September 2008, Sutarya (53 tahun) asisten masinis Kereta Bengawan harus operasi mata karena aksi pelemparan batu di lintasan Stasiun Kranji Bekasi.
Masih banyak lagi cerita-cerita pilu akibat ulah orang yang sekedar iseng atau orang sakit jiwa melempari kereta. Berdasarkan penglihatan dan pengamatan sehari-hari penulis, untuk lintasan Jakarta – Depok – Bogor, aksi pelemparan sering terjadi antara ruas Stasiun Manggarai – Tebet – Cawang – Kalibata – Pasar Minggu Baru - Stasiun Pasar Minggu – Tanjung Barat. Sesekali terjadi di ruas Stasiun Universitas Pancasila – Universitas Indonesia; Pondok Cina – Depok Baru; dan Depok Lama – Citayam. Ruas-ruas ini relatif merupakan permukiman padat, tetapi banyak kebon-kebon kosong yang merupakan tempat aman untuk melakukan pelemparan.
Atas berbagai ancaman keamanan dan keselamatan perkeretaapin tersebut, PT. KA, khususnya PT. KAI Commuter sebagai pengelola kereta listrik Jabodetabek perlu melakukan tindakan nyata untuk mencegah semakin banyaknya kerugian dan korban yang jatuh. Kenyamanan penumpang tidak hanya dengan menambah jadwal atau memperbanyak jumlah gerbong-gerbong AC (profit oriented). Keselamatan para penumpang sebagai sumber pendapatan utama kereta api harus semakin diperhatikan. Nilai strategis kereta api yang monopolistik tidak boleh menganut “take it or leaved”, mentang-mentang dibutuhkan, tidak ada saingan, lalu mendendangkan lagu “hitam-hitam si kereta api, walau hitam banyak yang mencari”. Artinya, pihak kereta api harus meningkatkan kualitas pelayanan yang selama ini terkesan tidak prima.
Secara internal, PT. KA harus menyediakan tenaga-tenaga pengamanan (Satpam) yang mampu bertindak tegas dan tidak mengumbar toleransi. Masih banyaknya penumpang liar yang tidak hanya di kereta ekonomi, tetapi juga kereta eksekutif menunjukkan pengawasan lalu lintas penumpang masih belum optimal. Saat ini memang sudah ada outsourcing security, tetapi berdasarkan pengamatan penulis, dalam menjalankan tugasnya masih kurang tegas dan memberikan toleransi kepada penumpang/penumpang liar untuk melakukan pelanggaran seperti tidak beli karcis, merokok tidak pada tempatnya, atau membiarkan para pengasong berseliweran di peron atau di dalam rangkaian kereta api.
Sebagai bentuk peningkatan pelayanan prima, PT. KA harus memberikan kenyamanan para penumpang, terutama di ruang tunggu atau peron. Oleh karena itu, peron harus disterilkan dari pedagang, pengemis, gelandangan, atau pengamen yang seringkali menyerobot hak penumpang untuk duduk, membuang sampah sembarangan, dan berperilaku jorok. PT. KA secara periodik telah melakukan upaya pembersihan lingkungan stasiun kereta, khususnya di area peron. Tetapi upaya tersebut tampaknya sifatnya tidak rutin dan tidak memberikan hasil yang permanen. Ketika operasi sterilisasi peron dari pedagang, pengemis, gelandangan, atau pengamen dilakukan, paling hanya bertahan beberapa hari. Hari-hari berikutnya, pedagang, pengemis, gelandangan, atau pengamen sudah bebas berdagang dan berseliweran di peron stasiun. Langkah yang terkesan sia-sia.
Terakhir, secara eksternal pihak PT. KA harus melakukan pendekatan kepada masyarakat yang berada dan bermukim di sekitar jalur rel kereta api, agar mereka tidak mengganggu aktivitas kereta. Langkah ini diperlukan untuk meningkatkan pelayanan keamanan dan kenyamanan berkendara kereta api. Peralatan keselamatan dan keamanan gerbong harus selalu diperhatikan. Kerusakan segera diganti, terutama kaca-kaca yang pecah. Untuk menghidari aksi pelemparan, PT. KA perlu melakukan kerjasama dengan aparat kepolisian untuk menempatkan polisi di ruas-ruas yang rawan aksi pelemparan. Selanjutnya untuk menggugah kesadaran para pelaku pelemparan, ruas-ruas yang rawan perlu di pasang papan himbauan tentang dampak aksi pelemparan. Jika perlu dipasang gambar Pak Zaenal Abidin atau Pak Sutarya, agar sisi kemanusiaannya terusik dan tidak mengulangi perbuatannya.
Gunarta
Selain menjadi solusi transportasi, keberadaan kereta api memberikan efek pengganda yang cukup besar bagi perekonomian local, baik secara formal maupun informal. Mulai dari angkutan kota pengumpan dan penjemput (feederer), penitipan kendaraan, penjaja koran, penjaja makanan dan minuman, pernik-pernik, asesoris, pemondokan, perumahan, sampai dengan pusat-pusat bisnis, sangat terkait dengan aktivitas perkeretaapian ini. Tidak mengherankan juga apabila perkeretaapian memunculkan sederetan aktivitas kriminal seperti peredaran narkoba, pencopetan, pemukiman liar, pemalakan, atau pelecehan seksual yang mengganggu keamanan dan keselamatan penumpang.
Aliran manusia yang menggunakan jasa kereta api yang mencapai puncak pada pagi hari dan sore hari, merupakan pemandangan yang terlihat sehari-hari. Keterbatasan rangkaian kereta api membuat masyarakat tidak mempermasalahkan padatnya penumpang. Kenyamanan menjadi barang mahal dan pilihan bagi penumpang yang tidak ingin bersusah-payah berdesak-desakan di dalam kereta. Bila ingin nyaman, harus naik kereta ekspress yang sejuk dan relatif cepat sampai tujuan, tetapi harus membayar mahal. Bila ingin agak nyaman, naik kereta ekonomi AC, meskipun lebih sering diganti kipas angin. Pilihan terakhir yang relatif kurang aman dan nyaman, tetapi murah, bisa naik kereta ekonomi baik di dalam gerbong maupun di atas gerbong. Sedikit (sangat) berbahaya, tetapi sesuai dengan harga yang dibayar.
Meski relatif aman, pilihan menggunakan moda kereta api tetap saja mengandung resiko, di mana besanya resiko berbeda-beda tergantung kelas kereta. Resiko terkena tindak criminal dimulai ketika penumpang masuk gerbong. Keinginan untuk mendapatkan posisi dan tempat duduk, menyebabkan para penumpang saling dorong memasuki gerbong. Resiko jatuh, terinjak-injak oleh penumpang lain, atau kecopetan bisa saja terjadi jika tidak hati-hati.
Selanjutnya ketika berada di dalam kereta, kepadatan penumpang akan mendorong tindak kriminal pencopetan dan pelecehan seksual. Kecopetan bisa terjadi ketika penumpang lengah dan tidak dengan baik menjaga barang miliknya. Sementara itu tindak pelecehan seksual dapat menimpa para perempuan yang tampil “menarik”. Kondisi yang berdesak-desakan, memberikan kesempatan pada laki-laki maniak (cenderung sakit jiwa daripada kriminal) untuk sekedar menggesek-gesekkan alat vitalnya atau bahkan melakukan masturbasi ke bagian belakang tubuh wanita (maaf : pantat). Kejadian ini sering terjadi digerbong-gerbong yang relatif gelap dan padat penumpang.
Hal yang tidak kalah menyeramkan adalah tindak kriminal aksi pelemparan batu oleh orang-orang yang sekedar iseng atau orang yang mengalami gangguan kejiwaan. Selain menimbulkan kerusakan pada kaca gerbong kereta, aksi pelemparan seringkali menimbulkan korban luka-luka para masinis dan penumpang.
Menurut catatan DAOP 3 Cirebion, data kerugian materil akibat pelemparan batu pada tahun 2008 sebanyak 497 kaca pecah dan membutuhkan biaya sebesar 278 juta rupiah untuk penggantian kaca, belum termasuk 3 penumpang dan 1 orang masinis luka-luka http://argojati.wordpress.com/. Selain menyebabkan petugas dan penumpang terluka, aksi pelemparan seringkali juga menyeabkan keterlambatan kereta karena harus mengevakuasi para korban dan memperbaiki serta mengecek tingkat kerusakan agar tidak membahayakan perjalanan kereta api selanjutnya.
Pada tahun 2005, Masinis Zaenal Abidin, harus kehilangan matanya karena dilempari batu oleh anak sekolah saat kereta api yang dikemudikannya melintas di daerah Kebayoran Baru. Zaenal Abidin saat ini menjadi pelayan di Griya Karya PT. KA karena sudah cacad. Selanjutnya pada September 2008, Sutarya (53 tahun) asisten masinis Kereta Bengawan harus operasi mata karena aksi pelemparan batu di lintasan Stasiun Kranji Bekasi.
Masih banyak lagi cerita-cerita pilu akibat ulah orang yang sekedar iseng atau orang sakit jiwa melempari kereta. Berdasarkan penglihatan dan pengamatan sehari-hari penulis, untuk lintasan Jakarta – Depok – Bogor, aksi pelemparan sering terjadi antara ruas Stasiun Manggarai – Tebet – Cawang – Kalibata – Pasar Minggu Baru - Stasiun Pasar Minggu – Tanjung Barat. Sesekali terjadi di ruas Stasiun Universitas Pancasila – Universitas Indonesia; Pondok Cina – Depok Baru; dan Depok Lama – Citayam. Ruas-ruas ini relatif merupakan permukiman padat, tetapi banyak kebon-kebon kosong yang merupakan tempat aman untuk melakukan pelemparan.
Atas berbagai ancaman keamanan dan keselamatan perkeretaapin tersebut, PT. KA, khususnya PT. KAI Commuter sebagai pengelola kereta listrik Jabodetabek perlu melakukan tindakan nyata untuk mencegah semakin banyaknya kerugian dan korban yang jatuh. Kenyamanan penumpang tidak hanya dengan menambah jadwal atau memperbanyak jumlah gerbong-gerbong AC (profit oriented). Keselamatan para penumpang sebagai sumber pendapatan utama kereta api harus semakin diperhatikan. Nilai strategis kereta api yang monopolistik tidak boleh menganut “take it or leaved”, mentang-mentang dibutuhkan, tidak ada saingan, lalu mendendangkan lagu “hitam-hitam si kereta api, walau hitam banyak yang mencari”. Artinya, pihak kereta api harus meningkatkan kualitas pelayanan yang selama ini terkesan tidak prima.
Secara internal, PT. KA harus menyediakan tenaga-tenaga pengamanan (Satpam) yang mampu bertindak tegas dan tidak mengumbar toleransi. Masih banyaknya penumpang liar yang tidak hanya di kereta ekonomi, tetapi juga kereta eksekutif menunjukkan pengawasan lalu lintas penumpang masih belum optimal. Saat ini memang sudah ada outsourcing security, tetapi berdasarkan pengamatan penulis, dalam menjalankan tugasnya masih kurang tegas dan memberikan toleransi kepada penumpang/penumpang liar untuk melakukan pelanggaran seperti tidak beli karcis, merokok tidak pada tempatnya, atau membiarkan para pengasong berseliweran di peron atau di dalam rangkaian kereta api.
Sebagai bentuk peningkatan pelayanan prima, PT. KA harus memberikan kenyamanan para penumpang, terutama di ruang tunggu atau peron. Oleh karena itu, peron harus disterilkan dari pedagang, pengemis, gelandangan, atau pengamen yang seringkali menyerobot hak penumpang untuk duduk, membuang sampah sembarangan, dan berperilaku jorok. PT. KA secara periodik telah melakukan upaya pembersihan lingkungan stasiun kereta, khususnya di area peron. Tetapi upaya tersebut tampaknya sifatnya tidak rutin dan tidak memberikan hasil yang permanen. Ketika operasi sterilisasi peron dari pedagang, pengemis, gelandangan, atau pengamen dilakukan, paling hanya bertahan beberapa hari. Hari-hari berikutnya, pedagang, pengemis, gelandangan, atau pengamen sudah bebas berdagang dan berseliweran di peron stasiun. Langkah yang terkesan sia-sia.
Terakhir, secara eksternal pihak PT. KA harus melakukan pendekatan kepada masyarakat yang berada dan bermukim di sekitar jalur rel kereta api, agar mereka tidak mengganggu aktivitas kereta. Langkah ini diperlukan untuk meningkatkan pelayanan keamanan dan kenyamanan berkendara kereta api. Peralatan keselamatan dan keamanan gerbong harus selalu diperhatikan. Kerusakan segera diganti, terutama kaca-kaca yang pecah. Untuk menghidari aksi pelemparan, PT. KA perlu melakukan kerjasama dengan aparat kepolisian untuk menempatkan polisi di ruas-ruas yang rawan aksi pelemparan. Selanjutnya untuk menggugah kesadaran para pelaku pelemparan, ruas-ruas yang rawan perlu di pasang papan himbauan tentang dampak aksi pelemparan. Jika perlu dipasang gambar Pak Zaenal Abidin atau Pak Sutarya, agar sisi kemanusiaannya terusik dan tidak mengulangi perbuatannya.
Gunarta
Gambar diambil dari : http://www.semboyan35.com/archive/index.php/thread-1816-5.html
Rabu, 05 Mei 2010
PENGGUNA NARKOTIKA TIDAK LAGI DIHUKUM, TETAPI WAJIB MELAKSANAKAN REHABILITASI
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg17crnmwQpa2XE9NUbrmC4lQCr6bpjsPbGTZ7opjM9rBG8qCspc2d-sgETGKzeX8GJUd6K4pTkcpYlLwxte2sKHx7FOn3pP5iFkaM6Yk9z6okVIRTpvZ31vTWj0-uCrpSjNrw04gUTwUs/s200/ipnu-nalumsari-damai-anti-narkoba%5B1%5D.jpg)
Pada tanggal 12 Oktober 2009, pemerintah menetapkan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Undang-Undang ini merupakan pengganti dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang untuk menanggulangi dan memberantas tindak pidana nakotika. Realitasnya kondisi saat ini tindak pidana Narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan sudah banyak menimbulkan korban, terutama di kalangan generasi muda bangsa yang sangat membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.
Undang-Undang baru ini memberikan perlakukan yang berbeda bagi pelaku penyalahgunaan narkoba. Sebelum undang-undang ini berlaku, tidak ada perbedaan perlakuan antara pengguna pengedar, bandar, maupun produsen narkoba, sama-sama dipenjara baik di Lapas umum maupun Lapas khusus narkoba. Kita masih ingat beberapa figure masyarakat dan artis terkenal dipenjara karena menggunakan narkoba, bahkan ada yang sampai 2 kali menjalani hukuman karena sudah kecanduan. Perlakuan yang tidak berbeda didasari pada hasil penyelidikan dan penyidikan bahwa antara pengguna pengedar narkoba, bandar, maupun produsen seringkali saling terkait erat dan sulit dibedakan. Artinya seorang pengguna pada akhirnya akan terjebak dalam lingkaran mafia narkoba ketika sudah tidak memiliki dana untuk memenuhi kecanduannya.
Pengguna atau pecandu sebenarnya bukan pelaku penyalahgunaan narkoba, lebih tepatnya adalah korban dari sindikat narkoba. Oleh karena itu, para pengguna atau pecandu lebih tepat disembuhkan melalui rehabilitasi. Pasal-pasal terkait dengan kewajiban melakukan rehabilitasi yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 adalah sebagaimana ditampilkan dalam uraian berikut ini.
Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial (pasal 54). Rehabilitasi Medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan Narkotika (pasal 1 no 16). Sedangkan rehabilitasi Sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu Narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat (pasal 1 nomor 17).
Orang tua atau wali dari Pecandu Narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial (pasal 55 (1)). Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial (pasal 55 (2)).
Rehabilitasi medis Pecandu Narkotika dilakukan di rumah sakit yang ditunjuk oleh Menteri (pasal 56 (1)). Lembaga rehabilitasi tertentu yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat dapat melakukan rehabilitasi medis Pecandu Narkotika setelah mendapat persetujuan Menteri (pasal 56 (2)). Selain melalui pengobatan dan/atau rehabilitasi medis, penyembuhan Pecandu Narkotika dapat diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat melalui pendekatan keagamaan dan tradisional (pasal 57). Rehabilitasi sosial mantan Pecandu Narkotika diselenggarakan baik oleh instansi pemerintah maupun oleh masyarakat (pasal 58).
Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat: (a) memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika; atau (b) menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika (pasal 103 (1)). Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi Pecandu Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman (pasal 103 (2)).
Setiap Penyalah Guna: (a) Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun; (b) b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan (c) Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun (pasal 127 (1)). Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103 (pasal 127 (2)). Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial (pasal 127 (2)).
Orang tua atau wali dari pecandu yang belum cukup umur, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) yang sengaja tidak melapor, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) (Pasal 128 (1)). Pecandu Narkotika yang belum cukup umur dan telah dilaporkan oleh orang tua atau walinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) tidak dituntut pidana (Pasal 128 (2)). Pecandu Narkotika yang telah cukup umur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) yang sedang menjalani rehabilitasi medis 2 (dua) kali masa perawatan dokter di rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis yang ditunjuk oleh pemerintah tidak dituntut pidana (Pasal 128 (3)). Rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus memenuhi standar kesehatan yang ditetapkan oleh Menteri (Pasal 128 (4)).
Dari beberapa pasal tersebut, paling tidak masyarakat dapat memetik tiga keuntungan dengan diberlakukannya Undang-Undang ini. Pertama, masyarakat tidak perlu lagi takut mendapatkan aib akan perilaku keluarganya yang menjadi korban penyalahgunaan narkoba. Statusnya yang bukan sebagai narapidana, akan memberikan sugesti bagi keluarga layaknya melakukan perawatan bagi keluarganya yang sakit.
Kedua, keluarga korban tidak lagi khawatir lagi akan terjadinya peningkatan status dari korban menjadi pelaku penyalahgunaan narkoba. Sangat mungkin korban narkoba yang sedang menjalani hukuman, bukannya menjadi sadar, tetapi menjadi lebih “ahli” yang dikemudian hari justru menjadi pelaku. Ketiga, melalui lembaga Terapi dan Rehabilitasi, pemerintah akan membantu upaya penyembuhan dengan pembiayaan ditanggung oleh pemerintah. Ini akan sangat membantu bagi keluarga korban narkoba, karena kalau dilakukan secara mandiri membutuhkan pembiayaan yang cukup besar.
Gunarta
Undang-Undang baru ini memberikan perlakukan yang berbeda bagi pelaku penyalahgunaan narkoba. Sebelum undang-undang ini berlaku, tidak ada perbedaan perlakuan antara pengguna pengedar, bandar, maupun produsen narkoba, sama-sama dipenjara baik di Lapas umum maupun Lapas khusus narkoba. Kita masih ingat beberapa figure masyarakat dan artis terkenal dipenjara karena menggunakan narkoba, bahkan ada yang sampai 2 kali menjalani hukuman karena sudah kecanduan. Perlakuan yang tidak berbeda didasari pada hasil penyelidikan dan penyidikan bahwa antara pengguna pengedar narkoba, bandar, maupun produsen seringkali saling terkait erat dan sulit dibedakan. Artinya seorang pengguna pada akhirnya akan terjebak dalam lingkaran mafia narkoba ketika sudah tidak memiliki dana untuk memenuhi kecanduannya.
Pengguna atau pecandu sebenarnya bukan pelaku penyalahgunaan narkoba, lebih tepatnya adalah korban dari sindikat narkoba. Oleh karena itu, para pengguna atau pecandu lebih tepat disembuhkan melalui rehabilitasi. Pasal-pasal terkait dengan kewajiban melakukan rehabilitasi yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 adalah sebagaimana ditampilkan dalam uraian berikut ini.
Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial (pasal 54). Rehabilitasi Medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan Narkotika (pasal 1 no 16). Sedangkan rehabilitasi Sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu Narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat (pasal 1 nomor 17).
Orang tua atau wali dari Pecandu Narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial (pasal 55 (1)). Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial (pasal 55 (2)).
Rehabilitasi medis Pecandu Narkotika dilakukan di rumah sakit yang ditunjuk oleh Menteri (pasal 56 (1)). Lembaga rehabilitasi tertentu yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat dapat melakukan rehabilitasi medis Pecandu Narkotika setelah mendapat persetujuan Menteri (pasal 56 (2)). Selain melalui pengobatan dan/atau rehabilitasi medis, penyembuhan Pecandu Narkotika dapat diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat melalui pendekatan keagamaan dan tradisional (pasal 57). Rehabilitasi sosial mantan Pecandu Narkotika diselenggarakan baik oleh instansi pemerintah maupun oleh masyarakat (pasal 58).
Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat: (a) memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika; atau (b) menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika (pasal 103 (1)). Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi Pecandu Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman (pasal 103 (2)).
Setiap Penyalah Guna: (a) Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun; (b) b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan (c) Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun (pasal 127 (1)). Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103 (pasal 127 (2)). Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial (pasal 127 (2)).
Orang tua atau wali dari pecandu yang belum cukup umur, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) yang sengaja tidak melapor, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) (Pasal 128 (1)). Pecandu Narkotika yang belum cukup umur dan telah dilaporkan oleh orang tua atau walinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) tidak dituntut pidana (Pasal 128 (2)). Pecandu Narkotika yang telah cukup umur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) yang sedang menjalani rehabilitasi medis 2 (dua) kali masa perawatan dokter di rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis yang ditunjuk oleh pemerintah tidak dituntut pidana (Pasal 128 (3)). Rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus memenuhi standar kesehatan yang ditetapkan oleh Menteri (Pasal 128 (4)).
Dari beberapa pasal tersebut, paling tidak masyarakat dapat memetik tiga keuntungan dengan diberlakukannya Undang-Undang ini. Pertama, masyarakat tidak perlu lagi takut mendapatkan aib akan perilaku keluarganya yang menjadi korban penyalahgunaan narkoba. Statusnya yang bukan sebagai narapidana, akan memberikan sugesti bagi keluarga layaknya melakukan perawatan bagi keluarganya yang sakit.
Kedua, keluarga korban tidak lagi khawatir lagi akan terjadinya peningkatan status dari korban menjadi pelaku penyalahgunaan narkoba. Sangat mungkin korban narkoba yang sedang menjalani hukuman, bukannya menjadi sadar, tetapi menjadi lebih “ahli” yang dikemudian hari justru menjadi pelaku. Ketiga, melalui lembaga Terapi dan Rehabilitasi, pemerintah akan membantu upaya penyembuhan dengan pembiayaan ditanggung oleh pemerintah. Ini akan sangat membantu bagi keluarga korban narkoba, karena kalau dilakukan secara mandiri membutuhkan pembiayaan yang cukup besar.
Gunarta
gambar diambil dari : www.stefanusmanja.wordpress.com
Langganan:
Postingan (Atom)