Rasio Polisi adalah jumlah polisi dibandingkan dengan jumlah penduduk suatu wilayah atau negara. Menurut PBB Rasio Polisi yang ideal adalah 1 : 400. Besar kecilnya Rasio Polisi menentukan efektivitas pelayanan kepolisian kepada masyarakat. Logikanya semakin kecil Rasio Polisi, semakin efektif pelayanan kepolisian kepada masyarakat. Sebaliknya semakin besar Rasio Polisi akan menyebabkan pengaduan masyarakat tidak tertangani dengan baik, penyidikan berlarut-larut, intensitas patroli rendah, atau kehadiran polisi di tempat kejadian perkara (quick response) tidak tepat waktu.
Rasio Polisi tidak dapat dijadikan ukuran keberhasilan dalam menekan kriminalitas. Studi yang dilakukan oleh Lotfin and McDowall, 1982; Krahn and Kennedy, 1985; Koenig, 1991; Laurie, 1970; Gurr, 1979; Emsley, 1983; Silberman, 1978; Reiner, 1985; Lane, 1980; dan Walker, 1989 (dalam Bayley, 1994) menunjukkan bahwa analisa yang dilakukan berulang kali tidak menemukan hubungan antara jumlah personil kepolisian dengan angka kejahatan. Hal ini berarti bahwa semakin besar jumlah personil polisi tidak selalu menekan angka kejahatan. Karena pada dasarnya tindak kejahatan dapat terjadi karena ada kemauan dan kesempatan yang didukung oleh adanya gab kondisi sosial ekonomi suatu masyarakat.
Data dari Bureau of Justice Statistics 1987 (dalam Bayley, 1994), menyebutkan bahwa kota-kota Amerika Serikat yang berpenduduk lebih dari satu juta jiwa memiliki rasio polisi tertinggi (320 per 100.000), tetapi memiliki angka kejahatan serius tertinggi. Di antara kota-kota yang berpenduduk lebih dari satu juta jiwa, Dallas memiliki angka kejahatan tertinggi (16.282 per 100.000) dan yang terendah adalah Kansas City, Missouri (3.789 per 100.000), tetapi kedua kota tersebut memiliki jumlah personil polisi perkapita yang hampir sama yaitu 2,3 per 1000 di Dallas dan 2,4 per 1000 di Kansas City.
Semenjak dipisahkannya Polri dari TNI pada tahun 2000, Rasio Polisi Indonesia semakin membaik (mengecil). Jika pada akhir Program Pembangunan Nasional (Propenas) 2000 – 2004 Rasio Polisi mencapai 1 : 750, maka sampai dengan akhir tahun 2008 Polisi Rasio telah mencapai 1 : 578. Diharapkan pada akhir tahun 2009, sasaran Rasio Polisi 1 : 500 dapat tercapai. Sayangnya, Rasio Polisi tersebut dibentuk berdasarkan pada jumlah total anggota polisi, bukan pada berapa banyak anggota polisi lapangan (operasional) yang berinteraksi langsung dengan masyarakat, yaitu pada level Bintara.
Di lembaga kepolisian, kejahatan dikelompokkan dalam 4 jenis kejahatan yaitu kejahatan konvensional, kejahatan transnasional, kejahatan terhadap kekayaan negara, dan kejahatan berimplikasi kontijensi. Dalam kurun waktu 2005 – 2008, semua jenis kejahatan cenderung meningkat dengan indeks kriminalitas secara berturut-turut 110 pada tahun 2005; 104 pada tahun 2006; 140,89 pada tahun 2007; dan 128,81 pada tahun 2008. Senada dengan berbagai hasil studi, meningkatnya Rasio Polisi Indonesia ternyata tidak menurunkan angka kriminalitas.
Dalam hal penyelesaian perkara (clearing rate), khususnya kejahatan konvensional cenderung stagnan pada kisaran 50 persen. Padahal seharusnya dengan semakin menurunnya Rasio Polisi kinerja penyelesaian perkara akan meningkat. Sementara itu, untuk 3 jenis kejahatan lainnya, kinerja penyelesaian perkara relatif cukup baik, bahkan mendekati ke angka 100 persen. Hal ini cukup logis jika ditinjau dengan volume dan bobot suatu kasus.
Kasus-kasus kejahatan konvensional seperti pencurian, penipuan, penjambretan, perampasan, pemerkosaan, sampai dengan pembunuhan yang dianggap sebagai pekerjaan rutin dan bersifat lokal kurang memiliki nilai politis sehingga keberhasilannya kurang terapresiasi. Namun untuk jenis kejahatan transnasional seperti terorisme yang bersifat lintas negara, regional, maupun global memiliki bobot politis yang tinggi, sehingga keberhasilan dalam penanganannya sangat signifikan mempengaruhi kinerja kepolisian.
Stagnasi clearing rate kejahatan konvensional pada kisaran 50 persen diduga terkait dengan keterbatasan anggaran penyelidikan dan penyidikan tindak pidana. Setiap kasus tindak pidana telah ditetapkan besaran biayanya. Dengan demikian, setiap unit reserse kinerjanya diukur dari pencapaian target yang telah ditetapkan. Artinya jika dalam satu tahun ditargetkan sebanyak 40 kasus, maka maksimal kasus yang diselesaikan sebanyak 40 kasus. Jika melebihi target atau terlalu berprestasi, justru akan dipertanyakan “dapat biaya dari mana?”
Kondisi tersebut menyebabkan para penyidik tidak dapat melakukan improvisasi secara bebas dan terpaksa tebang pilih kasus yang dianggap menonjol dan dapat me-moncer-kan kariernya. Akibatnya banyak kasus-kasus yang dianggap tidak berbobot terpaksa tidak ditindaklanjuti dan dilepas begitu saja. Tentunya dengan sejumlah persyaratan yang kadangkala memberatkan tersangka.
Salah satu keberhasilan pelaksanaan tugas dan fungsi kepolisian, terutama dalam hal penanganan tindak kriminalitas adalah seberapa besar partisipasi masyarakat dalam melaporkan tindak kejahatan yang dialaminya. Tanpa laporan dari masyarakat, polisi tidak dapat melakukan langkah penyelidikan dan penyidikan terhadap suatu kasus kejahatan yang menimpa masyarakat.
Sayangnya sampai saat ini lembaga kepolisian belum sepenuhnya mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Seringkali masyarakat (pelapor) merasa tidak nyaman bila berhubungan dengan lembaga kepolisian karena proses yang berbelit-belit, makan waktu yang lama, dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Pandangan bahwa “melapor kehilangan ayam malah kehilangan kambing”, sampai saat ini masih melekat di sebagian masyarakat. Sementara dari kinerja penyidikan, masih banyak hasil penyidikan yang dibantah oleh terlapor ketika berperkara di pengadilan karena proses investigasi diwarnai intimidasi dan penyiksaan.
Citra Polisi juga masih dibayangi oleh masih banyaknya anggota Polisi yang melakukan tindakan menyimpang dari tugas pokok dan fungsinya. Pelanggaran kode etik dan berbagai tindak pidana yang pada tahun 2008 kasusnya mencapai hampir 2,5 persen dari total anggota Polri, menjadikan lembaga kepolisian belum sepenuhnya menjadi andalan masyarakat dalam mengatasi gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat. Hal ini ditunjukkan oleh masih banyaknya kasus main hakim terhadap penyelesaian kejahatan di masyarakat atau dengan cara menyewa pengamanan swasta yang seringkali bertindak bengis dan anarkhis.
Menilik dari kondisi di atas, ke depan diperlukan updating kebijakan dan regulasi secara terus-menerus untuk meningkatkan profesionalisme Polri. Menurunkan Rasio Polisi masih tetap diperlukan, minimal mencapai kondisi ideal yang ditetapkan PBB dan untuk mengatasi kesenjangan cakupan pelayanan. Tetapi yang tidak kalah penting adalah kualitas pelayanan kepolisian kepada masyarakat harus lebih baik. Indikatornya adalah masyarakat merasa nyaman berhubungan dengan polisi, polisi ada ketika masyarakat membutuhkan (quick response), serta masyarakat merasa nyaman dan aman beraktivitas.
Secara umum kualitas pendidikan anggota Polri sudah cukup baik. Persyaratan pendidikan minimal SLTA telah terpenuhi dan secara alamiah level tamtama akan terhapus di lembaga kepolisian dalam beberapa tahun ke depan. Namun demikian pemahaman terhadap hukum, kondisi sosial ekonomi masyarakat, dan hak asasi manusia perlu terus ditingkatkan. Langkah ini diperlukan untuk menekan angka penyimpangan dan pelanggaran profesi yang mengarah pada penistaan hak asasi manusia.
Gunarta – Perencana Bappenas
Rabu, 28 Oktober 2009
Minggu, 11 Oktober 2009
MARGIN GAB PRODUK PERTANIAN
Awal Bulan Agustus 2009 ini penulis berkesempatan mudik ke Wates, sebuah kota kecil di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta untuk bersilaturahmi dengan kerabat di desa sekaligus melestarian budaya “ruwahan” untuk menyambut bulan suci Ramadhan. Untuk mencapai rumah, penulis harus melalui hamparan sawah yang pada saat ini tengah menghijau oleh tanaman palawija seperti jagung, kacang merah, bawang merah, cabai keriting, atau jajaran pohon kelapa dengan buah cukup lebat.
Sungguh merupakan pemandangan yang menyegarkan di tengah kesibukan sehari-hari di kota metropolitan seperti Jakarta. Penulis berasumsi bahwa dengan kondisi yang demikian, petani mestinya akan makmur dengan panen palawija yang melimpah. Secara keseluruhan hasil panen sepertinya akan bagus tahun ini, karena menilik cara budidayanya rata-rata telah mengadopsi teknologi pertanian meskipun dalam skala terbatas. Perkiraan panen melimpah tersebut, juga didukung oleh kondisi iklim yang cukup kondusif bagi tumbuhnya tanaman dan tidak adanya serangan hama penyakit yang dapat mengancam kegagalan panen.
Namun ketika ditanyakan kepada petani mengenai penjualan hasil panennya, di sinilah masalah kesenjangan mulai terlihat. Kalau di Jakarta satu butir kelapa dihargai 4.000 rupiah, maka di tingkat petani hanya dihargai kurang lebih 400 rupiah perbutir. Harga yang diterima petani ini belum dikurangi ongkos pembudidayaan, memetik, menguliti, atau waktu tunggu panen.
Memang ketika menjelang lebaran harga yang diterima petani bisa mencapai 5.000 rupiah perbutir, tetapi di Jakarta atau kota-kota besar lainnya bisa mencapai 15.000 rupiah perbutir. Sebuah margin gab yang luar biasa berlipat. Tidak mengherankan apabila petani terpaksa tidak melakukan pemanenan kelapa dan dibiarkan jatuh dengan sendirinya untuk mengakali ongkos produksi.
Komoditas lain seperti cabai misalnya, kurang lebih permasalahan yang dihadapi hampir sama. Bedanya, fluktuasi harga cabai cukup fluktuatif karena tergantung musim panen. Artinya ketika permintaan cabai meningkat sementara hasil panen terbatas, petani cukup menikmati hasil panennya. Tetapi ketika sedang panen raya dan harga jatuh, ibarat ada yang meminta cabai, petani akan menyuruh memetik sendiri semaunya. Bahkan tidak jarang, cabai dibiarkan membusuk dan mengering di rantingnya.
Margin gab ini tidak hanya dihadapi oleh petani di Wates saja, tetapi sangat mungkin dihadapi oleh seluruh petani di Indonesia. Tidak mengherankan jika petani di Indonesia identik dengan kemiskinan dan orientasinya adalah immanent (untuk memenuhi kebutuhan sendiri). Bahkan bagi kalangan muda pencari kerja, bidang pertanian dapat dikatakan sebagai bidang yang paling tidak diminati. Mereka lebih memilih pergi ke kota-kota besar untuk mengadu nasib, meskipun dengan bekal pendidikan dan ketrampilan yang sangat minim.
Dengan kepemilikan lahan rata-rata di bawah 0,5 hektar, petani dihadapkan pada ketidakefisienan pemanfaatan sarana produksi, jam kerja orang (JKO) yang berlebih, harga sarana produksi yang mahal, serta resiko kegagalan panen akibat “salah mongso” atau serangan hama penyakit. Selanjutnya ketika panen, jika tidak terjerat sistem permainan ijon, petani seringkali terbentur harga jual yang jatuh karena produk melimpah dan kurang kompetitif.
Kemampuan pengelolaan pasca panen yang terkesan tradisional dan kurang inovatif, menyebabkan value added produk pertanian di tingkat petani sangat rendah. Metode pengawetan, khususnya melalui pengeringan masih mengandalkan cahaya matahari yang memang cukup melimpah di negara tropis ini. Ini tidak menguntungkan, terutama bagi daerah-daerah pertanian dengan curah hujan yang tinggi. Akibatnya kualitas produk rendah dan rentan terhadap serangan jamur atau serangga.
Dalam hal membuat produk agar terkesan menarik dan berkualitas, petani kita masih tertinggal dibandingkan dengan petani Thailand. Hal ini dapat dilihat di toko-toko buah dipinggiran jalan sekalipun, kemasan dan warna buah impor dari Thailand sangat menarik dibanding buah lokal yang terkesan kurang menarik, “burik”, dengan bentuk yang kurang simetris. Dari rasanyapun, buah impor lebih legit dan manis dibandingkan buah lokal yang seringkali masam karena proses budidaya dan grading yang kurang bagus.
Dari uraian tersebut di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa petani kita harus ditolong terutama dari aspek proses produksi dan aspek pemasaran hasil pertanian. Petani harus diubah pola pikirnya dari petani tradisional yang berorientasi immanent menjadi petani yang berorientasi bisnis dan berwawasan keluar (outward looking). Petani perlu diarahkan menghasilkan produk-produk pertanian yang kompetitif bernilai ekonomi tinggi yang layak bersaing, minimal di lingkungan ASEAN.
Oleh karena itu, petani secara politis tidak hanya didorong atau dilibatkan pada upaya-upaya pencapaian swasembada, katakanlah beras. Sebuah produk yang nilai politisnya sangat tinggi, tetapi kurang mensejahterakan para petani. Kalaupun akan dilibatkan secara politis, mereka layak mendapatkan kompensasi seperti subsidi pupuk, obat-obatan, dan jaminan penyerapan hasil panen dengan harga yang memadai.
Dari aspek pemasaran hasil pertanian, perlu diupayakan peningkatan pemahaman petani tentang pengelolaan pasca panen. Di era pasar bebas ini, petani jangan hanya berorientasi pada kuantitas tetapi kualitas. Pengetahuan tentang pengawetan, penyimpanan, grading, atau packing yang menarik menjadi hal penting untuk meningkatkan daya saing. Jika langkah ini tidak ditempuh, selamanya produk pertanian kita hanya menjadi second choices di tengah membanjirnya produk pertanian luar negeri.
Tugas pemerintah untuk menolong petani. Paling tidak terletak pada penjaminan ketersediaan sarana produksi yang meliputi benih berkualitas, pupuk, dan obat-obatan dengan harga terjangkau. Pemberian subsidi sarana produksi merupakan hal yang wajib dilakukan pemerintah dengan mekanisme yang tidak berbelit-belit dan tidak melibatkan rantai distribusi yang panjang lebar.
Untuk melaksanakan ini, kiranya pemerintahan saat ini perlu menengok atau merujuk kebijakan pemerintahan terdahulu seperti untuk swasembada beras melalui program Bimas, Inmas, Insus, dan Suprainsus yang cukup berhasil mendongkrak produksi beras. Sementara itu untuk mendukung distribusi saprodi dan menampung hasil produksi peran Koperasi Unit Desa (KUD) perlu dihidupkan kembali. Penulis masih ingat pada tahun 80-an, KUD sangat berperan sekali dalam mendukung program-program swasembada pangan yang didukung BRI, perguruan tinggi, dan penyuluh pertanian. Langkah ini memang terkesan melanggar prinsip-prinsip pasar bebas dalam kerangka WTO. Tetapi, sekali lagi. Petani perlu ditolong.
Gunarta – Perencana Bappenas
Sungguh merupakan pemandangan yang menyegarkan di tengah kesibukan sehari-hari di kota metropolitan seperti Jakarta. Penulis berasumsi bahwa dengan kondisi yang demikian, petani mestinya akan makmur dengan panen palawija yang melimpah. Secara keseluruhan hasil panen sepertinya akan bagus tahun ini, karena menilik cara budidayanya rata-rata telah mengadopsi teknologi pertanian meskipun dalam skala terbatas. Perkiraan panen melimpah tersebut, juga didukung oleh kondisi iklim yang cukup kondusif bagi tumbuhnya tanaman dan tidak adanya serangan hama penyakit yang dapat mengancam kegagalan panen.
Namun ketika ditanyakan kepada petani mengenai penjualan hasil panennya, di sinilah masalah kesenjangan mulai terlihat. Kalau di Jakarta satu butir kelapa dihargai 4.000 rupiah, maka di tingkat petani hanya dihargai kurang lebih 400 rupiah perbutir. Harga yang diterima petani ini belum dikurangi ongkos pembudidayaan, memetik, menguliti, atau waktu tunggu panen.
Memang ketika menjelang lebaran harga yang diterima petani bisa mencapai 5.000 rupiah perbutir, tetapi di Jakarta atau kota-kota besar lainnya bisa mencapai 15.000 rupiah perbutir. Sebuah margin gab yang luar biasa berlipat. Tidak mengherankan apabila petani terpaksa tidak melakukan pemanenan kelapa dan dibiarkan jatuh dengan sendirinya untuk mengakali ongkos produksi.
Komoditas lain seperti cabai misalnya, kurang lebih permasalahan yang dihadapi hampir sama. Bedanya, fluktuasi harga cabai cukup fluktuatif karena tergantung musim panen. Artinya ketika permintaan cabai meningkat sementara hasil panen terbatas, petani cukup menikmati hasil panennya. Tetapi ketika sedang panen raya dan harga jatuh, ibarat ada yang meminta cabai, petani akan menyuruh memetik sendiri semaunya. Bahkan tidak jarang, cabai dibiarkan membusuk dan mengering di rantingnya.
Margin gab ini tidak hanya dihadapi oleh petani di Wates saja, tetapi sangat mungkin dihadapi oleh seluruh petani di Indonesia. Tidak mengherankan jika petani di Indonesia identik dengan kemiskinan dan orientasinya adalah immanent (untuk memenuhi kebutuhan sendiri). Bahkan bagi kalangan muda pencari kerja, bidang pertanian dapat dikatakan sebagai bidang yang paling tidak diminati. Mereka lebih memilih pergi ke kota-kota besar untuk mengadu nasib, meskipun dengan bekal pendidikan dan ketrampilan yang sangat minim.
Dengan kepemilikan lahan rata-rata di bawah 0,5 hektar, petani dihadapkan pada ketidakefisienan pemanfaatan sarana produksi, jam kerja orang (JKO) yang berlebih, harga sarana produksi yang mahal, serta resiko kegagalan panen akibat “salah mongso” atau serangan hama penyakit. Selanjutnya ketika panen, jika tidak terjerat sistem permainan ijon, petani seringkali terbentur harga jual yang jatuh karena produk melimpah dan kurang kompetitif.
Kemampuan pengelolaan pasca panen yang terkesan tradisional dan kurang inovatif, menyebabkan value added produk pertanian di tingkat petani sangat rendah. Metode pengawetan, khususnya melalui pengeringan masih mengandalkan cahaya matahari yang memang cukup melimpah di negara tropis ini. Ini tidak menguntungkan, terutama bagi daerah-daerah pertanian dengan curah hujan yang tinggi. Akibatnya kualitas produk rendah dan rentan terhadap serangan jamur atau serangga.
Dalam hal membuat produk agar terkesan menarik dan berkualitas, petani kita masih tertinggal dibandingkan dengan petani Thailand. Hal ini dapat dilihat di toko-toko buah dipinggiran jalan sekalipun, kemasan dan warna buah impor dari Thailand sangat menarik dibanding buah lokal yang terkesan kurang menarik, “burik”, dengan bentuk yang kurang simetris. Dari rasanyapun, buah impor lebih legit dan manis dibandingkan buah lokal yang seringkali masam karena proses budidaya dan grading yang kurang bagus.
Dari uraian tersebut di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa petani kita harus ditolong terutama dari aspek proses produksi dan aspek pemasaran hasil pertanian. Petani harus diubah pola pikirnya dari petani tradisional yang berorientasi immanent menjadi petani yang berorientasi bisnis dan berwawasan keluar (outward looking). Petani perlu diarahkan menghasilkan produk-produk pertanian yang kompetitif bernilai ekonomi tinggi yang layak bersaing, minimal di lingkungan ASEAN.
Oleh karena itu, petani secara politis tidak hanya didorong atau dilibatkan pada upaya-upaya pencapaian swasembada, katakanlah beras. Sebuah produk yang nilai politisnya sangat tinggi, tetapi kurang mensejahterakan para petani. Kalaupun akan dilibatkan secara politis, mereka layak mendapatkan kompensasi seperti subsidi pupuk, obat-obatan, dan jaminan penyerapan hasil panen dengan harga yang memadai.
Dari aspek pemasaran hasil pertanian, perlu diupayakan peningkatan pemahaman petani tentang pengelolaan pasca panen. Di era pasar bebas ini, petani jangan hanya berorientasi pada kuantitas tetapi kualitas. Pengetahuan tentang pengawetan, penyimpanan, grading, atau packing yang menarik menjadi hal penting untuk meningkatkan daya saing. Jika langkah ini tidak ditempuh, selamanya produk pertanian kita hanya menjadi second choices di tengah membanjirnya produk pertanian luar negeri.
Tugas pemerintah untuk menolong petani. Paling tidak terletak pada penjaminan ketersediaan sarana produksi yang meliputi benih berkualitas, pupuk, dan obat-obatan dengan harga terjangkau. Pemberian subsidi sarana produksi merupakan hal yang wajib dilakukan pemerintah dengan mekanisme yang tidak berbelit-belit dan tidak melibatkan rantai distribusi yang panjang lebar.
Untuk melaksanakan ini, kiranya pemerintahan saat ini perlu menengok atau merujuk kebijakan pemerintahan terdahulu seperti untuk swasembada beras melalui program Bimas, Inmas, Insus, dan Suprainsus yang cukup berhasil mendongkrak produksi beras. Sementara itu untuk mendukung distribusi saprodi dan menampung hasil produksi peran Koperasi Unit Desa (KUD) perlu dihidupkan kembali. Penulis masih ingat pada tahun 80-an, KUD sangat berperan sekali dalam mendukung program-program swasembada pangan yang didukung BRI, perguruan tinggi, dan penyuluh pertanian. Langkah ini memang terkesan melanggar prinsip-prinsip pasar bebas dalam kerangka WTO. Tetapi, sekali lagi. Petani perlu ditolong.
Gunarta – Perencana Bappenas
SETELAH GEMBONG TERORIS NOORDIN M. TOP TEWAS
Sekali lagi, acungan jempol kita tujukan kepada aparat keamanan yang berhasil menangkap tidak hidup gembong teroris Noordin M. Top. Pada operasi penyergapan di Kampung Kepuhsari, Kelurahan Mojosongo, Kecamatan Jebres, Solo, Jawa Tengah pada hari Kamis 17 September 2009, aparat keamanan berhasil menembak mati 3 orang buron terorisme yang salah satunya adalah Noordin M. Top. Keberhasilan ini, semoga semakin memantapkan kondisi keamanan dalam negeri dari ancaman terorisme.
Terbunuhnya Noordin M. Top merupakan puncak keberhasilan pencegahan dan penanggulangan terorisme di Indonesia. Setelah Dr. Azahari, Noordin M. Top merupakan tokoh yang paling dicari karena keahliannya dalam merakit bom, menggalang dana, dan alhi dalam perekrutan “penganten” pelaku bom bunuh diri. Kemampuannya dalam menyamar dan didukung dengan mobilitas yang tinggi serta dukungan pengikut yang setia, menyebabkan upaya penangkapan memerlukan waktu lebih dari 7 tahun.
Untuk sementara waktu, Indonesia dapat bernafas lega. Bayang-bayang aksi terorisme diharapkan semakin memudar seiring dengan semakin meningkatnya kemampuan aparat keamanan dalam pencegahan dan penanggulangan terorisme. Selanjutnya, “sisa-sisa” sel teroris agar segera dipotong dan dieliminir sehingga tidak sempat berkembang menjadi jaringan teroris yang dapat mengancam keamanan dalam negeri.
Setelah Noordin M. Top terbunuh, hal yang penting untuk dilakukan ke depan adalah bagaimana mencegah dan menanggulani ancaman terorisme secara lebih efektif dan lebih memperhatikan sensitivitas masyarakat, khususnya umat Islam Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa secara langsung maupun tidak langsung, berbagai aksi terorisme telah memberikan stigma negatif bagi umat dan agama Islam.
Cap terorisme mau tidak mau akan menjadi beban umat Islam karena kebetulan para pelaku aksi terorisme mengatasnamakan Jihad. Pemahaman Jihad yang ekstrim, oleh masyarakat non muslim dianggap sebagai ajaran Islam yang mengedepankan kekerasan. Padahal pengertian Jihad tidak hanya sebatas perang secara fisik melawan musuh-musuh Islam (yang memusuhi Islam), tetapi maknanya lebih luas seperti bekerja secara baik, menahan diri untuk tidak berbuat maksiat (melawan hawa nafsu), menahan godaan untuk tidak korupsi, atau perjuangan seorang ibu yang sedang melahirkan termasuk kategori dalam Jihad.
Untuk menghilangkan stigma negatif tersebut, memerlukan upaya yang sangat berat dan penuh dengan tantangan. Pemerintah harus bisa berbuat adil dan balance terhadap masyarakat Indonesia yang mayoritas Islam. Jangan sampai terdapat sikap tidak adil dan tidak-balance dalam menangani masalah terorisme, karena hal tersebut bisa menimbulkan perasaan saling curiga, saling serang, atau saling tolak dikalangan umat Islam sendiri.
Di sisi lain, pemerintah harus mampu memberikan pemahaman kepada masyarakat non muslim agar mereka tidak meng-gebyah uyah (menggeneralisir) dan mendiskreditkan umat dan agama Islam, hanya karena pelaku aksi terorisme adalah orang-orang yang beragama Islam. Karena pada dasarnya, aksi teroris dapat dilakukan oleh siapapun tidak hanya oleh orang muslim. Di negara-negara yang warganya mayoritas non muslim seperti India, Philipina, Jepang, atau negara-negara yang memiliki masalah separatisme, ada juga aksi-aksi terorisme yang tidak kalah dahsyatnya.
Perlunya pembinaan lembaga pesantren
Secara kebetulan atau tidak, pelaku terorisme di Indonesia kebanyakan berasal dari kalangan muda pesantren. Para santri yang sedang belajar di pondok pesantren relatif mudah menerima faham-faham keagamaan, termasuk yang radikal. Celakanya, kondisi ini sering dimanfaatkan oleh gembong terorisme untuk membantu mencapai apa yang diinginkannya. Dengan memanfaatkan keluguan para santri, para gembong teroris mampu mendogmatisasikan “Jihad” kepada para santri untuk melakukan aksi bom bunuh diri dengan iming-iming masuk surga. Harga surga yang sangat murah, tetapi tidak logis. Bagaimana surga didapat dengan membunuh dan mencederai orang-orang yang tidak bersalah!
Menurut Direktorat Jendral Pendidikan Islam Departemen Agama, jumlah pesantren di Indonesia pada tahun 2008 mencapai 15 ribuan dengan jumlah 5-6 juta santri. Kekhasan dari pesantren adalah penyelenggaraan program kajian ilmu-ilmu agama Islam yang bersumber pada kitab-kitab berbahasa Arab yang disusun pada zaman pertengahan atau lebih dikenal dengan nama kitab kuning (detik.com). Dalam kurikulumnya tidak ditemukan adanya ajaran terorisme, sehingga jika ada santri atau alumni yang terlibat aksi terorisme, sangat dimungkinkan diperoleh dari luar pondok pesantren.
Sebagian besar lembaga pesantren tidak memiliki fasilitas pendidikan dan pemondokan yang memadai. Tidak mengherankan jika banyak santri yang belajar dengan sarana sangat terbatas, tidur di pondok-pondok yang kurang sehat, atau terserang penyakit kulit karena sanitasi buruk. Dalam hal gizipun setali tiga uang, para santri banyak yang kekurangan gizi. Namun dengan kesahajaan tersebut, lembaga-lembaga pesantren mampu menghasilkan pemuda-pemuda yang sholeh dan pendakwah-pendakwah yang mumpuni.
Perhatian pemerintah terhadap lembaga pesantren, relatif masih sangat minim. Bahkan banyak yang belum tersentuh sama sekali bantuan pemerintah. Operasional pesantren kebanyakan hanya mengandalkan dana iuran orang tua santri yang tidak seberapa, donatur, pungutan sumbangan, atau bisnis kecil-kecilan pesantren yang jumlahnya sangat terbatas. Akibat dari keterbatasan ini, suatu lembaga pesantren kadangkala tidak bisa menolak uluran bantuan yang tidak jelas yang mungkin saja dapat “menjebaknya” dalam lingkaran terorisme karena utang budi.
Strategi kebijakan pemerintah terhadap lembaga pesantren harus diubah. Apabila selama ini lebih mengedepankan aspek pengawasan, ke depan harus mengutamakan aspek pembinaan tanpa ada upaya menggiring kearah penyeragaman kurikulum pesantren. Aspek pengawasan seringkali dilihat sebagai upaya campur tangan pemerintah, terutama dalam hal kurikulum pesantren. Padahal tidak mungkin menyeragamkan kurikulum, karena setiap lembaga pesantren umumnya memiliki mahzab masing-masing. Pengawasan yang berlebihan juga seringkali menimbulkan kecurigaan yang berujung pada sikap antipati.
Aspek pembinaan dapat dilakukan melalui forum dialog-dialog silaturahmi atau pemberian bantuan finansial untuk memberdayakan pesantren. Dialog sangat penting dilakukan untuk mencapai kesepahaman antara pemerintah dengan lembaga pesantren. Pendekatan yang intensif dalam suasana kekeluargaan dan persahabatan akan mengakrabkan antara umaro dan ulama, sehingga akan terjalin hubungan simbiose mutualisma. Umaro dapat melaksanakan program pembinaan sesuai dengan sasarannya, sementara para ulama atau pemimpin lembaga pesantren akan merasa diperhatikan oleh pemerintah.
Pemberian bantuan finansial dilaksanakan dalam rangka “membendung” pendanaan pesantren yang tidak jelas asal usulnya. Namun pemberian bantuan finansial akan efektif apabila disertai pelatihan-pelatihan ketrampilan. Kegiatan ini selain untuk meningkatkan hubungan silaturahmi antara pemerintah dan lembaga pesantren, juga akan menambah bekal bagi para santri ketika terjun ke masyarakat.
Diharapkan dengan perubahan strategi tersebut, pertumbuhan sel-sel terorisme yang ada di lingkungan pesantren dapat ditekan sehingga tidak berkembang menjadi jaringan terorisme. Klimaks keberhasilan dalam menangkap tidak hidup gembong teroris Noordin M. Top dapat dijadikan titik awal pencegahan dan penanggulangan terorisme yang lebih mengedepankan aspek sensitivitas umat Islam. Pencegahan dan penanggulangan terorisme harus terus dilanjutkan, tetapi jangan sampai menimbulkan kekhawatiran, ketakutan dan perpecahanan di kalangan umat Islam.
Gunarta – Perencana Bappenas.
Terbunuhnya Noordin M. Top merupakan puncak keberhasilan pencegahan dan penanggulangan terorisme di Indonesia. Setelah Dr. Azahari, Noordin M. Top merupakan tokoh yang paling dicari karena keahliannya dalam merakit bom, menggalang dana, dan alhi dalam perekrutan “penganten” pelaku bom bunuh diri. Kemampuannya dalam menyamar dan didukung dengan mobilitas yang tinggi serta dukungan pengikut yang setia, menyebabkan upaya penangkapan memerlukan waktu lebih dari 7 tahun.
Untuk sementara waktu, Indonesia dapat bernafas lega. Bayang-bayang aksi terorisme diharapkan semakin memudar seiring dengan semakin meningkatnya kemampuan aparat keamanan dalam pencegahan dan penanggulangan terorisme. Selanjutnya, “sisa-sisa” sel teroris agar segera dipotong dan dieliminir sehingga tidak sempat berkembang menjadi jaringan teroris yang dapat mengancam keamanan dalam negeri.
Setelah Noordin M. Top terbunuh, hal yang penting untuk dilakukan ke depan adalah bagaimana mencegah dan menanggulani ancaman terorisme secara lebih efektif dan lebih memperhatikan sensitivitas masyarakat, khususnya umat Islam Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa secara langsung maupun tidak langsung, berbagai aksi terorisme telah memberikan stigma negatif bagi umat dan agama Islam.
Cap terorisme mau tidak mau akan menjadi beban umat Islam karena kebetulan para pelaku aksi terorisme mengatasnamakan Jihad. Pemahaman Jihad yang ekstrim, oleh masyarakat non muslim dianggap sebagai ajaran Islam yang mengedepankan kekerasan. Padahal pengertian Jihad tidak hanya sebatas perang secara fisik melawan musuh-musuh Islam (yang memusuhi Islam), tetapi maknanya lebih luas seperti bekerja secara baik, menahan diri untuk tidak berbuat maksiat (melawan hawa nafsu), menahan godaan untuk tidak korupsi, atau perjuangan seorang ibu yang sedang melahirkan termasuk kategori dalam Jihad.
Untuk menghilangkan stigma negatif tersebut, memerlukan upaya yang sangat berat dan penuh dengan tantangan. Pemerintah harus bisa berbuat adil dan balance terhadap masyarakat Indonesia yang mayoritas Islam. Jangan sampai terdapat sikap tidak adil dan tidak-balance dalam menangani masalah terorisme, karena hal tersebut bisa menimbulkan perasaan saling curiga, saling serang, atau saling tolak dikalangan umat Islam sendiri.
Di sisi lain, pemerintah harus mampu memberikan pemahaman kepada masyarakat non muslim agar mereka tidak meng-gebyah uyah (menggeneralisir) dan mendiskreditkan umat dan agama Islam, hanya karena pelaku aksi terorisme adalah orang-orang yang beragama Islam. Karena pada dasarnya, aksi teroris dapat dilakukan oleh siapapun tidak hanya oleh orang muslim. Di negara-negara yang warganya mayoritas non muslim seperti India, Philipina, Jepang, atau negara-negara yang memiliki masalah separatisme, ada juga aksi-aksi terorisme yang tidak kalah dahsyatnya.
Perlunya pembinaan lembaga pesantren
Secara kebetulan atau tidak, pelaku terorisme di Indonesia kebanyakan berasal dari kalangan muda pesantren. Para santri yang sedang belajar di pondok pesantren relatif mudah menerima faham-faham keagamaan, termasuk yang radikal. Celakanya, kondisi ini sering dimanfaatkan oleh gembong terorisme untuk membantu mencapai apa yang diinginkannya. Dengan memanfaatkan keluguan para santri, para gembong teroris mampu mendogmatisasikan “Jihad” kepada para santri untuk melakukan aksi bom bunuh diri dengan iming-iming masuk surga. Harga surga yang sangat murah, tetapi tidak logis. Bagaimana surga didapat dengan membunuh dan mencederai orang-orang yang tidak bersalah!
Menurut Direktorat Jendral Pendidikan Islam Departemen Agama, jumlah pesantren di Indonesia pada tahun 2008 mencapai 15 ribuan dengan jumlah 5-6 juta santri. Kekhasan dari pesantren adalah penyelenggaraan program kajian ilmu-ilmu agama Islam yang bersumber pada kitab-kitab berbahasa Arab yang disusun pada zaman pertengahan atau lebih dikenal dengan nama kitab kuning (detik.com). Dalam kurikulumnya tidak ditemukan adanya ajaran terorisme, sehingga jika ada santri atau alumni yang terlibat aksi terorisme, sangat dimungkinkan diperoleh dari luar pondok pesantren.
Sebagian besar lembaga pesantren tidak memiliki fasilitas pendidikan dan pemondokan yang memadai. Tidak mengherankan jika banyak santri yang belajar dengan sarana sangat terbatas, tidur di pondok-pondok yang kurang sehat, atau terserang penyakit kulit karena sanitasi buruk. Dalam hal gizipun setali tiga uang, para santri banyak yang kekurangan gizi. Namun dengan kesahajaan tersebut, lembaga-lembaga pesantren mampu menghasilkan pemuda-pemuda yang sholeh dan pendakwah-pendakwah yang mumpuni.
Perhatian pemerintah terhadap lembaga pesantren, relatif masih sangat minim. Bahkan banyak yang belum tersentuh sama sekali bantuan pemerintah. Operasional pesantren kebanyakan hanya mengandalkan dana iuran orang tua santri yang tidak seberapa, donatur, pungutan sumbangan, atau bisnis kecil-kecilan pesantren yang jumlahnya sangat terbatas. Akibat dari keterbatasan ini, suatu lembaga pesantren kadangkala tidak bisa menolak uluran bantuan yang tidak jelas yang mungkin saja dapat “menjebaknya” dalam lingkaran terorisme karena utang budi.
Strategi kebijakan pemerintah terhadap lembaga pesantren harus diubah. Apabila selama ini lebih mengedepankan aspek pengawasan, ke depan harus mengutamakan aspek pembinaan tanpa ada upaya menggiring kearah penyeragaman kurikulum pesantren. Aspek pengawasan seringkali dilihat sebagai upaya campur tangan pemerintah, terutama dalam hal kurikulum pesantren. Padahal tidak mungkin menyeragamkan kurikulum, karena setiap lembaga pesantren umumnya memiliki mahzab masing-masing. Pengawasan yang berlebihan juga seringkali menimbulkan kecurigaan yang berujung pada sikap antipati.
Aspek pembinaan dapat dilakukan melalui forum dialog-dialog silaturahmi atau pemberian bantuan finansial untuk memberdayakan pesantren. Dialog sangat penting dilakukan untuk mencapai kesepahaman antara pemerintah dengan lembaga pesantren. Pendekatan yang intensif dalam suasana kekeluargaan dan persahabatan akan mengakrabkan antara umaro dan ulama, sehingga akan terjalin hubungan simbiose mutualisma. Umaro dapat melaksanakan program pembinaan sesuai dengan sasarannya, sementara para ulama atau pemimpin lembaga pesantren akan merasa diperhatikan oleh pemerintah.
Pemberian bantuan finansial dilaksanakan dalam rangka “membendung” pendanaan pesantren yang tidak jelas asal usulnya. Namun pemberian bantuan finansial akan efektif apabila disertai pelatihan-pelatihan ketrampilan. Kegiatan ini selain untuk meningkatkan hubungan silaturahmi antara pemerintah dan lembaga pesantren, juga akan menambah bekal bagi para santri ketika terjun ke masyarakat.
Diharapkan dengan perubahan strategi tersebut, pertumbuhan sel-sel terorisme yang ada di lingkungan pesantren dapat ditekan sehingga tidak berkembang menjadi jaringan terorisme. Klimaks keberhasilan dalam menangkap tidak hidup gembong teroris Noordin M. Top dapat dijadikan titik awal pencegahan dan penanggulangan terorisme yang lebih mengedepankan aspek sensitivitas umat Islam. Pencegahan dan penanggulangan terorisme harus terus dilanjutkan, tetapi jangan sampai menimbulkan kekhawatiran, ketakutan dan perpecahanan di kalangan umat Islam.
Gunarta – Perencana Bappenas.
Ketika Mudik Lebaran Tiba
Rabu, 16/09/2009 08:47 WIB
Ketika Mudik Lebaran Tiba
Gunarta - suaraPembaca
Menurut pendapat pribadi, definisi bebas dari mudik lebaran adalah peristiwa pergerakan manusia dalam skala besar dari rumah kedua (tempat mencari nafkah) ke rumah pertama (tempat lahir) dalam rangka silaturahmi dan bermaaf-maafan dengan kerabat setelah melaksanakan ibadah puasa ramadhan. Mudik lebaran sudah menjadi khasanah budaya milik bangsa yang konon hanya ada di Indonesia (mudah-mudahan tidak diklaim sebagai tradisi negara tetangga). Oleh karena itu, mudik tidak sekedar tradisi religius umat Islam, tetapi sudah menjadi milik seluruh komponen bangsa baik yang muslim maupun non muslim.
Hal yang menarik dari peristiwa mudik lebaran adalah adanya “pelanggaran” prinsip-prinsip ekonomi, terutama hukum permintaan. Dari sisi konsumen, besarnya permintaan suatu produk (demand) ditentukan oleh harga produk. Jika harga produk rendah, maka permintaannya cenderung meningkat. Sebaliknya jika harga produk tinggi, maka permintaannya cenderung akan menurun (kurva permintaan berbanding terbalik).
Sementara itu dari sisi produsen, besarnya penawaran ditentukan oleh permintaan dan harga yang terjadi. Jika permintaan dan harga tinggi, produsen berusaha menawarkan produk lebih banyak dengan harapan mendapat laba lebih besar. Sebaliknya jika permintaan dan harga menurun, produsen berupaya menurunkan supply produk untuk menekan ongkos produksi dan kerugian yang lebih besar (kurva penawaran berbanding lurus).
Selama event lebaran, katakanlah H-30 sampai dengan H+7, hukum permintaan seolah menyimpang dari yang seharusnya. Konsumen atau pemudik seolah-olah tidak mempermasalahkan berapapun harga yang terjadi (kurva permintaan menuju inelastis sempurna). Hal ini terlihat dari usaha keras pemudik untuk mendapatkan tiket lebaran baik kereta api, pesawat udara, maupun bus antar kota. Berapapun tiket kereta api eksekutif ditawarkan oleh PT. KAI, tidak sampai hitungan hari sudah ludes. Saking butuhnya, calon pemudik rela mengantri dan menginap di stasiun demi sebuah kenikmatan perjalanan mudik. Bahkan calo tiketpun menjadi andalan para pemudik. Padahal harga tiket 100 persen lebih mahal daripada hari-hari kerja biasa dan itu untuk pemberangkatan 30 hari kedepan.
Himbauan pemerintah agar pengusaha angkutan mematuhi tuslah yang sudah ditetapkan, seringkali dianggap angin lalu karena seperti yang sudah-sudah sanksi tidak pernah diterapkan secara tegas. Kenaikan harga tiket bus yang berlipat dari harga tuslah, tidak menyurutkan permintaannya. Tidak mengherankan jika pengusaha akan mengeluarkan semua bus-bus cadangan dan kadangkala mengesampingkan kelayakannya. Dalam perjalanan mudikpun, pemudik tidak mempermasalahkan tingkat kenyamanan yang seharusnya diterima sesuai dengan harga yang dibayarkannya. Pemudik sangat pemaaf atas kondisi ini sesuai dengan semangat Idul Fitri yang sedang berlangsung.
Selama perjalanan, pemudik akan menghadapi penggelembungan harga ( inflasi) yang mau tidak mau harus tunduk pada aturan main “penguasa kuliner jalanan” jika tidak ingin kelaparan atau kehausan. Restoran tempat singgah bus antar kota antar propinsi (AKAP) saling berlomba melambungkan harga. Sebotol air mineral 500 mililiter yang biasanya dijual 2000 rupiah menjadi 5000 rupiah. Harga yang tidak rasional dibandingkan 1 liter Pertamax yang “hanya” 6.400 rupiah. Sekali lagi, kondisi inleastisitas sempurna terjadi pada event ini, di mana pemudik harus memenuhi kebutuhan biologis esensialnya.
Selanjutnya ketika sampai di kampung halamannya, pemudik terjebak pada sikap konsumerisme yang berlebihan. Dengan kata lain mudah membelanjakan tabungan yang dikumpulkan berbulan-bulan untuk membeli barang-barang yang tidak terlalu dibutuhkan alias pemborosan. Pemudik membelanjakan tabungannya untuk oleh-oleh, sandang, perhiasan, atau alat elektronik sekedar menunjukkan bahwa dia manusia modern dan berhasil berkarier di kota. Sikap semacam inilah yang disebut oleh Chatib Basri (Kompas.com) sebagai demonstration effect yang merupakan perubahan format tabungan menjadi konsumsi untuk memamerkan keberhasilan dihadapan keluarganya.
Hal lain yang juga tak kalah unik adalah perilaku pemudik yang seolah-olah menisbikan adanya hukum berkurangnya tambahan kepuasan dari setiap tambahan barang yang dibeli (law of diminishing marginal utility). Dengan levelnya masing-masing, pemudik seolah-olah tidak dapat membedakan mana barang inferior, giffen, barang normal, atau barang supperior. Indikasinya, semua jenis barang tersebut permintaannya menjadi tinggi semua. Tiwul, nasi jagung, atau tempe bongkrek yang pada hari-hari biasa menjadi barang inferior yang lekat dengan kemiskinan, pada saat lebaran menjadi barang istimewa yang diburu oleh para pemudik yang “kangen” dengan masa lalunya.
Kesadaran akan betapa borosnya pemudik adalah ketika lebaran telah usai. Tidak berlebihan jika pemeo lebaran adalah lebar, bubar, habis-habisan, atau enthek-enthekan. Orang yang pada saat lebaran merasa kaya, dermawan, boros, dan ajib harus kembali seperti sebelum lebaran. Merasa miskin, penuh perhitungan, dan menjadi orang kebanyakan yang harus banting tulang untuk mengumpulkan kepeng-demi kepeng (menabung). Anehnya, kondisi ini akan terulang lagi pada lebaran-lebaran mendatang.
Tentunya event lebaran jangan hanya dipandang sebagai pemborosan semata. Banyak efek berganda yang bisa muncul dan sangat mungkin memberikan dampak perekonomian di daerah-daerah tujuan. Meskipun sifatnya tahunan, moment lebaran harus bisa dimanfaatkan untuk menggali, mengenalkan, atau menggelar potensi perekonomian daerah. Para pemudik jangan hanya “diporoti” dengan harga lebaran. Para pemudik harus diperlakukan layaknya calon-calon investor yang diharapkan akan menanamkan modalnya. Atau paling tidak akan menjadi duta investor yang akan mempromosikan potensi daerah sekembalinya mereka ke kota.
Pemerintah Daerah harus pintar memanfaatkan moment lebaran untuk meningkatkan potensi pendapatan daerah. Bukan dengan cara membebani berbagai pungutan kepada pemudik. Tetapi Pemerintah Daerah dapat menggelar acara-acara yang produktif seperti pameran-pameran produk unggulan daerah yang layak jual. Potensi wisata perlu dibenahi dan dipercantik agar pemudik merasa happy dan tidak sayang untuk membelanjakan uang sakunya. Selanjutnya, pelaku bisnis seperti penjual makanan khas daerah atau penyedia transportasi jangan aji mumpung dengan menaikkan harga secara gila-gilaan. Perlakuan ini akan membuat pemudik kapok, meski kapok cabe rawit.
Jadi ! Jangan jadikan pemudik sebagai “sapi perah” yang hanya diperah setahun sekali.
Gunarta – Perencana Bappenas
(msh/msh) Tetap update informasi di manapun dengan http://m.detik.com dari browser ponsel anda!
Ketika Mudik Lebaran Tiba
Gunarta - suaraPembaca
Menurut pendapat pribadi, definisi bebas dari mudik lebaran adalah peristiwa pergerakan manusia dalam skala besar dari rumah kedua (tempat mencari nafkah) ke rumah pertama (tempat lahir) dalam rangka silaturahmi dan bermaaf-maafan dengan kerabat setelah melaksanakan ibadah puasa ramadhan. Mudik lebaran sudah menjadi khasanah budaya milik bangsa yang konon hanya ada di Indonesia (mudah-mudahan tidak diklaim sebagai tradisi negara tetangga). Oleh karena itu, mudik tidak sekedar tradisi religius umat Islam, tetapi sudah menjadi milik seluruh komponen bangsa baik yang muslim maupun non muslim.
Hal yang menarik dari peristiwa mudik lebaran adalah adanya “pelanggaran” prinsip-prinsip ekonomi, terutama hukum permintaan. Dari sisi konsumen, besarnya permintaan suatu produk (demand) ditentukan oleh harga produk. Jika harga produk rendah, maka permintaannya cenderung meningkat. Sebaliknya jika harga produk tinggi, maka permintaannya cenderung akan menurun (kurva permintaan berbanding terbalik).
Sementara itu dari sisi produsen, besarnya penawaran ditentukan oleh permintaan dan harga yang terjadi. Jika permintaan dan harga tinggi, produsen berusaha menawarkan produk lebih banyak dengan harapan mendapat laba lebih besar. Sebaliknya jika permintaan dan harga menurun, produsen berupaya menurunkan supply produk untuk menekan ongkos produksi dan kerugian yang lebih besar (kurva penawaran berbanding lurus).
Selama event lebaran, katakanlah H-30 sampai dengan H+7, hukum permintaan seolah menyimpang dari yang seharusnya. Konsumen atau pemudik seolah-olah tidak mempermasalahkan berapapun harga yang terjadi (kurva permintaan menuju inelastis sempurna). Hal ini terlihat dari usaha keras pemudik untuk mendapatkan tiket lebaran baik kereta api, pesawat udara, maupun bus antar kota. Berapapun tiket kereta api eksekutif ditawarkan oleh PT. KAI, tidak sampai hitungan hari sudah ludes. Saking butuhnya, calon pemudik rela mengantri dan menginap di stasiun demi sebuah kenikmatan perjalanan mudik. Bahkan calo tiketpun menjadi andalan para pemudik. Padahal harga tiket 100 persen lebih mahal daripada hari-hari kerja biasa dan itu untuk pemberangkatan 30 hari kedepan.
Himbauan pemerintah agar pengusaha angkutan mematuhi tuslah yang sudah ditetapkan, seringkali dianggap angin lalu karena seperti yang sudah-sudah sanksi tidak pernah diterapkan secara tegas. Kenaikan harga tiket bus yang berlipat dari harga tuslah, tidak menyurutkan permintaannya. Tidak mengherankan jika pengusaha akan mengeluarkan semua bus-bus cadangan dan kadangkala mengesampingkan kelayakannya. Dalam perjalanan mudikpun, pemudik tidak mempermasalahkan tingkat kenyamanan yang seharusnya diterima sesuai dengan harga yang dibayarkannya. Pemudik sangat pemaaf atas kondisi ini sesuai dengan semangat Idul Fitri yang sedang berlangsung.
Selama perjalanan, pemudik akan menghadapi penggelembungan harga ( inflasi) yang mau tidak mau harus tunduk pada aturan main “penguasa kuliner jalanan” jika tidak ingin kelaparan atau kehausan. Restoran tempat singgah bus antar kota antar propinsi (AKAP) saling berlomba melambungkan harga. Sebotol air mineral 500 mililiter yang biasanya dijual 2000 rupiah menjadi 5000 rupiah. Harga yang tidak rasional dibandingkan 1 liter Pertamax yang “hanya” 6.400 rupiah. Sekali lagi, kondisi inleastisitas sempurna terjadi pada event ini, di mana pemudik harus memenuhi kebutuhan biologis esensialnya.
Selanjutnya ketika sampai di kampung halamannya, pemudik terjebak pada sikap konsumerisme yang berlebihan. Dengan kata lain mudah membelanjakan tabungan yang dikumpulkan berbulan-bulan untuk membeli barang-barang yang tidak terlalu dibutuhkan alias pemborosan. Pemudik membelanjakan tabungannya untuk oleh-oleh, sandang, perhiasan, atau alat elektronik sekedar menunjukkan bahwa dia manusia modern dan berhasil berkarier di kota. Sikap semacam inilah yang disebut oleh Chatib Basri (Kompas.com) sebagai demonstration effect yang merupakan perubahan format tabungan menjadi konsumsi untuk memamerkan keberhasilan dihadapan keluarganya.
Hal lain yang juga tak kalah unik adalah perilaku pemudik yang seolah-olah menisbikan adanya hukum berkurangnya tambahan kepuasan dari setiap tambahan barang yang dibeli (law of diminishing marginal utility). Dengan levelnya masing-masing, pemudik seolah-olah tidak dapat membedakan mana barang inferior, giffen, barang normal, atau barang supperior. Indikasinya, semua jenis barang tersebut permintaannya menjadi tinggi semua. Tiwul, nasi jagung, atau tempe bongkrek yang pada hari-hari biasa menjadi barang inferior yang lekat dengan kemiskinan, pada saat lebaran menjadi barang istimewa yang diburu oleh para pemudik yang “kangen” dengan masa lalunya.
Kesadaran akan betapa borosnya pemudik adalah ketika lebaran telah usai. Tidak berlebihan jika pemeo lebaran adalah lebar, bubar, habis-habisan, atau enthek-enthekan. Orang yang pada saat lebaran merasa kaya, dermawan, boros, dan ajib harus kembali seperti sebelum lebaran. Merasa miskin, penuh perhitungan, dan menjadi orang kebanyakan yang harus banting tulang untuk mengumpulkan kepeng-demi kepeng (menabung). Anehnya, kondisi ini akan terulang lagi pada lebaran-lebaran mendatang.
Tentunya event lebaran jangan hanya dipandang sebagai pemborosan semata. Banyak efek berganda yang bisa muncul dan sangat mungkin memberikan dampak perekonomian di daerah-daerah tujuan. Meskipun sifatnya tahunan, moment lebaran harus bisa dimanfaatkan untuk menggali, mengenalkan, atau menggelar potensi perekonomian daerah. Para pemudik jangan hanya “diporoti” dengan harga lebaran. Para pemudik harus diperlakukan layaknya calon-calon investor yang diharapkan akan menanamkan modalnya. Atau paling tidak akan menjadi duta investor yang akan mempromosikan potensi daerah sekembalinya mereka ke kota.
Pemerintah Daerah harus pintar memanfaatkan moment lebaran untuk meningkatkan potensi pendapatan daerah. Bukan dengan cara membebani berbagai pungutan kepada pemudik. Tetapi Pemerintah Daerah dapat menggelar acara-acara yang produktif seperti pameran-pameran produk unggulan daerah yang layak jual. Potensi wisata perlu dibenahi dan dipercantik agar pemudik merasa happy dan tidak sayang untuk membelanjakan uang sakunya. Selanjutnya, pelaku bisnis seperti penjual makanan khas daerah atau penyedia transportasi jangan aji mumpung dengan menaikkan harga secara gila-gilaan. Perlakuan ini akan membuat pemudik kapok, meski kapok cabe rawit.
Jadi ! Jangan jadikan pemudik sebagai “sapi perah” yang hanya diperah setahun sekali.
Gunarta – Perencana Bappenas
(msh/msh) Tetap update informasi di manapun dengan http://m.detik.com dari browser ponsel anda!
Anomali Bom
Sabtu, 01/08/2009 17:20 WIB
Gunarta - suaraPembaca
Meledaknya bom di Hotel J.W. Marriott dan Hotel Ritz Carlton pada tanggal 17 Juli 2009 merupakan tragedi kemanusiaan yang gaungnya mendunia. Mendunia karena kebetulan kedua hotel tersebut milik jaringan hotel internasional dan yang menjadi korban kebanyakan orang asing. Di tengah persiapan event olah raga nasional tim sepak bola Indonesian all Star melawan Manchester United yang merupakan prestise dan kesempatan langka, terpaksa dibatalkan karena terjadi ledakan bom yang menewaskan 9 orang dan puluhan luka-luka. Peristiwa ini memunculkan keprihatinan semua pihak dan merupakan pukulan bagi negara kita yang baru berhasil membangun citra aman di mata internasional dan dunia usaha, terutama dari aksi terorisme.
Hal yang menarik dari aksi teror bom di Hotel J.W. Marriott dan Hotel Ritz Carlton adalah meskipun dampaknya mendunia, tetapi reaksinya tidak sebesar yang dikhawatirkan berbagai pihak. Hal ini terbukti tidak ada pembatalan kunjungan wisata dan percepatan singgah warga negara asing dalam skala besar. Dari beberapa pernyataan di media, warga negara asing merasa tidak terlalu khawatir untuk berkunjung ke Indonesia, karena mereka menganggap aksi terorisme dapat terjadi di mana saja termasuk di negaranya masing-masing. Penurunan kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia diprediksikan paling banter hanya 6 bulan, (bahkan 3 bulan, Koran Tempo, 28 Juli 2009), setelah itu akan kembali normal. Demikian juga prediksi penurunan hunian hotel sebesar 25 persen, beberapa pekan ini menunjukkan kecenderungan pulih kembali. Oleh karena itu, upaya untuk mengkoreksi target Indonesian Visit Year 2009 rasanya belum perlu dilakukan.
Pasar saham dan valas yang selama ini paling sensitif terhadap situasi politik, hukum dan keamanan dalam negeri, justru menunjukkan sentiment positif. Pasca ledakan bom, nilai tukar rupiah dan pasar saham sempat turun beberapa point. Tetapi tidak sampai seminggu, rupiah terapresiasi terhadap dollar. Sementara itu, indek harga saham gabungan (IHSG) menunjukkan peningkatan beberapa point. Dalam hal investasi, tidak secara nyata terlihat adanya pelarian modal dalam skala besar-besaran. Beberapa calon investor asing masih berminat untuk menanamkan modalnya di Indonesia dan tidak terlalu terpengaruh kasus peledakan bom.
Reaksi negara-negara Barat-pun, relative “adem ayem” dan tidak buru-buru memberikan travel warning. Hanya Australia yang memberikan travel advisory, semacam peringatan berhati-hati berkunjung Indonesia, bukan larangan berkunjung. Negara-negara Barat justru menunjukkan simpati dan dukungan kepada aparat keamanan Indonesia untuk melakukan investigasi secara tuntas. Pernyataan bantuan teknis pengungkapan dan kerjasama memerangi aksi terror, mengalir dari berbagai negara maju Seperti Rusia, China, dan Australia. Hal yang sangat berbeda ketika terjadi bom Bali 1 pada tahun 2002. Reaksi ketakutan begitu menyebar ke seluruh dunia, sehingga hampir seluruh negara Barat mengeluarkan Travel Warning kepada warganya agar untuk sementara waktu tidak berkunjung ke Indonesia.
Dampak yang justru dirasakan adalah perasaan sangat kecewa penggemar olah raga sepak bola Indonesia. Mereka tidak habis mengerti, mengapa di saat persepakbolaan Indonesia baru mulai belajar bangkit dan susah-payah mendatangkan “guru” kampiun sekelas Manchester United, direcokin oleh peledakan bom hanya kebetulan mereka Bule (Dunia Barat). Padahal jelas, dengan sepak bola, Team Iran bisa saja bertanding dengan Team Israel dan melupakan bahwa negara mereka tidak pernah akur. Demikian juga Team Irak bisa saja bertanding dengan Team Amerika Serikat dan melupakan bahwa saat ini negara mereka sedang berperang. Tapi, itulah dunia terorisme. Mereka tidak mau tahu apakah aksi mereka merugikan persepakbolaan nasional. Yang penting, misi mereka tercapai.
Kesimpulannya adalah efek peledakan bom Hotel J.W. Marriott dan Hotel Ritz Carlton tidak terlalu signifikan menimbulkan ketakutan terutama masyarakat asing dan dunia usaha. Proses recovery relatif singkat, bahkan diprediksikan dalam hitungan pekan atau bulan. Jika pada saat ini ada rasa ketakutan dan kekhawatiran, datangnya justru dari pemberitaan beberapa media yang terkesan mem-blow up secara besar-besaran, kurang proporsional, dan vulgar. Demikian juga berbagai analisis dari pakar atau yang dianggap pakar terorisme (yang tentu saja antara satu dengan yang lainnya seringkali bertolak belakang), turut menyumbang ketakutan dan kekhawatiran. Namun sekali lagi, hal tersebut tidak berlangsung lama. Bahkan meskipun merasa takut, khawatir, sedih, atau marah, masyarakat menjadikan pewartaan peledakan bom dengan segala embel-embelnya sebagai hal yang ditunggu-tunggu layaknya kecanduan sinetron atau telenovela yang bertele-tele itu.
Untuk meredam ketakutan dan meningkatkan kepercayaan dunia interansional serta dunia usaha atas kondisi keamanan di Indonesia, diperlukan langkah-langkah cepat dan cermat dalam mengidentifikasi pelaku, metode, maupun keterkaitan dengan jaringan terorisme yang ada di Indonesia. Kesigapan aparat dalam bertindak dan menemukan clues aksi terror, merupakan salah satu kemungkinan reaksi masyarakat dan dunia usaha tidak terlalu lenting. Artinya masyarakat dan dunia usaha telah mempercayai kemampuan aparat keamanan baik dari aspek kemampuan SDM maupun aspek teknologinya. Apalagi satuan anti terror Den-88 yang dibentuk pasca bom Bali I tahun 2002, telah teruji dalam berbagai peristiwa bom di Indonesia. Oleh karena itu, persepsi positif masyarakat dan dunia usaha ini perlu dijadikan moment penting untuk melakukan penangkapan Nurdin M.Top dan kelompoknya. Kalau perlu dijadikan kegiatan prioritas dalam 3 (tiga) bulan pemerintahan baru SBY – Budiono.
GunartaJl Makmur No 102A Kekupu Rangkapan Jaya Pancoran Mas Depokgunarta@bappenas.go.id08158719703
Penulis adalah Perencana Bappenas.
(msh/msh) Tetap update informasi di manapun dengan http://m.detik.com dari browser ponsel anda!
Gunarta - suaraPembaca
Meledaknya bom di Hotel J.W. Marriott dan Hotel Ritz Carlton pada tanggal 17 Juli 2009 merupakan tragedi kemanusiaan yang gaungnya mendunia. Mendunia karena kebetulan kedua hotel tersebut milik jaringan hotel internasional dan yang menjadi korban kebanyakan orang asing. Di tengah persiapan event olah raga nasional tim sepak bola Indonesian all Star melawan Manchester United yang merupakan prestise dan kesempatan langka, terpaksa dibatalkan karena terjadi ledakan bom yang menewaskan 9 orang dan puluhan luka-luka. Peristiwa ini memunculkan keprihatinan semua pihak dan merupakan pukulan bagi negara kita yang baru berhasil membangun citra aman di mata internasional dan dunia usaha, terutama dari aksi terorisme.
Hal yang menarik dari aksi teror bom di Hotel J.W. Marriott dan Hotel Ritz Carlton adalah meskipun dampaknya mendunia, tetapi reaksinya tidak sebesar yang dikhawatirkan berbagai pihak. Hal ini terbukti tidak ada pembatalan kunjungan wisata dan percepatan singgah warga negara asing dalam skala besar. Dari beberapa pernyataan di media, warga negara asing merasa tidak terlalu khawatir untuk berkunjung ke Indonesia, karena mereka menganggap aksi terorisme dapat terjadi di mana saja termasuk di negaranya masing-masing. Penurunan kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia diprediksikan paling banter hanya 6 bulan, (bahkan 3 bulan, Koran Tempo, 28 Juli 2009), setelah itu akan kembali normal. Demikian juga prediksi penurunan hunian hotel sebesar 25 persen, beberapa pekan ini menunjukkan kecenderungan pulih kembali. Oleh karena itu, upaya untuk mengkoreksi target Indonesian Visit Year 2009 rasanya belum perlu dilakukan.
Pasar saham dan valas yang selama ini paling sensitif terhadap situasi politik, hukum dan keamanan dalam negeri, justru menunjukkan sentiment positif. Pasca ledakan bom, nilai tukar rupiah dan pasar saham sempat turun beberapa point. Tetapi tidak sampai seminggu, rupiah terapresiasi terhadap dollar. Sementara itu, indek harga saham gabungan (IHSG) menunjukkan peningkatan beberapa point. Dalam hal investasi, tidak secara nyata terlihat adanya pelarian modal dalam skala besar-besaran. Beberapa calon investor asing masih berminat untuk menanamkan modalnya di Indonesia dan tidak terlalu terpengaruh kasus peledakan bom.
Reaksi negara-negara Barat-pun, relative “adem ayem” dan tidak buru-buru memberikan travel warning. Hanya Australia yang memberikan travel advisory, semacam peringatan berhati-hati berkunjung Indonesia, bukan larangan berkunjung. Negara-negara Barat justru menunjukkan simpati dan dukungan kepada aparat keamanan Indonesia untuk melakukan investigasi secara tuntas. Pernyataan bantuan teknis pengungkapan dan kerjasama memerangi aksi terror, mengalir dari berbagai negara maju Seperti Rusia, China, dan Australia. Hal yang sangat berbeda ketika terjadi bom Bali 1 pada tahun 2002. Reaksi ketakutan begitu menyebar ke seluruh dunia, sehingga hampir seluruh negara Barat mengeluarkan Travel Warning kepada warganya agar untuk sementara waktu tidak berkunjung ke Indonesia.
Dampak yang justru dirasakan adalah perasaan sangat kecewa penggemar olah raga sepak bola Indonesia. Mereka tidak habis mengerti, mengapa di saat persepakbolaan Indonesia baru mulai belajar bangkit dan susah-payah mendatangkan “guru” kampiun sekelas Manchester United, direcokin oleh peledakan bom hanya kebetulan mereka Bule (Dunia Barat). Padahal jelas, dengan sepak bola, Team Iran bisa saja bertanding dengan Team Israel dan melupakan bahwa negara mereka tidak pernah akur. Demikian juga Team Irak bisa saja bertanding dengan Team Amerika Serikat dan melupakan bahwa saat ini negara mereka sedang berperang. Tapi, itulah dunia terorisme. Mereka tidak mau tahu apakah aksi mereka merugikan persepakbolaan nasional. Yang penting, misi mereka tercapai.
Kesimpulannya adalah efek peledakan bom Hotel J.W. Marriott dan Hotel Ritz Carlton tidak terlalu signifikan menimbulkan ketakutan terutama masyarakat asing dan dunia usaha. Proses recovery relatif singkat, bahkan diprediksikan dalam hitungan pekan atau bulan. Jika pada saat ini ada rasa ketakutan dan kekhawatiran, datangnya justru dari pemberitaan beberapa media yang terkesan mem-blow up secara besar-besaran, kurang proporsional, dan vulgar. Demikian juga berbagai analisis dari pakar atau yang dianggap pakar terorisme (yang tentu saja antara satu dengan yang lainnya seringkali bertolak belakang), turut menyumbang ketakutan dan kekhawatiran. Namun sekali lagi, hal tersebut tidak berlangsung lama. Bahkan meskipun merasa takut, khawatir, sedih, atau marah, masyarakat menjadikan pewartaan peledakan bom dengan segala embel-embelnya sebagai hal yang ditunggu-tunggu layaknya kecanduan sinetron atau telenovela yang bertele-tele itu.
Untuk meredam ketakutan dan meningkatkan kepercayaan dunia interansional serta dunia usaha atas kondisi keamanan di Indonesia, diperlukan langkah-langkah cepat dan cermat dalam mengidentifikasi pelaku, metode, maupun keterkaitan dengan jaringan terorisme yang ada di Indonesia. Kesigapan aparat dalam bertindak dan menemukan clues aksi terror, merupakan salah satu kemungkinan reaksi masyarakat dan dunia usaha tidak terlalu lenting. Artinya masyarakat dan dunia usaha telah mempercayai kemampuan aparat keamanan baik dari aspek kemampuan SDM maupun aspek teknologinya. Apalagi satuan anti terror Den-88 yang dibentuk pasca bom Bali I tahun 2002, telah teruji dalam berbagai peristiwa bom di Indonesia. Oleh karena itu, persepsi positif masyarakat dan dunia usaha ini perlu dijadikan moment penting untuk melakukan penangkapan Nurdin M.Top dan kelompoknya. Kalau perlu dijadikan kegiatan prioritas dalam 3 (tiga) bulan pemerintahan baru SBY – Budiono.
GunartaJl Makmur No 102A Kekupu Rangkapan Jaya Pancoran Mas Depokgunarta@bappenas.go.id08158719703
Penulis adalah Perencana Bappenas.
(msh/msh) Tetap update informasi di manapun dengan http://m.detik.com dari browser ponsel anda!
Langganan:
Postingan (Atom)