Rabu, 28 April 2010

PENURUNAN KRIMINALITAS DAN MENINGKATNYA CLEARENCE RATE SEBAGAI WUJUD PELAKSANAAN TUGAS KEPOLISIAN

Indeks kriminalitas (crime index) merupakan salah satu indikator untuk mengukur kondisi keamanan dan ketertiban di masyarakat. Indeks kriminalitas merupakan perbandingan antara jumlah kejahatan saat ini dengan jumlah kejahatan tahun lalu dikalikan 100%. Metode pengukuran yang hampir senada adalah tingkat kriminalitas (crime rate), yaitu jumlah kejahatan dibagi dengan jumlah penduduk dikalikan 100.000. Metode pengukuran lain yang juga sering dipakai adalah pengukuran waktu terjadinya kejahatan (crime clock).

Metode pengukuran dengan indeks kriminalitas dan tingkat kriminalitas memiliki kesamaan kecenderungan, di mana semakin tinggi angkanya berarti semakin rendah tingkat keamanan di masyarakat. Sementara untuk crime clock kebalikannya, di mana semakin tinggi nilainya berarti kondisi keamanan dan ketertiban masyarakat semakin membaik. Hal ini berarti juga resiko penduduk terkena tindak pidana (crime risk) menurun karena selang waktu terjadinya kejahatan semakin lama.

Sementara itu, untuk mengukur keberhasilan Polri dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya, salah satunya adalah seberapa besar kemampuan Polri menyelesaikan perkara pidana (clearance rate). Nilainya dihitung berdasarkan perbandingan antara jumlah kasus yang diselesaikan dengan jumlah kriminalitas pada tahun yang sama dikalikan 100%. Keberhasilan menyelesaikan perkara ini seringkali lebih mencerminkan kinerja Polri, meskipun hal tersebut tidak mungkin berdiri sendiri.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002, Polri memiliki tiga tugas utama yaitu : (a) memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; (b) menegakkan hukum; dan (c) memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Tugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat dilakukan dengan melakukan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli (Turjawali) dalam suatu komunitas masyarakat. Sifatnya preventif dan tidak hanya mengandalkan pelaksanaan Turjawali, tetapi kerjasama/kemitraan dengan masyarakat sangat diperlukan sehingga keperdulian masyarakat akan keamanan dan ketertiban lingkungannya dapat terpelihara.

Tugas menegakkan hukum akan dilakukan jika ada warga yang melakukan pelanggaran yang benar-benar dianggap telah melanggar hukum, merugikan orang lain, meresahkan orang lain, dan tentunya ada warga yang melaporkannya (meskipun dalam hal ini Polri juga memiliki diskresi untuk menindak tanpa ada laporan dari masyarakat). Tugas penegakan hukum ini bisa dilakukan dengan cara-cara repersif jika ada perlawanan dari pelaku pelanggaran. Selanjutnya untuk tugas ketiga, yaitu memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, merupakan tugas yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Tugas ini sangat krusial, di mana keberhasilan pelaksanaannya akan menentukan kepercayaan masyarakat kepada lembaga kepolisian.

Dalam dokumen RPJMN 2010 – 2014 disebutkan bahwa kemampuan aparat keamanan dalam melakukan penjagaan, pengawalan, dan patroli belum didukung oleh sistem pelaporan kejahatan termasuk sistem emergensi nasional dan penanganan kejahatan yang modern. Akibatnya, banyak laporan kejahatan yang menimpa masyarakat tidak dapat direspon dengan cepat dan tepat, yang berujung pada banyak kasus kejahatan.

Dalam rangka mendukung tugas pokok Polri, terutama dalam rangka menurunkan indeks kriminalitas dan mendongkrak tingkat penyelesaian perkara (crime clearance) yang masih stagnan pada angka 52 %, pada saat ini di setiap Polda telah terbentuk satuan-satuan khusus yang menangani kejahatan khusus seperti terorisme, narkoba, satuan pengamanan pariwisata di Yogyakarta dan Bali, serta pelayanan khusus terhadap kejahatan perempuan dan anak-anak. Peningkatan kualitas personel diupayakan melalui pendidikan dan pelatihan baik di dalam maupun luar negeri melalui mekanisme pelatihan bersama dan kerja sama operasional dengan sejumlah negara. Selanjutnya dalam rangka perpolisian masyarakat (Polmas), target pelatihan sebanyak 70.000 petugas Polmas telah tercapai secara keseluruhan pada tahun 2009, yang berarti seluruh desa/kelurahan Indonesia akan terjangkau oleh program ini.

Di sisi lain, angka penyimpangan profesi yang mencapai lebih dari 2,5 % dari total jumlah anggota Polri merupakan gambaran profesionalitas anggota Polri yang belum sepenuhnya prima. Terkait dengan penyimpangan profesi aparat keamanan, pemerintah melalui institusi Polri telah melakukan tindakan tegas termasuk pemecatan bagi anggota Polri yang melakukan pelanggaran displin, pelanggaran kode etik, dan penyimpangan tugas lainnya tanpa pandang bulu.

Dengan beberapa keberhasilan sekaligus ada beberapa kelemahan tersebut menjadikan pelaksanaan tugas kepolisian ke depan semakin menantang. Penuntasan perkara kejahatan baik kejahatan konvensional, transnasional, kejahatan terhadap kekayaan negara, maupun kejahatan berimplikasi kontijensi rata-rata masih pada kisaran 52 % setiap tahunnya. Bahkan apabila dilihat tingkat keberhasilannya, proporsi penuntasan kejahatan konvensional relatif paling rendah dibandingkan dengan kejahatan yang lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa langkah penuntasan kejahatan belum secara sepenuhnya menyentuh keselamatan seluruh lapisan masyarakat yang merupakan hak dasar dalam keamanan dan kenyamanan dalam beraktivitas.
Di sisi lain, permasalahan yang masih dihadapi institusi adalah proses penyelidikan dan penyidikan yang belum didukung dengan kemampuan sumber daya manusia dan teknologi penyidikan yang memadai. Banyaknya kasus salah tangkap dan kekerasan yang menimpa para tersangka juga telah menimbulkan keprihatinan akan akuntabilitas penuntasan perkara.

Menghadapi permasalahan tersebut, maka RPJM 2010 – 2014 merumuskan dua sasaran pokok dalam rangka meningkatkan keamanan dan ketertiban masyarakat. Pertama, menurunnya tingkat kejahatan (criminal rate) yang meliputi kejahatan konvensional, transnasional, kontingensi, serta kekerasan terhadap perempuan dan anak menjadi sekitar 105-95 kejadian per 100.000 penduduk. Penurunan tingkat kejahatan ini akan berdampak pada meningkatnya kondisi keamanan dan ketertiban masyarakat. Kedua, meningkatnya persentase penuntasan kejahatan konvensional, transnasional, kontingensi, serta kekerasan terhadap perempuan dan anak menjadi 55 - 60%. Meningkatnya persentase penuntasan kejahatan ini akan meningkatkan kepastian hukum bagi para tersangka.

Untuk mencapai sasaran RPJM 2010 – 2014 tersebut, arah kebijakan yang akan diambil adalah : (a) penerapan program “quick win” oleh Polri sampai ke tingkat Polres di seluruh wilayah NKRI; (b) peningkatan kapasitas SDM dan modernisasi teknologi kepolisian sebagai bagian penerapan reformasi Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan (c) peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga kepolisian. Berkaitan dengan arah kebijakan ini, maka strategi yang ditempuh adalah menurunkan kejadian kriminal (crime index) dan meningkatkan penuntasan kejahatan (clearance rate). Dalam rangka meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga kepolisian, peningkatan kinerja dan transparansi lembaga kepolisian, serta perbaikan tata kelola “complain resolution” dari masyarakat menjadi penjuru dalam strategi ini.

Menilik sasaran, arah kebijakan, serta strategi untuk mencapai sasaran tersebut, optimisme harus selalu dijaga walaupun realitas yang dihadapi cukup berat. Secara internal, pemerintah dalam hal ini Polri menghadapi masalah profesionalitas dan citra Polri yang belum juga menunjukkan perbaikan yang cukup signifikan. Upaya reformasi di tubuh Polri masih dihadapkan pada banyaknya kasus-kasus hukum, penyalahgunaan wewenang, serta penyimpangan tugas dan fungsi polri.

Stagnasi clearance rate pada kisaran 52 % diduga terkait dengan keterbatasan anggaran penyelidikan dan penyidikan tindak pidana. Setiap kasus tindak pidana telah ditetapkan besaran biayanya. Untuk kasus pidana kategori sangat sulit disediakan dana sebesar Rp. 25.790.000,-, kategori sulit disediakan dana sebesar Rp. 14.925.000,-, kategori sedang disediakan dana sebesar Rp. 9.300.000,-, dan kategori biasa disediakan dana sebesar Rp. 4.740.000,-. Dengan demikian, setiap unit reserse kinerjanya diukur dari pencapaian target yang telah ditetapkan. Artinya jika dalam satu tahun ditargetkan sebanyak 40 kasus, maka maksimal kasus yang diselesaikan sebanyak 40 kasus. Jika melebihi target atau terlalu berprestasi, justru akan dipertanyakan sumber pembiayaannya. Kondisi tersebut menyebabkan para penyidik tidak dapat melakukan improvisasi secara bebas dan terpaksa tebang pilih kasus yang dianggap menonjol dan dapat meningkatkan kariernya. Akibatnya banyak kasus-kasus yang dianggap tidak berbobot terpaksa tidak ditindaklanjuti dan dilepas begitu saja. Tentunya dengan sejumlah persyaratan yang kadangkala memberatkan tersangka.

Salah satu keberhasilan pelaksanaan tugas dan fungsi kepolisian, terutama dalam hal penanganan tindak kriminalitas adalah seberapa besar partisipasi masyarakat dalam melaporkan tindak kejahatan yang dialaminya. Tanpa laporan dari masyarakat, polisi tidak dapat melakukan langkah penyelidikan dan penyidikan terhadap suatu kasus kejahatan yang menimpa masyarakat.

Sayangnya sampai saat ini lembaga kepolisian belum sepenuhnya mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Seringkali masyarakat (pelapor) merasa tidak nyaman bila berhubungan dengan lembaga kepolisian karena proses yang berbelit-belit, makan waktu yang lama, dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Pandangan bahwa “melapor kehilangan ayam malah kehilangan kambing”, sampai saat ini masih melekat di sebagian masyarakat. Sementara dari kinerja penyidikan, masih banyak hasil penyidikan yang dibantah oleh terlapor ketika berperkara di pengadilan karena proses investigasi diwarnai intimidasi dan penyiksaan.

Gunarta
Gambar diambil dari : http://polreskotasukabumi.net/polisi-mitra-masyarakat/

Minggu, 25 April 2010

MENUJU INDONESIA BEBAS NARKOBA TAHUN 2015



Dalam beberapa pertemuan yang membahas tentang pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan narkoba, frasa ”bebas narkoba” menimbulkan persepsi bebas menggunakan narkoba. Persepsi yang lain, narkoba dapat dijualbelikan secara bebas di pasaran. Tentu saja kedua persepsi tersebut tidaklah tepat. Menurut BNN, salah satu indikator utama dari Indonesia bebas Narkoba pada tahun 2015 adalah semua masyarakat tahu akan bahaya narkoba. Meskipun narkoba berseliweran di masyarakat, masyarakat akan imun dan tidak tergoda untuk menyalahgunakannya.

Konsep Indonesia bebas narkoba tahun 2015 adalah mengikuti kesepakatan yang telah dibuat diantara negara-negara ASEAN, yaitu Drug Free ASEAN (DFA) 2015. Sebuah konsep yang cukup bagus untuk membebaskan masyarakat ASEAN pada umumnya, dan masyarakat Indonesia khususnya terbebas dari bahaya narkoba.

Yang jadi pertanyaan adalah mampukah Indonesia mencapai sasaran tersebut ? Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus melihat dan mempelajari berbagai program pembangunan terkait dengan pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan narkoba. Pada saat ini telah tersusun rencana program dan kegiatan jangka menengah yang tuangkan dalam peraturan presiden. Di samping itu, penguatan Badan Narkotika Nasional menjadi lembaga setingkat kementerian diharapkan kinerja pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan narkoba akan semakin efektif.

Peraturan Presiden Nomor 5 tahun 2010 tentang RPJMN 2010 – 2014 pada Bab 7 Bidang Pertahanan dan Keamanan menyebutkan bahwa : ”Dewasa ini Indonesia belum dapat sepenuhnya melepaskan diri dari ancaman kejahatan Narkoba. Prevalensi penyalahgunaan narkoba yang menunjukkan angka 1,5 – 1,9 % penduduk mengindikasikan bahaya kejahatan narkoba telah sampai pada tingkatan mengkhawatirkan. Kisaran harga narkoba yang tinggi dan keuntungan yang besar mengakibatkan bisnis dan penyalahgunaan Narkoba di Indonesia lebih marak jika dibandingkan dengan harga negara-negara Asia lainnya. Modus operandi kejahatan narkoba di wilayah hukum Indonesia tampaknya juga semakin canggih. Bahkan, berbagai temuan menunjukkan bahwa selain munculnya kecenderungan baru dengan memanfaatkan warga negara asing terutama yang berasal dari Iran, sindikat Afrika Barat telah bekerja sama dengan sindikat China dalam menjalankan bisnis narkoba di Indonesia. Selain itu, kelonggaran peraturan perundang-undangan dan ketidakmaksimalan pengawasan terhadap impor bahan baku narkoba sintesis semakin mempermudah pelaku untuk mendirikan laboratorium penghasil narkoba. Dengan demikian, Indonesia dapat dikatakan sebagai negara produsen, terutama narkoba sintetis dan ganja, sekaligus pasar potensial dalam perdagangan narkoba.

Dalam kurun waktu tahun 2000 sampai dengan pertengahan tahun 2008 kasus tindak pidana narkoba meningkat lebih dari 7 kali lipat, dengan kecenderungan tersangka semakin muda usianya. Jika pada tahun 2000 jumlah kasus hanya 3.748 kasus, pada tahun 2007 meningkat menjadi 22.630 kasus dan pada tahun 2008 mencapai 29.364 kasus. Sementara itu, jumlah tersangka di bawah umur 25 tahun yang berarti golongan muda, pelajar, dan mahasiswa proporsinya rata-rata mencapai 36,48 %. Berbagai upaya penegakan hukum bagi kejahatan narkoba terus dilakukan secara intensif terutama di kantong-kantong kejahatan narkoba. Dalam 5 tahun terakhir, puluhan ribu kasus narkoba berhasil diselesaikan, puluhan produsen gelap narkoba dalam skala kecil dan besar berhasil diungkap, dan lebih dari 70 orang diputus pidana mati, 5 di antaranya telah dieksekusi mati. Laporan World Drug Report tahun 2008 bahkan menempatkan Indonesia sebagai salah satu dari 10 negara terbesar melakukan penyitaan narkoba. Sementara itu, jumlah serta cakupan dan kualitas lembaga pelayanan terapi dan rehabilitasi korban penyalahgunaan narkoba, baik yang dilakukan oleh masyarakat maupun oleh negara, seperti Unit Terapi dan Rehabilitasi BNN di Lido tercatat juga semakin meningkat. Namun, upaya dalam mengawasi dan mengendalikan peredaran gelap narkoba melalui penegakan hukum dan pemberantasan jaringan narkoba ini tampaknya belum diimbangi dengan upaya peningkatan ketahanan masyarakat dari kejahatan narkoba sehingga berbagai upaya keras yang telah dilakukan selama ini sepertinya tidak memberikan sumbangan yang berarti bagi penurunan angka prevalensi narkoba”.

Berdasarkan kondisi sebagaimana diuraikan di atas, maka upaya menangani penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika menghadapi permasalahan yang tidaklah ringan. Upaya pemberantasan peredaran gelap narkoba terus dilakukan secara intensif dan menunjukkan hasil yang signifikan terutama dalam hal kasus pengungkapan laboratorium gelap dan pengungkapan sindikat narkotika baik yang memiliki jaringan nasional maupun internasional. Namun, prevalensi penyalagunaan narkoba yang justru semakin meningkat, yaitu dari 1,55% menjadi 1,99%, menunjukkan bahwa upaya pencegahan yang dilaksanakan selama ini masih kurang dapat mengimbangi upaya pemberantasan peredaran gelap narkoba. Misi untuk mewujudkan Indonesia bebas narkoba pada tahun 2015 menghadapi tantangan yang cukup berat terutama jika dikaitkan dengan peranan pemangku utama khususnya Pemerintah Daerah dalam pencegahan penyalahgunaan narkoba. Ketersediaan sarana dan prasarana terapi dan rehabilitasi narkoba yang saat ini jumlahnya masih terbatas dan belum sepenuhnya dapat menjangkau dan melayani korban penyalahgunaan narkoba juga merupakan permasalahan yang harus diatasi dalam lima tahun ke depan.

Menghadapi permasalahan tersebut, maka sasaran pembangunan pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan narkoba yang ingin dicapai dalam RPJM N 2010 – 2014 adalah menurunnya angka penyalahgunaan narkoba dan menurunnya peredaran gelap narkoba yang tercermin pada menurunnya angka prevalensi penyalahgunaan narkoba menjadi di bawah 1,5 %. Tercapainya sasaran ini akan membebaskan Indonesia dari narkoba pada tahun 2015, dalam arti seluruh masyarakat sadar dan mengetahui akan bahaya penyalahgunaan narkoba.
Untuk mencapai sasaran tersebut arah kebijakan akan ditempuh adalah dengan ekstensifikasi dan intensifikasi pencegahan penyalahgunaan narkotika, penyediaan fasilitas terapi dan rehabilitasi bagi korban penyalahgunaan Narkotika yang terjangkau seluruh lapisan masyarakat, dan pemberantasan jaringan narkotika. Adapun strateginya dengan mendorong masyarakat menjadi imun narkotika, membantu korban penyalahgunaan agar pulih kembali, dan memberantas jaringan pengedar narkoba. Startegi ini utamanya akan menggunakan pendekatan yang bersifat pemberdayaan lingkungan kerja, keluarga, dan pendidikan.

Mencegah dan Menanggulangi Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba merupakan fokus dari prioritas Peningkatan Rasa Aman dan Ketertiban Masyarakat. Berkenaan dengan hal tersebut, Badan Narkotika Nasional sebagai pemangku utama program Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN) akan melaksanakan 7 (tujuh) kegiatan prioritas, yaitu : (a) Pelaksanaan Kegiatan Diseminasi Informasi di Bidang P4GN; (b) Pelaksanaan Alternative Development; (c) Pelaksanaan Kegiatan Penindakan dan Pengejaran; (d) Pelaksanaan Kegiatan Interdiksi; (e) Pelaksanaan Pengembangan Rehabilitasi Instansi Pemerintah; (f) Pelaksanaan Pengembangan Rehabilitasi Berbasis Komponen Masyarakat; dan (g) Peningkatan Kapasitas Pelayanan BNN di Daerah.

Keseriusan pemerintah dalam membebaskan Indonesia dari narkoba pada tahun 2015 juga didukung dengan ditetapkan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Implikasi dari Undang-Undang ini adalah terbentuknya BNN vertikal di tingkat propinsi dan kabupaten/kota yang diharapkan akan lebih operasional dibandingkan dengan BNNP/BNNKab/Kota yang operasionalnya sangat tergantung pada “keikhlasan” pemerintah daerah.

Menilik upaya-upaya yang dilakukan pemerintah dalam mencegah dan penanggulangan penyalahgunaan narkoba tersebut, maka keinginan Indonesia untuk bebas narkoba pada tahun 2015 optimis dapat tercapai. Program P4GN sebagai pendulum utama kegiatan-kegiatannya cukup implementatif dan konphrehensif, asal tetap fokus dan tepat sasaran. Namun kendala yang dihadapi oleh BNN sebagai pemangku program P4GN adalah masalah kecukupan anggaran. Hal ini terkait dengan besarnya struktur organisasi BNN yang kalau terpenuhi semua akan ada 33 BNN propinsi dan 483 BNN Kabupaten/Kota. Besarnya struktur organisasi tersebut, tentu berdampak pada peningkatan jumlah pegawai, anggaran operasional organisasi, dan anggaran P4GN termasuk pusat terapi dan rehabilitasi, pusat pendidikan dan latihan, operasional kantor pusat dan sebagainya.

Keterbatasan anggaran inilah yang menyebabkan dalam kurun waktu 2010 - 2014 hanya akan dibangun 14 BNN Propinsi dan 100 BNN Kabupaten/Kota. Sisanya akan dilaksanakan pada periode RPJM yang akan datang. Meskipun sebenarnya hal tersebut melanggar UU Nomor 35/2009, tetapi memaksakannya untuk dipenuhi sebagaimana diamanatkan dalam undang-undang tersebut akan berdampak pada bidang-bidang pembangunan yang lainnya.

gunarta

Gambar diambil dari : www.rizalmaarif.wordpress.com

Jumat, 23 April 2010

REPRESIFNYA SATPOL PP


Akhir-akhir ini bentrok Satpol PP dengan warga masyarakat menjadi pemberitaan hangat yang menghiasi media cetak dan elektronik. Peristiwa bentrok tersebut biasanya merupakan imbas dari langkah Satpol PP melakukan penertiban pedagang kaki lima, pembongkaran bangunan liar, eksekusi penggusuran lahan, atau penertiban masyarakat penyandang masalah sosial seperti gelandangan, pengemis, dan pekerja seks komersial. Sayangnya pemberitaan bentrok tersebut seringkali menonjolkan Satpol PP sebagai pihak yang menganiaya, sedangkan masyarakat korban sebagai pihak yang teraniaya. Sementara itu latar belakang yang memicu terjadinya bentrok tidak dieskpos secara berimbang.
Kasus yang terakhir adalah peristiwa bentrok antara Satpol PP dengan warga sekitar makam Mbah Priok yang menelan korban 3 orang anggota Satpol PP dan puluhan warga mengalami luka-luka. Kasus tersebut dapat dikatakan sebagai puncak dari kekurang-harmonisan antara “warga” (yang melanggar peraturan dan tata tertib daerah) dengan Satpol PP, sehingga merembes ke ranah politik dan menyoal eksistensi Satpol PP. Besarnya tekanan publik yang didukung oleh pemberitaan media secara bertubi-tubi, memaksa para petinggi negara untuk bicara dan menanggapi dalam kasus ini.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2004, Satuan Polisi Pamong Praja mempunyai tugas memelihara dan menyelenggarakan ketenteraman dan ketertiban umum, menegakkan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah. Untuk mendukung tugas tersebut, Polisi Pamong Praja memiliki wewenang : (a) menertibkan dan menindak warga masyarakat atau badan hukum yang mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum; (b) melakukan pemeriksaan terhadap warga masyarakat atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah; dan (c) melakukan tindakan represif non yustisial terhadap warga masyarakat atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah.

Dari uraian tugas dan wewenang tersebut, secara jelas tidak ada gambaran hubungan kesetaraan antara satpol PP dengan “warga”. Artinya hubungan keduanya adalah mengawasi dan diawasi, bukan saling mengawasi. Satpol PP yang mengawasi memiliki kedudukan yang lebih kuat dibandingkan dengan “warga”yang diawasi. Dibekali peraturan perundangan (Perda), Satpol PP bisa melakukan tindakan represif tanpa takut melanggar hukum. Akibatnya, Satpol PP seringkali dilihat sebagai momok bagi “warga”, tukang gusur, orang yang ditakuti, tidak ada bedanya dengan perilaku premanisme, dan sebisa mungkin akan dihindari meskipun hanya sekedar bertatap muka.

Berbeda dengan tugas dan fungsi lembaga Polri. Menurut Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002, Polri memiliki tiga tugas utama yaitu : (a) memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; (b) menegakkan hukum; dan (c) memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Tugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat dilakukan dengan melakukan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli (Turjawali) dalam suatu komunitas masyarakat. Sifatnya preventif dan tidak hanya mengandalkan pelaksanaan Turjawali, tetapi kerjasama/kemitraan dengan masyarakat sangat diperlukan sehingga keperdulian masyarakat akan keamanan dan ketertiban lingkungannya dapat terpelihara.

Tugas menegakkan hukum akan dilakukan jika ada warga yang melakukan pelanggaran yang benar-benar dianggap telah melanggar hukum, merugikan orang lain, meresahkan orang lain, dan tentunya ada warga yang melaporkannya (meskipun dalam hal ini Polri juga memiliki diskresi untuk menindak tanpa ada laporan dari masyarakat). Tugas penegakan hukum ini bisa dilakukan dengan cara-cara repersif jika ada perlawanan dari pelaku pelanggaran. Selanjutnya untuk tugas ketiga, yaitu memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, merupakan tugas yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Tugas ini sangat krusial, di mana keberhasilan pelaksanaannya akan menentukan kepercayaan masyarakat kepada lembaga kepolisian.

Perbedaan antara satpol PP dengan Polri dapat diibaratkan perbedaan antara dua sisi mata belati dengan dua sisi pisau. Kalau Satpol PP, kedua sisinya tidak disukai oleh “warga”- tidak butuh. Sementara itu untuk Polri, satu sisi tidak disukai, sisi lainnya disukai – acuh tapi butuh. Dalam konteks inilah, Satpol PP harus dibenahi bukan dibubarkan, sehingga perannya tidak kaku dan hanya mengedepan perilaku represif terhadap “warga”. Paling tidak ada dua hal yang harus dibenahi, yaitu mekanisme operasional Satpol PP dengan menekankan pencegahan dari pada penindakan serta revisi peraturan pemerintah terkait tugas dan wewenang Satpol PP.

Pembiaran tumbuh-kembangnya sektor informal (underground economic) seperti pemukiman liar, pedagang kaki lima, pelacuran liar, atau warung remang-remang yang tidak memiliki ijin resmi merupakan salah satu sumber ketidaktentraman dan ketidaktertiban masyarakat. Biasanya di suatu lokasi - katakanlah di pinggir sungai yang jelas-jelas dilarang untuk aktivitas usaha -, munculnya satu unit usaha akan mendorong munculnya unit-unit usaha lainnya. Ketika tidak dicegah sejak dari awal, maka dalam beberapa waktu akan muncul usaha-usaha lain yang semakin lama semakin bertambah banyak. Area yang semula relatif aman dan nyaman, berubah menjadi sentra ekonomi dadakan yang masalahnya semakin kompleks dengan munculnya permasalahan lain seperti kesemrawutan, premanisme, atau hiburan liar malam (warung remang-remang).

Sebenarnya kalau pemerintah daerah disiplin dan tegas terhadap tumbuhnya bibit-bibit sektor informal ini, dikemudian hari mungkin tidak perlu ada tindakan represif Satpol PP dalam melaksanakan penertiban. Bagaimanapun juga pencegahan akan lebih murah dibandingkan langkah penindakan yang cenderung represif. Masalahnya, mentalitas beberapa aparat pemerintah daerah mudah tergoyahkan dengan sejumlah setoran untuk melanggengkan aktivitas sektor informal. Dengan kata lain, kegiatan sektor informal yang cenderung menimbulkan ketidaktertiban dan ketidakteraturan sengaja dipiara.

Selanjutnya peraturan pemerintah tentang Satpol PP yang perlu direvisi adalah bagaimana agar wewenang yang ada tidak hanya menempatkan Satpol PP sebagai penegak dan pengawas pelaksanaan peraturan daerah. Satpol PP harus difungsikan juga sebagai unsur pembinaan masyarakat dan sosialisasi berbagai peraturan daerah. Dengan demikian Satpol PP harus selalu melakukan pendekatan persuasif secara intens kepada “warga” yang bergerak di sektor informal, bukannya langsung gebuk tanpa ba-bi-bu. Tindakan represif adalah upaya akhir yang dilakukan kalau “warga” memang susah ditertibkan, atau melawan peraturan yang ada.

Pemerintah memang telah melakukan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 32 /2004 melalui Peraturan Pemerintah Nomor 6 / 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja. Dalam revisi tersebut terdapat penambahan tugas, fungsi, dan wewenang Satpol PP yang terkesan semakin luas. Namun demikian perubahannya belum secara jelas menggambarkan bagaimana Satpol PP yang memiliki dua sisi mata belati menjadi dua sisi mata pisau yang lebih bisa diterima oleh masyarakat. Penambahan substansi “pelaksanaan kebijakan perlindungan masyarakat” dan “fasilitasi dan pemberdayaan kapasitas penyelenggaraan perlindungan masyarakat” belum terbaca bagaimana tahapan pelaksanaan tugas Satpol PP yang mengedepankan tindakan persuasif dari pada tindakan represif.

Gambar diambil dari : http://dijurnal-blog.blogspot.com/2009/04/

POTENSI PROPINSI BENGKULU YANG KURANG TEREKSPOSE



Pada tanggal 14 – 15 April 2010 saya berkesempatan mendampingi Bapak Deputi Politik, Hukum, Pertahanan dan Keamanan Bappenas dan Bapak Direktur Pertahanan dan Keamanan Bappenas menghadiri undangan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Propinsi (Musrenbang Prop) Bengkulu. Perjalanan dari Jakarta menuju Bengkulu dengan pesawat ditempuh dalam waktu 1 jam 5 menit (tetapi dari Bengkulu ke Jakarta hanya 55 menit). Dari ketinggian antara 3000 – 5000 kaki, sepanjang penerbangan hanya terlihat birunya Samudra Indonesia dan hamparan hutan yang sebagian masih lebat, sudah gundul, atau sudah menjadi hutan tanaman industri kelapa sawit.

Ketika pesawat akan mendarat, tidak seperti di daerah-daerah yang pernah saya kunjungi (Pontianak, Makassar, Padang, Manado, dan beberapa daerah yang lain), saya tidak menjumpai kekhasan kawasan bandara. Biasanya ketika pesawat akan mendarat, kita melihat kawasan pemukiman, kawasan perkantoran, atau kawasan industri yang terlihat menggerombol dihubungkan dengan jalan-jalan yang meliuk-liuk. Semakin banyak gerombolan kawasan pemukiman, kawasan perkantoran, dan kawasan industri menunjukkan semakin besarnya kota dan bandara yang akan didarati pesawat. Saya sempat sangsi apakah pesawat akan turun atau sekedar berputar-putar saja untuk menunggu giliran mendarat.

Kesangsian saya tersadarkan ketika pesawat sudah mendarat di Bandara Fatmawati Sukarno. Ternyata bandara tersebut tidak sebesar dengan nama yang dipanggulnya. Bandara hanya terdiri dari dua bangunan utama, yaitu bangunan serbaguna untuk aktivitas pemberangkatan dan kedatangan serta bangunan VIP milik Pemda Bengkulu untuk menyambut para tamu penting dari pusat. Sebagai tamu pusat, kami berkesempatan menikmati fasilitas VIP yang tidak terlalu mewah. Tidak seperti bandara-bandara yang pernah saya singgahi, tidak ada pesawat parkir di bandara tersebut. Rupanya pesawat hanya mendarat, menurunkan penumpang, isi bahan bakar, memuat penumpang dan terbang lagi. Proses ini membutuhkan waktu kurang lebih setengah sampai satu jam. Jam-jam berikutnya tidak terlihat kesibukan aktivitas bandara, alias sepi. Saya juga tidak melihat adanya fasilitas militer Angkatan Udara yang biasanya berdampingan dengan bangunan bandara.

Propinsi Bengkulu terdiri dari 1 kota dan 9 kabupaten yaitu Kota Bengkulu, Kabupaten Bengkulu Selatan, Kabupaten Bengkulu Tengah, Kabupaten Bengkulu Utara, Kabupaten Kaur, Kabupaten Kepahiang, Kabupaten Lebong, Kabupaten Mukomuko, Kabupaten Rejang Lebong, dan Kabupaten Seluma. Jumlah penduduk kurang lebih 2 juta dengan komposisi suku Jawa (22,31%), Rejang (21,36%), Serawai (17,87%), Melayu Bengkulu (7,93%), Lembak (4,95%), Minangkabau (4,28%), Sunda (3,01%), Lain-lain (18,29%) (id.wikipedia.org/wiki/Bengkulu).
Struktur perekonomian Bengkulu masih didominasi sektor pertanian, diikuti dengan sektor perdagangan, hotel dan restoran serta jasa. Kontribusi ketiga sektor ini terhadap perekonomian Bengkulu mencapai 75,58 persen (news.id.finroll.com). Perkebunan sebagai bagian sektor pertanian, terutama ditopang oleh perkebunan kelapa sawit, karet, coklat, dan kopi. Sementara itu, sektor perdagangan, hotel dan restoran serta jasa dalam beberapa tahun terakhir ini dilaporkan kontribusinya meningkat cukup signifikan.

Obyek/lokasi wisata di Propinsi Bengkulu cukup banyak dan bervariasi mulai dari wisata alam dan biologi, wisata budaya dan sejarah, serta wisata khusus. Wisata biologi dengan obyek Bunga Raflessia Arnoldy yang ditemukan pertamakali oleh Sir Thomas Raffles dan Dr. Arnoldy di Dusun Lubuk Tapi pada tahun 1818, memiliki nilai jual yang mendunia terkait dengan uniknya bunga tersebut. Demikian juga peninggalan Kolonial seperti Beteng Marlborough dapat disejajarkan dengan benteng-benteng sejenis di wilayah lain Indonesia. Pada saat ini, tidak kurang 28 obyek/lokasi wisata ada di Propinsi Bengkulu, 4 diantaranya yang saya kunjungi adalah :

Pantai Panjang. Terletak sekitar 3 km dari kota Bengkulu dan membentang sepanjang 7 km panjang pantai. Pohon cemara yang biasa tumbuh di area perbukitan, dapat tumbuh rindang di sepanjang pantai ini.

Benteng Marlborough. Benteng Marlborough merupakan benteng dibangun oleh perusahaan india timur dibawah kepemimpinan gubernur Joseph Callet. Benteng Marlborough berdiri mengahadap selatan, dan memiliki luas 44,100 meter persegi. Benteng ini mempunyai bentuk bangunan abad 18, menyerupai kura-kura. Pintu utamanya dikelilingi parit yang luas dan dapat dilalui oleh jembatan. Menurut masyarakat sekitar di benteng itu juga terdapat pintu keluar bawah tanah yang dulu digunakan pada waktu perang.

Rumah Pengasingan Bung Karno. Pada jaman koloni Belanda (1939-1942), Soekarno pernah diasingkan di Bengkulu. Selama dalam pengasingan Soekarno tinggal di rumah yang beralamat di Anggut Atas dan sekarang dikenal dengan jalan Soekarno-Hatta. Beberapa peralatan, sepeda, perpustakaan buku-buku, dan yang lainnya yang pernah dimiliki oleh soekarno disimpan didalam rumah ini. Selama tinggal di Bengkulu, Soekarno mendesain masjid, yang sekarang dikenal dengan Masjid Jamik (Jamik Mosque).

Makam Sentot Alibasyah. Terletak di Desa Bajak, Kecamatan Teluk Segara, Bengkulu. Sentot Alibasyah merupakan salah satu Panglima Pangeran Dipenegoro yang dikirim ke Bonjol waktu perang Padri.

Keempat lokasi wisata tersebut, dalam pandangan saya cukup indah dan menarik serta sangat prospektif dijadikan daerah tujuan wisata, baik nasional maupun internasional. Pantai Panjang dengan keunikannya pohon cemara, dapat disejajarkan dengan pantai Kuta apabila dapat dikelola dan dipromosikan dengan baik. Demikian juga Benteng Marlborough, Rumah Pengasingan Bung Karno, Makam Sentot Alibasyah yang lokasinya relatif berdekatan dengan Pantai Panjang dapat dijadikan paket wisata.

Namun sayangnya, potensi wisata yang sangat prospektif tersebut kurang didukung oleh infrastruktur yang memadai. Bandara Fatmawati Sukarno sebagai pintu gerbang utama masuk ke Propinsi Bengkulu, hanya disinggahi pesawat ukuran kecil sampai sedang. Jadwal penerbangan sangat terbatas, dan hanya dilayani oleh perusahaan penerbangan swasta dengan jumlah tidak sampai hitungan sepuluh jari. Garuda dan Merpati tidak memiliki rute ke Propinsi Bengkulu, tidak tahu kenapa. Padahal kalau dilihat jumlah penumpang dari dan ke Propinsi Bengkulu, okupansinya cukup tinggi. Dalam penerbangan kami Jakarta – Bengkulu PP, dari hampir 180 kursi Lion Air terisi penuh, padahal hari itu merupakan hari kerja, bukan hari libur.

Perjalanan darat mungkin tidak direkomendasikan untuk traveling wisatawan dari luar Bengkulu, kecuali wisatawan lokal yang berasal dari warga Propinsi Bengkulu dan warga propinsi tetangga Propinsi Bengkulu. Dalam penerbangan ke Bengkulu, kami sempat berkeinginan untuk menggunakan jalan darat menuju Jakarta. Perkiraan kami, paling hanya 8 jam sudah tiba ke Jakarta. Namun ketika ditanyakan kepada sopir rental di Bengkulu, perjalanan menuju Lampung saja diperkirakan memakan waktu 13 jam. Sementara dari Lampung ke Jakarta paling cepat 5 jam. Akhirnya kami mundur teratur dan tetap menggunakan penerbangan sesuai dengan jadwal.

Salah satu hal yang menyebabkan kenapa perjalanan darat ditempuh dalam waktu yang cukup lama adalah rusaknya infrastruktur jalan. Sebagian jalan antar kabupaten dan antar propinsi di wilayah Bengkulu dalam kondisi rusak, rawan longsor, dan banjir. Di samping itu, minimnya jumlah kendaraan yang melintas, sangat mungkin menimbulkan kekhawatiran gangguan keamanan bagi pengendara. Hal ini pula yang menyebabkan komoditas pertanian dan produk-produk industri yang masuk ke Bengkulu harganya relatif lebih mahal dibandingkan dengan propinsi yang lain. Di daerah-daerah P. Jawa, kelapa muda paling mahal 5.000 rupiah perbutir, di Bengkulu 7.000 rupiah perbutir karena harus didatangkan dari Padang. Demikian juga, harga sandal jepit sejenis Swalow dijual dengan harga 15.000 rupiah, padahal di kota-kota P. Jawa paling mahal 10.000 rupiah.

Perjalanan lautpun demikian halnya. Samudera Indonesia dengan gelombang yang cukup tinggi dan tidak adanya pelabuhan yang layak disinggahi kapal-kapal besar menyebabkan wilayah perairan Bengkulu hanya sekedar dilalui. Pelabuhan yang ada hanya untuk melayani pelayaran antar pulau dari Bengkulu ke Pulau Enggano dan beberapa pulau yang lainnya. Jadi praktis, aktivitas pelayaran di perairan Bengkulu adalah nelayan tradisional yang seringkali harus bersaing dengan pelaku illegal fishing yang katanya intensitasnya cukup tinggi di wilayah tersebut.

Hal terakhir dan penting yang perlu diperhatikan oleh Pemda Bengkulu adalah masalah kebersihan fasilitas publik di lokasi-lokasi wisata, khususnya WC Umum. Ketika saya mengunjungi Benteng Marlborough, saya mendapatkan pemandangan yang tidak layak dari segi estetika. Keinginan saya untuk buang air kecil, seketika sirna ketika melihat kondisi WC Umum sangat kotor sekali. Tepatnya jorok. Kondisi ini cukup kontras dengan keindahan benteng yang terpelihara dan tertata cukup rapi. Demikian juga, untuk kamar mandi dan WC fasilitas VIP milik Pemda di Bandara Fatmawati Sukarno. Ke-VIP-annya menjadi berkurang ketika melihat kondisi kamar mandi dan WC-nya tidak bersih.

Gunarta
Gambar diambil dari : http://download-bisnis.blogspot.com/2009/04/wellcome-to-raflessia-land-bengkulu.html

MEROKOK HUKUMNYA HARAM KARENA DAPAT MENYEBABKAN KANKER, SERANGAN JANTUNG, IMPOTENSI, DAN GANGGUAN KEHAMILAN DAN JANIN


Dalam beberapa hari belakangan ini, dan nampaknya masih akan menjadi polemik yang cukup hangat, masyarakat ramai membicarakan fatwa haram merokok oleh organisasi keagamaan Muhammadiyah. Rokok merupakan produk yang banyak dikonsumsi secara luas oleh masyarakat mulai dari kalangan petani, tukang becak, pegawai rendahan, sampai para eksekutif papan atas. Kegiatan merokok dilakukan sekedar sebagai teman minum kopi, kongkow-kongkow, atau diskusi-diskusi serius para staf dan eksekutif perusahaan. Sifatnya yang adiktif, menyebabkan orang mengkonsumsi rokok sampai berbatang-batang dan tanpa kemauan yang keras sulit untuk menghentikannya.

Budaya merokok ditengarai sudah ada berabad-abad yang lalu dan merambah berbagai tingkatan usia, tidak memandang kasta, dan keberadaannya memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi. Tidak mengherankan jika banyak orang berkecimpung dalam industri rokok, mulai dari industri rumahan dengan kapasitas produksi ratusan batang perhari sampai dengan industri modern dengan kapasitas produksi puluhan juta batang perhari.

Meskipun secara umum masyarakat mengetahui bahwa merokok membahayakan kesehatan, baik dari sisi pengguna maupun orang lain yang terpapar asap rokok, tetapi sepertinya masih banyak yang kurang peduli terhadap dampaknya. Banyaknya fakta bahaya merokok bagi kesehatan tidak menyurutkan keinginan masyarakat untuk tetap merokok. Peringatan pemerintah “Merokok Dapat Menyebabkan Kanker, Serangan Jantung, Impotens,i dan Gangguan Kehamilan dan Janin” tidak efektif, justru jumlah perokok malah semakin meningkat. Bahkan pemerintah sendiri, yang seharusnya bertanggung jawab terhadap kesehatan masyarakat, meraup pendapatan pajak yang sangat besar dari cukai rokok, nilainya mencapai puluhan trilyun rupiah pertahunnya.

Fatwa haram merokok

Pada tanggal 8 Maret 2008 Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengeluarkan Fatwa NO. 6/SM/MTT/III/2010 Tentang Hukum Merokok. Dalam fatwa tersebut dikatakan bahwa merokok hukumnya haram. Menurut fatwa tersebut, ada beberapa hal yang menyebabkan merokok haram hukumnya. Pertama, merokok membahayakan diri dan orang lain yang terkena paparan asap rokok. Merokok bertentangan dengan prinsip syariah, di mana suatu perbuatan tidak boleh membahayakan diri sendiri dan membahayakan orang lain.

Kedua, rokok merupakan zat adiktif dan mengandung unsur racun yang membahayakan pengguna dan orang lain yang terpapar asap rokok, meskipun tidak seketika. Ketiga, Perbuatan merokok mengandung unsur menjatuhkan diri ke dalam kebinasaan dan bahkan merupakan perbuatan bunuh diri secara perlahan dan hal ini merupakan larangan agama (QS. 7: 157; QS 2: 195; dan QS 4: 29). Keempat, karena merokok jelas membahayakan kesehatan bagi perokok dan orang sekitar yang terkena paparan asap rokok, maka pembelajaan uang untuk rokok berarti melakukan perbuatan mubazir (pemborosan) yang dilarang agama (Q. 17: 26-27).

Adanya fakta dan data dari sumber yang dapat dipercaya di dalam fatwa tersebut, cukup masuk akal dan mudah dipahami jika merokok dikategorikan sebagai perbuatan haram. Rokok ditengarai mengandung 4000 zat kimia, di mana 69 di antaranya adalah karsinogenik (pencetus kanker). Beberapa zat berbahaya di dalam rokok tersebut di antaranya tar, sianida, arsen, formalin, karbonmonoksida, dan nitrosamin. Kalangan medis dan para akademisi sepakat bahwa konsumsi tembakau adalah salah satu penyebab kematian, di mana setiap 5,8 detik orang meninggal akibat rokok.

Kematian balita di lingkungan orang tua merokok lebih tinggi dibandingkan dengan orang tua tidak merokok baik di perkotaan maupun di pedesaan. Kematian balita dengan ayah perokok di perkotaan mencapai 8,1 % dan di pedesaan mencapai 10,9 %. Sementara kematian balita dengan ayah tidak merokok di perkotaan 6,6 % dan di pedesaan 7,6 %. Resiko kematian populasi balita dari keluarga perokok berkisar antara 14 % di perkotaan dan 24 % di pedesaan.

Data SUSENAS 2006 yang diacu oleh fatwa tersebut, mencatat bahwa pengeluaran keluarga termiskin untuk membeli rokok mencapai 11,9 %, sementara keluarga terkaya pengeluaran rokoknya hanya 6,8 %. Pengeluaran keluarga termiskin untuk rokok menempati urutan kedua setelah pengeluaran untuk beras. Kenyataan ini menunjukkan bahwa, rokok menggeser kebutuhan makanan bergizi esensial bagi pertumbuhan balita. Balita harus memikul risiko kurang gizi karena keluarganya harus menyisihkan biaya untuk pembelian rokok orang tuanya.

Meskipun merokok diharamkan, fatwa tersebut tidak serta merta diterapkan secara ketat. Ada tahapan-tahapan yang harus dilalui bagi pecandu untuk benar-benar berhenti atau dipaksa berhenti. Bagi mereka yang belum atau tidak merokok wajib menghindarkan diri dan keluarganya dari percobaan merokok. Bagi mereka yang telah terlanjur menjadi perokok wajib melakukan upaya dan berusaha sesuai dengan kemampuannya untuk berhenti dari kebiasaan merokok. Fatwa tersebut diterapkan dengan prinsip berangsur, memberikan kemudahan, dan tidak mempersulit pecandunya. Prinsip ini sesuai dengan ajaran agama ketika Allah mengharamkan minuman keras, di mana kalau diterapkan secara frontal, sangat mungkin justru akan menimbulkan social shock dan resistensi.

Nilai strategis industri rokok

Tidak dapat disangkal bahwa industri rokok memiliki nilai yang cukup strategis bagi perekonomian negara. Banyak sektor yang terkait dengan industri rokok mulai dari petani tembakau, petani cengkeh, industri rokok sendiri, industri kertas, industri periklanan, transportasi, sampai dengan peritail rokok. Pada tahun 1998, penyerapan tenaga kerja industri rokok termasuk di berbagai sektor terkait mencapai 6,4 juta orang. Dengan efek ganda sekitar 10 persen, diperkirakan paling tidak 20 juta penduduk Indonesia tergantung pada industri rokok. Efek penggentar tersebut berasal dari aktivitas usaha yang menunjang kegiatan pabrik seperti usaha penitipan sepeda, kantin dan rumah pondokan pekerja, kegiatan antar-jemput pegawai, serta kegiatan lain semisal pengerjaan dan perawatan fasilitas pabrik seperti gedung dan jaringan jalan (Kompas, 2000).

Berdasarkan data Gaprindo (Kontan, 2009), jumlah pabrik rokok pada 2000 masih sekitar 600 pabrik skala besar, menengah, dan kecil. Selang tiga tahun kemudian, Pada 2003, jumlah pabrik mencapai 1.823 unit dan naik jadi 3.961 perusahaan pada 2006. Hingga 2007, jumlahnya telah menjadi 4.793 perusahaan. Skala produksi dari perusahaan ini mulai dari kecil hingga menengah. Sedangkan pada 2008, total pabrik rokok mencapai 4.900 – 5.000 perusahaan. Dominasi produksi rokok dikuasai oleh 3 pabrik rokok besar yaitu, Gudang Garam, Sampurna, dan Djarum. Namun demikian, seiring dengan meningkatnya cukai tembakau rokok, ditengarai banyak industri rokok skala rumahan yang tumbang karena kalah bersaing dan tidak mampu membayar cukai.

Menurut Ditjen Bea dan Cukai, pada tahun 2008, penerimaan Bea Masuk tembakau mencapai Rp 21,47 triliun, penerimaan cukai rokok mencapai Rp 48,048 triliun, dan penerimaan Bea Keluar tembakau dan rokok mencapai Rp 13,59 triliun. Penerimaan bea dan cukai tersebut berasal dari produksi rokok sebanyak 247 milyar batang. Posisi strategis industri rokok inilah yang mungkin menyebabkan hingga kini pemerintah belum meratifikasi Kerangka Kerja Konvensi Pengendalian Tembakau atau Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).

Implikasi fatwa haram merokok

Di satu sisi merokok dapat menyebabkan gangguan kesehatan masyarakat, di sisi lain industri rokok merupakan sektor yang menyumbang perekonomian negara cukup signifikan. Ibarat dua sisi mata uang, kedua hal tersebut saling bertentangan dan sulit untuk dipertemukan. Jika pemerintah mementingkan kesehatan masyarakat yang berarti mendukung fatwa haram merokok, maka trade off -nya adalah hilangnya lapangan kerja dan pendapatan negara dari cukai rokok. Namun jika pemerintah mementingkan eksistensi industri rokok yang berarti mengabaikan fatwa haram merokok dan mengabaikan kesehatan masyarakat, maka trade off jangka pendeknya adalah terpeliharanya pendapatan negara dari cukai rokok.

Namun demikian, hasil itstihad para ulama Muhammadiyah tidak dapat diabaikan begitu saja. Suatu produk yang ditetapkan haram, maka haramlah produk itu untuk dipergunakan (dikonsumsi). Siapa yang mengikuti mendapatkan imbalan pahala, sedangkan yang mengingkari mendapatkan sanksi dosa. Mengingat konsekuensinya tidak dapat dirasakan saat ini, tetapi akan diperhitungkan pada akhir zaman melalui pengadilan Tuhan, maka tidak semua masyarakat mengikuti fatwa haram tersebut. Hanya orang-orang yang percaya dan memahami saja yang cenderung mengikuti fatwa tersebut.

Sifatnya yang masih abu-abu dan menimbulkan pro-kontra, meskipun dampaknya terhadap kesehatan sudah dirasakan bagi perokok dan yang terpapar asap rokok, maka perlu dicari win-win solution yang menguntungkan semua fihak. Artinya, pemerintah masih bisa menikmati pendapatan dari cukai rokok, fatwa haram diikuti, masyarakat perokok masih bisa menikmati nikmatnya mengisap rokok, industri rokok masih bisa berproduksi dan meraup keuntungan, pekerja tidak jadi menganggur, serta masyarakat bisa terhindar dari paparan rokok.

Kebijakan pemerintah Singapura dalam hal perokokan, patut menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah untuk melindungi masyarakat terbebas dari bahaya rokok sekaligus masih memberikan ruang bagi masyarakat perokok. Secara ketat pemerintah Singapura menerapkan ruang-ruang publik bebas dari rokok, dan secara ketat pula membuat area-area bebas merokok. Siapapun yang melanggar dikenakan denda yang cukup besar, yaitu S$ 500,00. Pemerintah Singapura juga masih meraup pendapatan cukai yang cukup besar dari perdagangan rokok. Rokok putih yang diimpor dari Indonesia dijual S$ 11,00 perbungkus (kurang lebih Rp. Rp. 73.700). Padahal di Indonesia harganya hanya Rp. 8.000/bungkus. Meskipun harganya mahal dan ada peringatan bahaya merokok dengan gambar janin bayi yang cacat, tetap saja rokok tersebut laris manis dibeli konsumen.

Mensikapi bahaya rokok, pemerintah seyogyanya mulai tegas dan tidak ragu-ragu menerapkan aturan merokok. Area-area bebas asap rokok harus dibuat dengan pengawasan yang ketat dan sanksi tegas. Jika melanggar harus diberikan denda yang men-jera-kan. Langkah ini paling tidak dapat melindungi masyarakat yang tidak merokok agar tidak terpapar asap rokok.
Untuk menekan eksternalitas negatif dari aktivitas merokok, secara bertahap pemerintah harus menerapkan cukai yang semakin mahal. Cukai yang mahal akan berdampak pada penurunan produksi rokok dan penurunan konsumsi rokok secara alamiah. Hanya pabrik-pabrik yang kompetitif saja yang bisa bertahan, sementara perusahaan yang akan tumbang masih punya waktu untuk men-switch ke bidang usaha lain, termasuk para pekerjanya. Dari sisi perokoknya, karena harganya semakin mahal, lama-kelamaan hanya yang mampu saja yang bisa merokok. Selanjutnya Hasil cukai secara signifikan harus dimanfaatkan untuk penanggulangan bahaya merokok seperti pembangunan rumah sakit atau klinik-klinik penanganan korban konsumsi rokok.

Pemerintah juga harus siap secara perlahan-lahan berkurang pendapatannya dari cukai rokok. Namun pengurangan tersebut, bukanlah suatu kerugian karena selain merupakan bentuk dukungan pada fatwa haram merokok, juga masyarakat menjadi sehat dan biaya penanggulangan bahaya rokok juga semakin kecil. Jadi impaslah.

Gunarta – Perencana Bappenas