Rabu, 28 April 2010

PENURUNAN KRIMINALITAS DAN MENINGKATNYA CLEARENCE RATE SEBAGAI WUJUD PELAKSANAAN TUGAS KEPOLISIAN

Indeks kriminalitas (crime index) merupakan salah satu indikator untuk mengukur kondisi keamanan dan ketertiban di masyarakat. Indeks kriminalitas merupakan perbandingan antara jumlah kejahatan saat ini dengan jumlah kejahatan tahun lalu dikalikan 100%. Metode pengukuran yang hampir senada adalah tingkat kriminalitas (crime rate), yaitu jumlah kejahatan dibagi dengan jumlah penduduk dikalikan 100.000. Metode pengukuran lain yang juga sering dipakai adalah pengukuran waktu terjadinya kejahatan (crime clock).

Metode pengukuran dengan indeks kriminalitas dan tingkat kriminalitas memiliki kesamaan kecenderungan, di mana semakin tinggi angkanya berarti semakin rendah tingkat keamanan di masyarakat. Sementara untuk crime clock kebalikannya, di mana semakin tinggi nilainya berarti kondisi keamanan dan ketertiban masyarakat semakin membaik. Hal ini berarti juga resiko penduduk terkena tindak pidana (crime risk) menurun karena selang waktu terjadinya kejahatan semakin lama.

Sementara itu, untuk mengukur keberhasilan Polri dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya, salah satunya adalah seberapa besar kemampuan Polri menyelesaikan perkara pidana (clearance rate). Nilainya dihitung berdasarkan perbandingan antara jumlah kasus yang diselesaikan dengan jumlah kriminalitas pada tahun yang sama dikalikan 100%. Keberhasilan menyelesaikan perkara ini seringkali lebih mencerminkan kinerja Polri, meskipun hal tersebut tidak mungkin berdiri sendiri.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002, Polri memiliki tiga tugas utama yaitu : (a) memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; (b) menegakkan hukum; dan (c) memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Tugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat dilakukan dengan melakukan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli (Turjawali) dalam suatu komunitas masyarakat. Sifatnya preventif dan tidak hanya mengandalkan pelaksanaan Turjawali, tetapi kerjasama/kemitraan dengan masyarakat sangat diperlukan sehingga keperdulian masyarakat akan keamanan dan ketertiban lingkungannya dapat terpelihara.

Tugas menegakkan hukum akan dilakukan jika ada warga yang melakukan pelanggaran yang benar-benar dianggap telah melanggar hukum, merugikan orang lain, meresahkan orang lain, dan tentunya ada warga yang melaporkannya (meskipun dalam hal ini Polri juga memiliki diskresi untuk menindak tanpa ada laporan dari masyarakat). Tugas penegakan hukum ini bisa dilakukan dengan cara-cara repersif jika ada perlawanan dari pelaku pelanggaran. Selanjutnya untuk tugas ketiga, yaitu memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, merupakan tugas yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Tugas ini sangat krusial, di mana keberhasilan pelaksanaannya akan menentukan kepercayaan masyarakat kepada lembaga kepolisian.

Dalam dokumen RPJMN 2010 – 2014 disebutkan bahwa kemampuan aparat keamanan dalam melakukan penjagaan, pengawalan, dan patroli belum didukung oleh sistem pelaporan kejahatan termasuk sistem emergensi nasional dan penanganan kejahatan yang modern. Akibatnya, banyak laporan kejahatan yang menimpa masyarakat tidak dapat direspon dengan cepat dan tepat, yang berujung pada banyak kasus kejahatan.

Dalam rangka mendukung tugas pokok Polri, terutama dalam rangka menurunkan indeks kriminalitas dan mendongkrak tingkat penyelesaian perkara (crime clearance) yang masih stagnan pada angka 52 %, pada saat ini di setiap Polda telah terbentuk satuan-satuan khusus yang menangani kejahatan khusus seperti terorisme, narkoba, satuan pengamanan pariwisata di Yogyakarta dan Bali, serta pelayanan khusus terhadap kejahatan perempuan dan anak-anak. Peningkatan kualitas personel diupayakan melalui pendidikan dan pelatihan baik di dalam maupun luar negeri melalui mekanisme pelatihan bersama dan kerja sama operasional dengan sejumlah negara. Selanjutnya dalam rangka perpolisian masyarakat (Polmas), target pelatihan sebanyak 70.000 petugas Polmas telah tercapai secara keseluruhan pada tahun 2009, yang berarti seluruh desa/kelurahan Indonesia akan terjangkau oleh program ini.

Di sisi lain, angka penyimpangan profesi yang mencapai lebih dari 2,5 % dari total jumlah anggota Polri merupakan gambaran profesionalitas anggota Polri yang belum sepenuhnya prima. Terkait dengan penyimpangan profesi aparat keamanan, pemerintah melalui institusi Polri telah melakukan tindakan tegas termasuk pemecatan bagi anggota Polri yang melakukan pelanggaran displin, pelanggaran kode etik, dan penyimpangan tugas lainnya tanpa pandang bulu.

Dengan beberapa keberhasilan sekaligus ada beberapa kelemahan tersebut menjadikan pelaksanaan tugas kepolisian ke depan semakin menantang. Penuntasan perkara kejahatan baik kejahatan konvensional, transnasional, kejahatan terhadap kekayaan negara, maupun kejahatan berimplikasi kontijensi rata-rata masih pada kisaran 52 % setiap tahunnya. Bahkan apabila dilihat tingkat keberhasilannya, proporsi penuntasan kejahatan konvensional relatif paling rendah dibandingkan dengan kejahatan yang lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa langkah penuntasan kejahatan belum secara sepenuhnya menyentuh keselamatan seluruh lapisan masyarakat yang merupakan hak dasar dalam keamanan dan kenyamanan dalam beraktivitas.
Di sisi lain, permasalahan yang masih dihadapi institusi adalah proses penyelidikan dan penyidikan yang belum didukung dengan kemampuan sumber daya manusia dan teknologi penyidikan yang memadai. Banyaknya kasus salah tangkap dan kekerasan yang menimpa para tersangka juga telah menimbulkan keprihatinan akan akuntabilitas penuntasan perkara.

Menghadapi permasalahan tersebut, maka RPJM 2010 – 2014 merumuskan dua sasaran pokok dalam rangka meningkatkan keamanan dan ketertiban masyarakat. Pertama, menurunnya tingkat kejahatan (criminal rate) yang meliputi kejahatan konvensional, transnasional, kontingensi, serta kekerasan terhadap perempuan dan anak menjadi sekitar 105-95 kejadian per 100.000 penduduk. Penurunan tingkat kejahatan ini akan berdampak pada meningkatnya kondisi keamanan dan ketertiban masyarakat. Kedua, meningkatnya persentase penuntasan kejahatan konvensional, transnasional, kontingensi, serta kekerasan terhadap perempuan dan anak menjadi 55 - 60%. Meningkatnya persentase penuntasan kejahatan ini akan meningkatkan kepastian hukum bagi para tersangka.

Untuk mencapai sasaran RPJM 2010 – 2014 tersebut, arah kebijakan yang akan diambil adalah : (a) penerapan program “quick win” oleh Polri sampai ke tingkat Polres di seluruh wilayah NKRI; (b) peningkatan kapasitas SDM dan modernisasi teknologi kepolisian sebagai bagian penerapan reformasi Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan (c) peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga kepolisian. Berkaitan dengan arah kebijakan ini, maka strategi yang ditempuh adalah menurunkan kejadian kriminal (crime index) dan meningkatkan penuntasan kejahatan (clearance rate). Dalam rangka meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga kepolisian, peningkatan kinerja dan transparansi lembaga kepolisian, serta perbaikan tata kelola “complain resolution” dari masyarakat menjadi penjuru dalam strategi ini.

Menilik sasaran, arah kebijakan, serta strategi untuk mencapai sasaran tersebut, optimisme harus selalu dijaga walaupun realitas yang dihadapi cukup berat. Secara internal, pemerintah dalam hal ini Polri menghadapi masalah profesionalitas dan citra Polri yang belum juga menunjukkan perbaikan yang cukup signifikan. Upaya reformasi di tubuh Polri masih dihadapkan pada banyaknya kasus-kasus hukum, penyalahgunaan wewenang, serta penyimpangan tugas dan fungsi polri.

Stagnasi clearance rate pada kisaran 52 % diduga terkait dengan keterbatasan anggaran penyelidikan dan penyidikan tindak pidana. Setiap kasus tindak pidana telah ditetapkan besaran biayanya. Untuk kasus pidana kategori sangat sulit disediakan dana sebesar Rp. 25.790.000,-, kategori sulit disediakan dana sebesar Rp. 14.925.000,-, kategori sedang disediakan dana sebesar Rp. 9.300.000,-, dan kategori biasa disediakan dana sebesar Rp. 4.740.000,-. Dengan demikian, setiap unit reserse kinerjanya diukur dari pencapaian target yang telah ditetapkan. Artinya jika dalam satu tahun ditargetkan sebanyak 40 kasus, maka maksimal kasus yang diselesaikan sebanyak 40 kasus. Jika melebihi target atau terlalu berprestasi, justru akan dipertanyakan sumber pembiayaannya. Kondisi tersebut menyebabkan para penyidik tidak dapat melakukan improvisasi secara bebas dan terpaksa tebang pilih kasus yang dianggap menonjol dan dapat meningkatkan kariernya. Akibatnya banyak kasus-kasus yang dianggap tidak berbobot terpaksa tidak ditindaklanjuti dan dilepas begitu saja. Tentunya dengan sejumlah persyaratan yang kadangkala memberatkan tersangka.

Salah satu keberhasilan pelaksanaan tugas dan fungsi kepolisian, terutama dalam hal penanganan tindak kriminalitas adalah seberapa besar partisipasi masyarakat dalam melaporkan tindak kejahatan yang dialaminya. Tanpa laporan dari masyarakat, polisi tidak dapat melakukan langkah penyelidikan dan penyidikan terhadap suatu kasus kejahatan yang menimpa masyarakat.

Sayangnya sampai saat ini lembaga kepolisian belum sepenuhnya mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Seringkali masyarakat (pelapor) merasa tidak nyaman bila berhubungan dengan lembaga kepolisian karena proses yang berbelit-belit, makan waktu yang lama, dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Pandangan bahwa “melapor kehilangan ayam malah kehilangan kambing”, sampai saat ini masih melekat di sebagian masyarakat. Sementara dari kinerja penyidikan, masih banyak hasil penyidikan yang dibantah oleh terlapor ketika berperkara di pengadilan karena proses investigasi diwarnai intimidasi dan penyiksaan.

Gunarta
Gambar diambil dari : http://polreskotasukabumi.net/polisi-mitra-masyarakat/

Tidak ada komentar: