Minggu, 25 April 2010

MENUJU INDONESIA BEBAS NARKOBA TAHUN 2015



Dalam beberapa pertemuan yang membahas tentang pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan narkoba, frasa ”bebas narkoba” menimbulkan persepsi bebas menggunakan narkoba. Persepsi yang lain, narkoba dapat dijualbelikan secara bebas di pasaran. Tentu saja kedua persepsi tersebut tidaklah tepat. Menurut BNN, salah satu indikator utama dari Indonesia bebas Narkoba pada tahun 2015 adalah semua masyarakat tahu akan bahaya narkoba. Meskipun narkoba berseliweran di masyarakat, masyarakat akan imun dan tidak tergoda untuk menyalahgunakannya.

Konsep Indonesia bebas narkoba tahun 2015 adalah mengikuti kesepakatan yang telah dibuat diantara negara-negara ASEAN, yaitu Drug Free ASEAN (DFA) 2015. Sebuah konsep yang cukup bagus untuk membebaskan masyarakat ASEAN pada umumnya, dan masyarakat Indonesia khususnya terbebas dari bahaya narkoba.

Yang jadi pertanyaan adalah mampukah Indonesia mencapai sasaran tersebut ? Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus melihat dan mempelajari berbagai program pembangunan terkait dengan pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan narkoba. Pada saat ini telah tersusun rencana program dan kegiatan jangka menengah yang tuangkan dalam peraturan presiden. Di samping itu, penguatan Badan Narkotika Nasional menjadi lembaga setingkat kementerian diharapkan kinerja pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan narkoba akan semakin efektif.

Peraturan Presiden Nomor 5 tahun 2010 tentang RPJMN 2010 – 2014 pada Bab 7 Bidang Pertahanan dan Keamanan menyebutkan bahwa : ”Dewasa ini Indonesia belum dapat sepenuhnya melepaskan diri dari ancaman kejahatan Narkoba. Prevalensi penyalahgunaan narkoba yang menunjukkan angka 1,5 – 1,9 % penduduk mengindikasikan bahaya kejahatan narkoba telah sampai pada tingkatan mengkhawatirkan. Kisaran harga narkoba yang tinggi dan keuntungan yang besar mengakibatkan bisnis dan penyalahgunaan Narkoba di Indonesia lebih marak jika dibandingkan dengan harga negara-negara Asia lainnya. Modus operandi kejahatan narkoba di wilayah hukum Indonesia tampaknya juga semakin canggih. Bahkan, berbagai temuan menunjukkan bahwa selain munculnya kecenderungan baru dengan memanfaatkan warga negara asing terutama yang berasal dari Iran, sindikat Afrika Barat telah bekerja sama dengan sindikat China dalam menjalankan bisnis narkoba di Indonesia. Selain itu, kelonggaran peraturan perundang-undangan dan ketidakmaksimalan pengawasan terhadap impor bahan baku narkoba sintesis semakin mempermudah pelaku untuk mendirikan laboratorium penghasil narkoba. Dengan demikian, Indonesia dapat dikatakan sebagai negara produsen, terutama narkoba sintetis dan ganja, sekaligus pasar potensial dalam perdagangan narkoba.

Dalam kurun waktu tahun 2000 sampai dengan pertengahan tahun 2008 kasus tindak pidana narkoba meningkat lebih dari 7 kali lipat, dengan kecenderungan tersangka semakin muda usianya. Jika pada tahun 2000 jumlah kasus hanya 3.748 kasus, pada tahun 2007 meningkat menjadi 22.630 kasus dan pada tahun 2008 mencapai 29.364 kasus. Sementara itu, jumlah tersangka di bawah umur 25 tahun yang berarti golongan muda, pelajar, dan mahasiswa proporsinya rata-rata mencapai 36,48 %. Berbagai upaya penegakan hukum bagi kejahatan narkoba terus dilakukan secara intensif terutama di kantong-kantong kejahatan narkoba. Dalam 5 tahun terakhir, puluhan ribu kasus narkoba berhasil diselesaikan, puluhan produsen gelap narkoba dalam skala kecil dan besar berhasil diungkap, dan lebih dari 70 orang diputus pidana mati, 5 di antaranya telah dieksekusi mati. Laporan World Drug Report tahun 2008 bahkan menempatkan Indonesia sebagai salah satu dari 10 negara terbesar melakukan penyitaan narkoba. Sementara itu, jumlah serta cakupan dan kualitas lembaga pelayanan terapi dan rehabilitasi korban penyalahgunaan narkoba, baik yang dilakukan oleh masyarakat maupun oleh negara, seperti Unit Terapi dan Rehabilitasi BNN di Lido tercatat juga semakin meningkat. Namun, upaya dalam mengawasi dan mengendalikan peredaran gelap narkoba melalui penegakan hukum dan pemberantasan jaringan narkoba ini tampaknya belum diimbangi dengan upaya peningkatan ketahanan masyarakat dari kejahatan narkoba sehingga berbagai upaya keras yang telah dilakukan selama ini sepertinya tidak memberikan sumbangan yang berarti bagi penurunan angka prevalensi narkoba”.

Berdasarkan kondisi sebagaimana diuraikan di atas, maka upaya menangani penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika menghadapi permasalahan yang tidaklah ringan. Upaya pemberantasan peredaran gelap narkoba terus dilakukan secara intensif dan menunjukkan hasil yang signifikan terutama dalam hal kasus pengungkapan laboratorium gelap dan pengungkapan sindikat narkotika baik yang memiliki jaringan nasional maupun internasional. Namun, prevalensi penyalagunaan narkoba yang justru semakin meningkat, yaitu dari 1,55% menjadi 1,99%, menunjukkan bahwa upaya pencegahan yang dilaksanakan selama ini masih kurang dapat mengimbangi upaya pemberantasan peredaran gelap narkoba. Misi untuk mewujudkan Indonesia bebas narkoba pada tahun 2015 menghadapi tantangan yang cukup berat terutama jika dikaitkan dengan peranan pemangku utama khususnya Pemerintah Daerah dalam pencegahan penyalahgunaan narkoba. Ketersediaan sarana dan prasarana terapi dan rehabilitasi narkoba yang saat ini jumlahnya masih terbatas dan belum sepenuhnya dapat menjangkau dan melayani korban penyalahgunaan narkoba juga merupakan permasalahan yang harus diatasi dalam lima tahun ke depan.

Menghadapi permasalahan tersebut, maka sasaran pembangunan pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan narkoba yang ingin dicapai dalam RPJM N 2010 – 2014 adalah menurunnya angka penyalahgunaan narkoba dan menurunnya peredaran gelap narkoba yang tercermin pada menurunnya angka prevalensi penyalahgunaan narkoba menjadi di bawah 1,5 %. Tercapainya sasaran ini akan membebaskan Indonesia dari narkoba pada tahun 2015, dalam arti seluruh masyarakat sadar dan mengetahui akan bahaya penyalahgunaan narkoba.
Untuk mencapai sasaran tersebut arah kebijakan akan ditempuh adalah dengan ekstensifikasi dan intensifikasi pencegahan penyalahgunaan narkotika, penyediaan fasilitas terapi dan rehabilitasi bagi korban penyalahgunaan Narkotika yang terjangkau seluruh lapisan masyarakat, dan pemberantasan jaringan narkotika. Adapun strateginya dengan mendorong masyarakat menjadi imun narkotika, membantu korban penyalahgunaan agar pulih kembali, dan memberantas jaringan pengedar narkoba. Startegi ini utamanya akan menggunakan pendekatan yang bersifat pemberdayaan lingkungan kerja, keluarga, dan pendidikan.

Mencegah dan Menanggulangi Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba merupakan fokus dari prioritas Peningkatan Rasa Aman dan Ketertiban Masyarakat. Berkenaan dengan hal tersebut, Badan Narkotika Nasional sebagai pemangku utama program Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN) akan melaksanakan 7 (tujuh) kegiatan prioritas, yaitu : (a) Pelaksanaan Kegiatan Diseminasi Informasi di Bidang P4GN; (b) Pelaksanaan Alternative Development; (c) Pelaksanaan Kegiatan Penindakan dan Pengejaran; (d) Pelaksanaan Kegiatan Interdiksi; (e) Pelaksanaan Pengembangan Rehabilitasi Instansi Pemerintah; (f) Pelaksanaan Pengembangan Rehabilitasi Berbasis Komponen Masyarakat; dan (g) Peningkatan Kapasitas Pelayanan BNN di Daerah.

Keseriusan pemerintah dalam membebaskan Indonesia dari narkoba pada tahun 2015 juga didukung dengan ditetapkan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Implikasi dari Undang-Undang ini adalah terbentuknya BNN vertikal di tingkat propinsi dan kabupaten/kota yang diharapkan akan lebih operasional dibandingkan dengan BNNP/BNNKab/Kota yang operasionalnya sangat tergantung pada “keikhlasan” pemerintah daerah.

Menilik upaya-upaya yang dilakukan pemerintah dalam mencegah dan penanggulangan penyalahgunaan narkoba tersebut, maka keinginan Indonesia untuk bebas narkoba pada tahun 2015 optimis dapat tercapai. Program P4GN sebagai pendulum utama kegiatan-kegiatannya cukup implementatif dan konphrehensif, asal tetap fokus dan tepat sasaran. Namun kendala yang dihadapi oleh BNN sebagai pemangku program P4GN adalah masalah kecukupan anggaran. Hal ini terkait dengan besarnya struktur organisasi BNN yang kalau terpenuhi semua akan ada 33 BNN propinsi dan 483 BNN Kabupaten/Kota. Besarnya struktur organisasi tersebut, tentu berdampak pada peningkatan jumlah pegawai, anggaran operasional organisasi, dan anggaran P4GN termasuk pusat terapi dan rehabilitasi, pusat pendidikan dan latihan, operasional kantor pusat dan sebagainya.

Keterbatasan anggaran inilah yang menyebabkan dalam kurun waktu 2010 - 2014 hanya akan dibangun 14 BNN Propinsi dan 100 BNN Kabupaten/Kota. Sisanya akan dilaksanakan pada periode RPJM yang akan datang. Meskipun sebenarnya hal tersebut melanggar UU Nomor 35/2009, tetapi memaksakannya untuk dipenuhi sebagaimana diamanatkan dalam undang-undang tersebut akan berdampak pada bidang-bidang pembangunan yang lainnya.

gunarta

Gambar diambil dari : www.rizalmaarif.wordpress.com

Tidak ada komentar: