Jumat, 23 April 2010

MEROKOK HUKUMNYA HARAM KARENA DAPAT MENYEBABKAN KANKER, SERANGAN JANTUNG, IMPOTENSI, DAN GANGGUAN KEHAMILAN DAN JANIN


Dalam beberapa hari belakangan ini, dan nampaknya masih akan menjadi polemik yang cukup hangat, masyarakat ramai membicarakan fatwa haram merokok oleh organisasi keagamaan Muhammadiyah. Rokok merupakan produk yang banyak dikonsumsi secara luas oleh masyarakat mulai dari kalangan petani, tukang becak, pegawai rendahan, sampai para eksekutif papan atas. Kegiatan merokok dilakukan sekedar sebagai teman minum kopi, kongkow-kongkow, atau diskusi-diskusi serius para staf dan eksekutif perusahaan. Sifatnya yang adiktif, menyebabkan orang mengkonsumsi rokok sampai berbatang-batang dan tanpa kemauan yang keras sulit untuk menghentikannya.

Budaya merokok ditengarai sudah ada berabad-abad yang lalu dan merambah berbagai tingkatan usia, tidak memandang kasta, dan keberadaannya memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi. Tidak mengherankan jika banyak orang berkecimpung dalam industri rokok, mulai dari industri rumahan dengan kapasitas produksi ratusan batang perhari sampai dengan industri modern dengan kapasitas produksi puluhan juta batang perhari.

Meskipun secara umum masyarakat mengetahui bahwa merokok membahayakan kesehatan, baik dari sisi pengguna maupun orang lain yang terpapar asap rokok, tetapi sepertinya masih banyak yang kurang peduli terhadap dampaknya. Banyaknya fakta bahaya merokok bagi kesehatan tidak menyurutkan keinginan masyarakat untuk tetap merokok. Peringatan pemerintah “Merokok Dapat Menyebabkan Kanker, Serangan Jantung, Impotens,i dan Gangguan Kehamilan dan Janin” tidak efektif, justru jumlah perokok malah semakin meningkat. Bahkan pemerintah sendiri, yang seharusnya bertanggung jawab terhadap kesehatan masyarakat, meraup pendapatan pajak yang sangat besar dari cukai rokok, nilainya mencapai puluhan trilyun rupiah pertahunnya.

Fatwa haram merokok

Pada tanggal 8 Maret 2008 Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengeluarkan Fatwa NO. 6/SM/MTT/III/2010 Tentang Hukum Merokok. Dalam fatwa tersebut dikatakan bahwa merokok hukumnya haram. Menurut fatwa tersebut, ada beberapa hal yang menyebabkan merokok haram hukumnya. Pertama, merokok membahayakan diri dan orang lain yang terkena paparan asap rokok. Merokok bertentangan dengan prinsip syariah, di mana suatu perbuatan tidak boleh membahayakan diri sendiri dan membahayakan orang lain.

Kedua, rokok merupakan zat adiktif dan mengandung unsur racun yang membahayakan pengguna dan orang lain yang terpapar asap rokok, meskipun tidak seketika. Ketiga, Perbuatan merokok mengandung unsur menjatuhkan diri ke dalam kebinasaan dan bahkan merupakan perbuatan bunuh diri secara perlahan dan hal ini merupakan larangan agama (QS. 7: 157; QS 2: 195; dan QS 4: 29). Keempat, karena merokok jelas membahayakan kesehatan bagi perokok dan orang sekitar yang terkena paparan asap rokok, maka pembelajaan uang untuk rokok berarti melakukan perbuatan mubazir (pemborosan) yang dilarang agama (Q. 17: 26-27).

Adanya fakta dan data dari sumber yang dapat dipercaya di dalam fatwa tersebut, cukup masuk akal dan mudah dipahami jika merokok dikategorikan sebagai perbuatan haram. Rokok ditengarai mengandung 4000 zat kimia, di mana 69 di antaranya adalah karsinogenik (pencetus kanker). Beberapa zat berbahaya di dalam rokok tersebut di antaranya tar, sianida, arsen, formalin, karbonmonoksida, dan nitrosamin. Kalangan medis dan para akademisi sepakat bahwa konsumsi tembakau adalah salah satu penyebab kematian, di mana setiap 5,8 detik orang meninggal akibat rokok.

Kematian balita di lingkungan orang tua merokok lebih tinggi dibandingkan dengan orang tua tidak merokok baik di perkotaan maupun di pedesaan. Kematian balita dengan ayah perokok di perkotaan mencapai 8,1 % dan di pedesaan mencapai 10,9 %. Sementara kematian balita dengan ayah tidak merokok di perkotaan 6,6 % dan di pedesaan 7,6 %. Resiko kematian populasi balita dari keluarga perokok berkisar antara 14 % di perkotaan dan 24 % di pedesaan.

Data SUSENAS 2006 yang diacu oleh fatwa tersebut, mencatat bahwa pengeluaran keluarga termiskin untuk membeli rokok mencapai 11,9 %, sementara keluarga terkaya pengeluaran rokoknya hanya 6,8 %. Pengeluaran keluarga termiskin untuk rokok menempati urutan kedua setelah pengeluaran untuk beras. Kenyataan ini menunjukkan bahwa, rokok menggeser kebutuhan makanan bergizi esensial bagi pertumbuhan balita. Balita harus memikul risiko kurang gizi karena keluarganya harus menyisihkan biaya untuk pembelian rokok orang tuanya.

Meskipun merokok diharamkan, fatwa tersebut tidak serta merta diterapkan secara ketat. Ada tahapan-tahapan yang harus dilalui bagi pecandu untuk benar-benar berhenti atau dipaksa berhenti. Bagi mereka yang belum atau tidak merokok wajib menghindarkan diri dan keluarganya dari percobaan merokok. Bagi mereka yang telah terlanjur menjadi perokok wajib melakukan upaya dan berusaha sesuai dengan kemampuannya untuk berhenti dari kebiasaan merokok. Fatwa tersebut diterapkan dengan prinsip berangsur, memberikan kemudahan, dan tidak mempersulit pecandunya. Prinsip ini sesuai dengan ajaran agama ketika Allah mengharamkan minuman keras, di mana kalau diterapkan secara frontal, sangat mungkin justru akan menimbulkan social shock dan resistensi.

Nilai strategis industri rokok

Tidak dapat disangkal bahwa industri rokok memiliki nilai yang cukup strategis bagi perekonomian negara. Banyak sektor yang terkait dengan industri rokok mulai dari petani tembakau, petani cengkeh, industri rokok sendiri, industri kertas, industri periklanan, transportasi, sampai dengan peritail rokok. Pada tahun 1998, penyerapan tenaga kerja industri rokok termasuk di berbagai sektor terkait mencapai 6,4 juta orang. Dengan efek ganda sekitar 10 persen, diperkirakan paling tidak 20 juta penduduk Indonesia tergantung pada industri rokok. Efek penggentar tersebut berasal dari aktivitas usaha yang menunjang kegiatan pabrik seperti usaha penitipan sepeda, kantin dan rumah pondokan pekerja, kegiatan antar-jemput pegawai, serta kegiatan lain semisal pengerjaan dan perawatan fasilitas pabrik seperti gedung dan jaringan jalan (Kompas, 2000).

Berdasarkan data Gaprindo (Kontan, 2009), jumlah pabrik rokok pada 2000 masih sekitar 600 pabrik skala besar, menengah, dan kecil. Selang tiga tahun kemudian, Pada 2003, jumlah pabrik mencapai 1.823 unit dan naik jadi 3.961 perusahaan pada 2006. Hingga 2007, jumlahnya telah menjadi 4.793 perusahaan. Skala produksi dari perusahaan ini mulai dari kecil hingga menengah. Sedangkan pada 2008, total pabrik rokok mencapai 4.900 – 5.000 perusahaan. Dominasi produksi rokok dikuasai oleh 3 pabrik rokok besar yaitu, Gudang Garam, Sampurna, dan Djarum. Namun demikian, seiring dengan meningkatnya cukai tembakau rokok, ditengarai banyak industri rokok skala rumahan yang tumbang karena kalah bersaing dan tidak mampu membayar cukai.

Menurut Ditjen Bea dan Cukai, pada tahun 2008, penerimaan Bea Masuk tembakau mencapai Rp 21,47 triliun, penerimaan cukai rokok mencapai Rp 48,048 triliun, dan penerimaan Bea Keluar tembakau dan rokok mencapai Rp 13,59 triliun. Penerimaan bea dan cukai tersebut berasal dari produksi rokok sebanyak 247 milyar batang. Posisi strategis industri rokok inilah yang mungkin menyebabkan hingga kini pemerintah belum meratifikasi Kerangka Kerja Konvensi Pengendalian Tembakau atau Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).

Implikasi fatwa haram merokok

Di satu sisi merokok dapat menyebabkan gangguan kesehatan masyarakat, di sisi lain industri rokok merupakan sektor yang menyumbang perekonomian negara cukup signifikan. Ibarat dua sisi mata uang, kedua hal tersebut saling bertentangan dan sulit untuk dipertemukan. Jika pemerintah mementingkan kesehatan masyarakat yang berarti mendukung fatwa haram merokok, maka trade off -nya adalah hilangnya lapangan kerja dan pendapatan negara dari cukai rokok. Namun jika pemerintah mementingkan eksistensi industri rokok yang berarti mengabaikan fatwa haram merokok dan mengabaikan kesehatan masyarakat, maka trade off jangka pendeknya adalah terpeliharanya pendapatan negara dari cukai rokok.

Namun demikian, hasil itstihad para ulama Muhammadiyah tidak dapat diabaikan begitu saja. Suatu produk yang ditetapkan haram, maka haramlah produk itu untuk dipergunakan (dikonsumsi). Siapa yang mengikuti mendapatkan imbalan pahala, sedangkan yang mengingkari mendapatkan sanksi dosa. Mengingat konsekuensinya tidak dapat dirasakan saat ini, tetapi akan diperhitungkan pada akhir zaman melalui pengadilan Tuhan, maka tidak semua masyarakat mengikuti fatwa haram tersebut. Hanya orang-orang yang percaya dan memahami saja yang cenderung mengikuti fatwa tersebut.

Sifatnya yang masih abu-abu dan menimbulkan pro-kontra, meskipun dampaknya terhadap kesehatan sudah dirasakan bagi perokok dan yang terpapar asap rokok, maka perlu dicari win-win solution yang menguntungkan semua fihak. Artinya, pemerintah masih bisa menikmati pendapatan dari cukai rokok, fatwa haram diikuti, masyarakat perokok masih bisa menikmati nikmatnya mengisap rokok, industri rokok masih bisa berproduksi dan meraup keuntungan, pekerja tidak jadi menganggur, serta masyarakat bisa terhindar dari paparan rokok.

Kebijakan pemerintah Singapura dalam hal perokokan, patut menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah untuk melindungi masyarakat terbebas dari bahaya rokok sekaligus masih memberikan ruang bagi masyarakat perokok. Secara ketat pemerintah Singapura menerapkan ruang-ruang publik bebas dari rokok, dan secara ketat pula membuat area-area bebas merokok. Siapapun yang melanggar dikenakan denda yang cukup besar, yaitu S$ 500,00. Pemerintah Singapura juga masih meraup pendapatan cukai yang cukup besar dari perdagangan rokok. Rokok putih yang diimpor dari Indonesia dijual S$ 11,00 perbungkus (kurang lebih Rp. Rp. 73.700). Padahal di Indonesia harganya hanya Rp. 8.000/bungkus. Meskipun harganya mahal dan ada peringatan bahaya merokok dengan gambar janin bayi yang cacat, tetap saja rokok tersebut laris manis dibeli konsumen.

Mensikapi bahaya rokok, pemerintah seyogyanya mulai tegas dan tidak ragu-ragu menerapkan aturan merokok. Area-area bebas asap rokok harus dibuat dengan pengawasan yang ketat dan sanksi tegas. Jika melanggar harus diberikan denda yang men-jera-kan. Langkah ini paling tidak dapat melindungi masyarakat yang tidak merokok agar tidak terpapar asap rokok.
Untuk menekan eksternalitas negatif dari aktivitas merokok, secara bertahap pemerintah harus menerapkan cukai yang semakin mahal. Cukai yang mahal akan berdampak pada penurunan produksi rokok dan penurunan konsumsi rokok secara alamiah. Hanya pabrik-pabrik yang kompetitif saja yang bisa bertahan, sementara perusahaan yang akan tumbang masih punya waktu untuk men-switch ke bidang usaha lain, termasuk para pekerjanya. Dari sisi perokoknya, karena harganya semakin mahal, lama-kelamaan hanya yang mampu saja yang bisa merokok. Selanjutnya Hasil cukai secara signifikan harus dimanfaatkan untuk penanggulangan bahaya merokok seperti pembangunan rumah sakit atau klinik-klinik penanganan korban konsumsi rokok.

Pemerintah juga harus siap secara perlahan-lahan berkurang pendapatannya dari cukai rokok. Namun pengurangan tersebut, bukanlah suatu kerugian karena selain merupakan bentuk dukungan pada fatwa haram merokok, juga masyarakat menjadi sehat dan biaya penanggulangan bahaya rokok juga semakin kecil. Jadi impaslah.

Gunarta – Perencana Bappenas

Tidak ada komentar: