![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjPhJFpU8uUKcki7hNM5pfbK4daWCuwUd96hR7ntx24SYoSkjB7VNtlS_z3EE8gNSzwIl3Q_9mBRpbLbf1wt28FCMBxdonqAeLi-tOJEW33ctgIjFWhncUx2zUc5WrZZUNUser57Iw_hoQ/s200/Rafflessia%5B1%5D.jpg)
Pada tanggal 14 – 15 April 2010 saya berkesempatan mendampingi Bapak Deputi Politik, Hukum, Pertahanan dan Keamanan Bappenas dan Bapak Direktur Pertahanan dan Keamanan Bappenas menghadiri undangan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Propinsi (Musrenbang Prop) Bengkulu. Perjalanan dari Jakarta menuju Bengkulu dengan pesawat ditempuh dalam waktu 1 jam 5 menit (tetapi dari Bengkulu ke Jakarta hanya 55 menit). Dari ketinggian antara 3000 – 5000 kaki, sepanjang penerbangan hanya terlihat birunya Samudra Indonesia dan hamparan hutan yang sebagian masih lebat, sudah gundul, atau sudah menjadi hutan tanaman industri kelapa sawit.
Ketika pesawat akan mendarat, tidak seperti di daerah-daerah yang pernah saya kunjungi (Pontianak, Makassar, Padang, Manado, dan beberapa daerah yang lain), saya tidak menjumpai kekhasan kawasan bandara. Biasanya ketika pesawat akan mendarat, kita melihat kawasan pemukiman, kawasan perkantoran, atau kawasan industri yang terlihat menggerombol dihubungkan dengan jalan-jalan yang meliuk-liuk. Semakin banyak gerombolan kawasan pemukiman, kawasan perkantoran, dan kawasan industri menunjukkan semakin besarnya kota dan bandara yang akan didarati pesawat. Saya sempat sangsi apakah pesawat akan turun atau sekedar berputar-putar saja untuk menunggu giliran mendarat.
Kesangsian saya tersadarkan ketika pesawat sudah mendarat di Bandara Fatmawati Sukarno. Ternyata bandara tersebut tidak sebesar dengan nama yang dipanggulnya. Bandara hanya terdiri dari dua bangunan utama, yaitu bangunan serbaguna untuk aktivitas pemberangkatan dan kedatangan serta bangunan VIP milik Pemda Bengkulu untuk menyambut para tamu penting dari pusat. Sebagai tamu pusat, kami berkesempatan menikmati fasilitas VIP yang tidak terlalu mewah. Tidak seperti bandara-bandara yang pernah saya singgahi, tidak ada pesawat parkir di bandara tersebut. Rupanya pesawat hanya mendarat, menurunkan penumpang, isi bahan bakar, memuat penumpang dan terbang lagi. Proses ini membutuhkan waktu kurang lebih setengah sampai satu jam. Jam-jam berikutnya tidak terlihat kesibukan aktivitas bandara, alias sepi. Saya juga tidak melihat adanya fasilitas militer Angkatan Udara yang biasanya berdampingan dengan bangunan bandara.
Propinsi Bengkulu terdiri dari 1 kota dan 9 kabupaten yaitu Kota Bengkulu, Kabupaten Bengkulu Selatan, Kabupaten Bengkulu Tengah, Kabupaten Bengkulu Utara, Kabupaten Kaur, Kabupaten Kepahiang, Kabupaten Lebong, Kabupaten Mukomuko, Kabupaten Rejang Lebong, dan Kabupaten Seluma. Jumlah penduduk kurang lebih 2 juta dengan komposisi suku Jawa (22,31%), Rejang (21,36%), Serawai (17,87%), Melayu Bengkulu (7,93%), Lembak (4,95%), Minangkabau (4,28%), Sunda (3,01%), Lain-lain (18,29%) (id.wikipedia.org/wiki/Bengkulu).
Struktur perekonomian Bengkulu masih didominasi sektor pertanian, diikuti dengan sektor perdagangan, hotel dan restoran serta jasa. Kontribusi ketiga sektor ini terhadap perekonomian Bengkulu mencapai 75,58 persen (news.id.finroll.com). Perkebunan sebagai bagian sektor pertanian, terutama ditopang oleh perkebunan kelapa sawit, karet, coklat, dan kopi. Sementara itu, sektor perdagangan, hotel dan restoran serta jasa dalam beberapa tahun terakhir ini dilaporkan kontribusinya meningkat cukup signifikan.
Obyek/lokasi wisata di Propinsi Bengkulu cukup banyak dan bervariasi mulai dari wisata alam dan biologi, wisata budaya dan sejarah, serta wisata khusus. Wisata biologi dengan obyek Bunga Raflessia Arnoldy yang ditemukan pertamakali oleh Sir Thomas Raffles dan Dr. Arnoldy di Dusun Lubuk Tapi pada tahun 1818, memiliki nilai jual yang mendunia terkait dengan uniknya bunga tersebut. Demikian juga peninggalan Kolonial seperti Beteng Marlborough dapat disejajarkan dengan benteng-benteng sejenis di wilayah lain Indonesia. Pada saat ini, tidak kurang 28 obyek/lokasi wisata ada di Propinsi Bengkulu, 4 diantaranya yang saya kunjungi adalah :
Pantai Panjang. Terletak sekitar 3 km dari kota Bengkulu dan membentang sepanjang 7 km panjang pantai. Pohon cemara yang biasa tumbuh di area perbukitan, dapat tumbuh rindang di sepanjang pantai ini.
Benteng Marlborough. Benteng Marlborough merupakan benteng dibangun oleh perusahaan india timur dibawah kepemimpinan gubernur Joseph Callet. Benteng Marlborough berdiri mengahadap selatan, dan memiliki luas 44,100 meter persegi. Benteng ini mempunyai bentuk bangunan abad 18, menyerupai kura-kura. Pintu utamanya dikelilingi parit yang luas dan dapat dilalui oleh jembatan. Menurut masyarakat sekitar di benteng itu juga terdapat pintu keluar bawah tanah yang dulu digunakan pada waktu perang.
Rumah Pengasingan Bung Karno. Pada jaman koloni Belanda (1939-1942), Soekarno pernah diasingkan di Bengkulu. Selama dalam pengasingan Soekarno tinggal di rumah yang beralamat di Anggut Atas dan sekarang dikenal dengan jalan Soekarno-Hatta. Beberapa peralatan, sepeda, perpustakaan buku-buku, dan yang lainnya yang pernah dimiliki oleh soekarno disimpan didalam rumah ini. Selama tinggal di Bengkulu, Soekarno mendesain masjid, yang sekarang dikenal dengan Masjid Jamik (Jamik Mosque).
Makam Sentot Alibasyah. Terletak di Desa Bajak, Kecamatan Teluk Segara, Bengkulu. Sentot Alibasyah merupakan salah satu Panglima Pangeran Dipenegoro yang dikirim ke Bonjol waktu perang Padri.
Keempat lokasi wisata tersebut, dalam pandangan saya cukup indah dan menarik serta sangat prospektif dijadikan daerah tujuan wisata, baik nasional maupun internasional. Pantai Panjang dengan keunikannya pohon cemara, dapat disejajarkan dengan pantai Kuta apabila dapat dikelola dan dipromosikan dengan baik. Demikian juga Benteng Marlborough, Rumah Pengasingan Bung Karno, Makam Sentot Alibasyah yang lokasinya relatif berdekatan dengan Pantai Panjang dapat dijadikan paket wisata.
Namun sayangnya, potensi wisata yang sangat prospektif tersebut kurang didukung oleh infrastruktur yang memadai. Bandara Fatmawati Sukarno sebagai pintu gerbang utama masuk ke Propinsi Bengkulu, hanya disinggahi pesawat ukuran kecil sampai sedang. Jadwal penerbangan sangat terbatas, dan hanya dilayani oleh perusahaan penerbangan swasta dengan jumlah tidak sampai hitungan sepuluh jari. Garuda dan Merpati tidak memiliki rute ke Propinsi Bengkulu, tidak tahu kenapa. Padahal kalau dilihat jumlah penumpang dari dan ke Propinsi Bengkulu, okupansinya cukup tinggi. Dalam penerbangan kami Jakarta – Bengkulu PP, dari hampir 180 kursi Lion Air terisi penuh, padahal hari itu merupakan hari kerja, bukan hari libur.
Perjalanan darat mungkin tidak direkomendasikan untuk traveling wisatawan dari luar Bengkulu, kecuali wisatawan lokal yang berasal dari warga Propinsi Bengkulu dan warga propinsi tetangga Propinsi Bengkulu. Dalam penerbangan ke Bengkulu, kami sempat berkeinginan untuk menggunakan jalan darat menuju Jakarta. Perkiraan kami, paling hanya 8 jam sudah tiba ke Jakarta. Namun ketika ditanyakan kepada sopir rental di Bengkulu, perjalanan menuju Lampung saja diperkirakan memakan waktu 13 jam. Sementara dari Lampung ke Jakarta paling cepat 5 jam. Akhirnya kami mundur teratur dan tetap menggunakan penerbangan sesuai dengan jadwal.
Salah satu hal yang menyebabkan kenapa perjalanan darat ditempuh dalam waktu yang cukup lama adalah rusaknya infrastruktur jalan. Sebagian jalan antar kabupaten dan antar propinsi di wilayah Bengkulu dalam kondisi rusak, rawan longsor, dan banjir. Di samping itu, minimnya jumlah kendaraan yang melintas, sangat mungkin menimbulkan kekhawatiran gangguan keamanan bagi pengendara. Hal ini pula yang menyebabkan komoditas pertanian dan produk-produk industri yang masuk ke Bengkulu harganya relatif lebih mahal dibandingkan dengan propinsi yang lain. Di daerah-daerah P. Jawa, kelapa muda paling mahal 5.000 rupiah perbutir, di Bengkulu 7.000 rupiah perbutir karena harus didatangkan dari Padang. Demikian juga, harga sandal jepit sejenis Swalow dijual dengan harga 15.000 rupiah, padahal di kota-kota P. Jawa paling mahal 10.000 rupiah.
Perjalanan lautpun demikian halnya. Samudera Indonesia dengan gelombang yang cukup tinggi dan tidak adanya pelabuhan yang layak disinggahi kapal-kapal besar menyebabkan wilayah perairan Bengkulu hanya sekedar dilalui. Pelabuhan yang ada hanya untuk melayani pelayaran antar pulau dari Bengkulu ke Pulau Enggano dan beberapa pulau yang lainnya. Jadi praktis, aktivitas pelayaran di perairan Bengkulu adalah nelayan tradisional yang seringkali harus bersaing dengan pelaku illegal fishing yang katanya intensitasnya cukup tinggi di wilayah tersebut.
Hal terakhir dan penting yang perlu diperhatikan oleh Pemda Bengkulu adalah masalah kebersihan fasilitas publik di lokasi-lokasi wisata, khususnya WC Umum. Ketika saya mengunjungi Benteng Marlborough, saya mendapatkan pemandangan yang tidak layak dari segi estetika. Keinginan saya untuk buang air kecil, seketika sirna ketika melihat kondisi WC Umum sangat kotor sekali. Tepatnya jorok. Kondisi ini cukup kontras dengan keindahan benteng yang terpelihara dan tertata cukup rapi. Demikian juga, untuk kamar mandi dan WC fasilitas VIP milik Pemda di Bandara Fatmawati Sukarno. Ke-VIP-annya menjadi berkurang ketika melihat kondisi kamar mandi dan WC-nya tidak bersih.
Gunarta
Gambar diambil dari : http://download-bisnis.blogspot.com/2009/04/wellcome-to-raflessia-land-bengkulu.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar