Jumat, 23 April 2010

REPRESIFNYA SATPOL PP


Akhir-akhir ini bentrok Satpol PP dengan warga masyarakat menjadi pemberitaan hangat yang menghiasi media cetak dan elektronik. Peristiwa bentrok tersebut biasanya merupakan imbas dari langkah Satpol PP melakukan penertiban pedagang kaki lima, pembongkaran bangunan liar, eksekusi penggusuran lahan, atau penertiban masyarakat penyandang masalah sosial seperti gelandangan, pengemis, dan pekerja seks komersial. Sayangnya pemberitaan bentrok tersebut seringkali menonjolkan Satpol PP sebagai pihak yang menganiaya, sedangkan masyarakat korban sebagai pihak yang teraniaya. Sementara itu latar belakang yang memicu terjadinya bentrok tidak dieskpos secara berimbang.
Kasus yang terakhir adalah peristiwa bentrok antara Satpol PP dengan warga sekitar makam Mbah Priok yang menelan korban 3 orang anggota Satpol PP dan puluhan warga mengalami luka-luka. Kasus tersebut dapat dikatakan sebagai puncak dari kekurang-harmonisan antara “warga” (yang melanggar peraturan dan tata tertib daerah) dengan Satpol PP, sehingga merembes ke ranah politik dan menyoal eksistensi Satpol PP. Besarnya tekanan publik yang didukung oleh pemberitaan media secara bertubi-tubi, memaksa para petinggi negara untuk bicara dan menanggapi dalam kasus ini.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2004, Satuan Polisi Pamong Praja mempunyai tugas memelihara dan menyelenggarakan ketenteraman dan ketertiban umum, menegakkan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah. Untuk mendukung tugas tersebut, Polisi Pamong Praja memiliki wewenang : (a) menertibkan dan menindak warga masyarakat atau badan hukum yang mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum; (b) melakukan pemeriksaan terhadap warga masyarakat atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah; dan (c) melakukan tindakan represif non yustisial terhadap warga masyarakat atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah.

Dari uraian tugas dan wewenang tersebut, secara jelas tidak ada gambaran hubungan kesetaraan antara satpol PP dengan “warga”. Artinya hubungan keduanya adalah mengawasi dan diawasi, bukan saling mengawasi. Satpol PP yang mengawasi memiliki kedudukan yang lebih kuat dibandingkan dengan “warga”yang diawasi. Dibekali peraturan perundangan (Perda), Satpol PP bisa melakukan tindakan represif tanpa takut melanggar hukum. Akibatnya, Satpol PP seringkali dilihat sebagai momok bagi “warga”, tukang gusur, orang yang ditakuti, tidak ada bedanya dengan perilaku premanisme, dan sebisa mungkin akan dihindari meskipun hanya sekedar bertatap muka.

Berbeda dengan tugas dan fungsi lembaga Polri. Menurut Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002, Polri memiliki tiga tugas utama yaitu : (a) memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; (b) menegakkan hukum; dan (c) memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Tugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat dilakukan dengan melakukan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli (Turjawali) dalam suatu komunitas masyarakat. Sifatnya preventif dan tidak hanya mengandalkan pelaksanaan Turjawali, tetapi kerjasama/kemitraan dengan masyarakat sangat diperlukan sehingga keperdulian masyarakat akan keamanan dan ketertiban lingkungannya dapat terpelihara.

Tugas menegakkan hukum akan dilakukan jika ada warga yang melakukan pelanggaran yang benar-benar dianggap telah melanggar hukum, merugikan orang lain, meresahkan orang lain, dan tentunya ada warga yang melaporkannya (meskipun dalam hal ini Polri juga memiliki diskresi untuk menindak tanpa ada laporan dari masyarakat). Tugas penegakan hukum ini bisa dilakukan dengan cara-cara repersif jika ada perlawanan dari pelaku pelanggaran. Selanjutnya untuk tugas ketiga, yaitu memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, merupakan tugas yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Tugas ini sangat krusial, di mana keberhasilan pelaksanaannya akan menentukan kepercayaan masyarakat kepada lembaga kepolisian.

Perbedaan antara satpol PP dengan Polri dapat diibaratkan perbedaan antara dua sisi mata belati dengan dua sisi pisau. Kalau Satpol PP, kedua sisinya tidak disukai oleh “warga”- tidak butuh. Sementara itu untuk Polri, satu sisi tidak disukai, sisi lainnya disukai – acuh tapi butuh. Dalam konteks inilah, Satpol PP harus dibenahi bukan dibubarkan, sehingga perannya tidak kaku dan hanya mengedepan perilaku represif terhadap “warga”. Paling tidak ada dua hal yang harus dibenahi, yaitu mekanisme operasional Satpol PP dengan menekankan pencegahan dari pada penindakan serta revisi peraturan pemerintah terkait tugas dan wewenang Satpol PP.

Pembiaran tumbuh-kembangnya sektor informal (underground economic) seperti pemukiman liar, pedagang kaki lima, pelacuran liar, atau warung remang-remang yang tidak memiliki ijin resmi merupakan salah satu sumber ketidaktentraman dan ketidaktertiban masyarakat. Biasanya di suatu lokasi - katakanlah di pinggir sungai yang jelas-jelas dilarang untuk aktivitas usaha -, munculnya satu unit usaha akan mendorong munculnya unit-unit usaha lainnya. Ketika tidak dicegah sejak dari awal, maka dalam beberapa waktu akan muncul usaha-usaha lain yang semakin lama semakin bertambah banyak. Area yang semula relatif aman dan nyaman, berubah menjadi sentra ekonomi dadakan yang masalahnya semakin kompleks dengan munculnya permasalahan lain seperti kesemrawutan, premanisme, atau hiburan liar malam (warung remang-remang).

Sebenarnya kalau pemerintah daerah disiplin dan tegas terhadap tumbuhnya bibit-bibit sektor informal ini, dikemudian hari mungkin tidak perlu ada tindakan represif Satpol PP dalam melaksanakan penertiban. Bagaimanapun juga pencegahan akan lebih murah dibandingkan langkah penindakan yang cenderung represif. Masalahnya, mentalitas beberapa aparat pemerintah daerah mudah tergoyahkan dengan sejumlah setoran untuk melanggengkan aktivitas sektor informal. Dengan kata lain, kegiatan sektor informal yang cenderung menimbulkan ketidaktertiban dan ketidakteraturan sengaja dipiara.

Selanjutnya peraturan pemerintah tentang Satpol PP yang perlu direvisi adalah bagaimana agar wewenang yang ada tidak hanya menempatkan Satpol PP sebagai penegak dan pengawas pelaksanaan peraturan daerah. Satpol PP harus difungsikan juga sebagai unsur pembinaan masyarakat dan sosialisasi berbagai peraturan daerah. Dengan demikian Satpol PP harus selalu melakukan pendekatan persuasif secara intens kepada “warga” yang bergerak di sektor informal, bukannya langsung gebuk tanpa ba-bi-bu. Tindakan represif adalah upaya akhir yang dilakukan kalau “warga” memang susah ditertibkan, atau melawan peraturan yang ada.

Pemerintah memang telah melakukan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 32 /2004 melalui Peraturan Pemerintah Nomor 6 / 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja. Dalam revisi tersebut terdapat penambahan tugas, fungsi, dan wewenang Satpol PP yang terkesan semakin luas. Namun demikian perubahannya belum secara jelas menggambarkan bagaimana Satpol PP yang memiliki dua sisi mata belati menjadi dua sisi mata pisau yang lebih bisa diterima oleh masyarakat. Penambahan substansi “pelaksanaan kebijakan perlindungan masyarakat” dan “fasilitasi dan pemberdayaan kapasitas penyelenggaraan perlindungan masyarakat” belum terbaca bagaimana tahapan pelaksanaan tugas Satpol PP yang mengedepankan tindakan persuasif dari pada tindakan represif.

Gambar diambil dari : http://dijurnal-blog.blogspot.com/2009/04/

Tidak ada komentar: