Senin, 07 Juni 2010

JIKA SEPEDA MOTOR DILARANG MENGGUNAKAN PREMIUM

Pada saat ini, pemerintah sedang mempertimbangkan pelarangan sepeda motor menggunakan Premium, terutama untuk sepeda motor produksi tahun-tahun baru. Wacana kebijakan ini untuk mengendalikan konsumsi BBM bersubsidi agar tidak membengkak seiring dengan pertumbuhan produksi sepeda motor. Di samping itu, masyarakat pengguna sepeda motor banyak yang mulai beralih menggunakan BBM non subsidi (pertamax), sehingga pemerintah menilai sudah saatnya subsidi BBM semakin dikurangi.

Wacana tersebut kontan menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Bagi yang pro menilai bahwa banyak keluarga di Indonesia yang memiliki lebih dari 1 unit sepeda motor. Pemilik kendaraan roda empat, juga banyak yang memiliki sepeda motor. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kepemilikan sepeda motor bukan sekedar untuk menghemat pengeluaran transportasi keluarga. Tetapi lebih pada kepraktisan dan mengatasi permasalahan kemacetan, khususnya di kota-kota besar. Kepemilikannyapun semakin memperhatikan keandalan (capasitas silider yang besar) dan kemewahan, sehingga dapat dijadikan simbol kesuksesan.

Sementara itu bagi yang kontra, pelarangan penggunaan Premium bagi sepeda motor dianggap sebagai kebijakan yang diskriminatif dan tidak peka terhadap kesulitan hidup rakyat. Mereka menilai lebih tepat jika kebijakan tersebut diberlakukan bagi kendaraan pribadi roda empat yang secara ekonomi lebih mapan dan paling banyak menerima subsidi. Pendapat lain mengatakan bahwa meskipun bukan merupakan kebijakan kenaikan harga BBM, kebijakan pelarangan sepeda motor menggunakan Premium diperkirakan akan menimbulkan dampak yang kurang lebih sama dengan kebijakan kenaikan harga BBM.

Meskipun wacana pelarangan sepeda motor menggunakan Premium tidak lagi dijadikan opsi dalam menekan penggunaan BBM bersubsidi (dibatalkan/ditunda), namun hal tersebut tentunya bukan kebijakan yang serampangan. Pemerintah pasti sudah memperhitungkan untung ruginya jika menerapkan hal tersebut. Terkait dengan hal ini, penulis mencoba menganalisa kira-kira dampak apa yang akan terjadi seandainya kebijakan tersebut jadi diterapkan.

Kebutuhan bensin untuk sepeda motor

Kebutuhan BBM secara nasional pertahun mencapai 62,93 juta kiloliter atau 172,41 ribu kiloliter perhari. Dari jumlah tersebut, negara memberikan subsidi sebanyak 36,5 juta kiloleter atau 58,0 persen dari kebutuhan nasional. Jumlah subsidi BBM yang terdiri dari solar, bensin Premium, dan minyak tanah rata-rata mencapai Rp. 2 ribu/liter, sehingga total subsidi BBM mencapai Rp.73 trilyun.

Menurut BPH Migas, jumlah sepeda motor Indonesia diperkirakan mencapai 35 juta unit dengan pertumbuhan rata-rata mencapai 5-6 persen atau 1,75 juta unit pertahun. Jika 1 unit sepeda motor memerlukan BBM 2 liter perhari, maka kebutuhan BBM akan mencapai 70 juta liter perhari. Jumlah ini setara dengan 40,6 persen kebutuhan BBM nasional atau mencapai 70 persen BBM bersubsidi. Dengan demikian, total kebutuhan subsidi sepeda motor mencapai Rp. 140 milyar/hari atau Rp.51,10 trilun/tahun.

Jika seorang pengguna sepeda motor dilarang menggunakan Premium dan dialihkan penggunaannya ke Pertamax, maka tambahan pengeluaran adalah Rp.4000/hari. Dengan demikian sebulan memerlukan tambahan pengeluaran sebesar Rp. 120.000 atau total pengeluaran BBM untuk sepeda motor menjadi Rp. 390.000. Tambahan ini cukup singifikan (sekitar 44,44 persen) bagi orang yang mengandalkan sepeda motor sebagai sarana transportasi.

Namun demikian, biaya BBM sepeda motor masih lebih murah dan lebih fleksibel bila dibandingkan dengan menggunakan transportasi umum. Untuk masyarakat yang tinggal di pinggiran Jakarta, naik kendaraan umum sekali jalan bisa 2 – 3 kali ganti sasana angkutan untuk sampai ke tempat kerja.

Seseorang yang tinggal di Depok misalnya, untuk mencapai tempat kerja dengan rute rumah – stasiun kereta – tempat kerja di kawasan Jalan Diponegoro, dengan sarana transportasi termurah minimal membutuhkan ongkos pulang - pergi sebesar Rp. 13.000. Jika menggunakan kereta express diperlukan tambahan sebesar Rp. 15.000. Jika ditambah naik ojek diperlukan tambahan sebesar Rp. 10.000, dan jika menggunakan taksi diperlukan tambahan yang lebih besar lagi. Sehingga untuk transportasi kerja dibutuhkan dana antara Rp. 13.000 – Rp. 35.000 perhari atau Rp. 286.000 – Rp.770.000,- perbulan.

Hitungan ini untuk satu orang, sedangkan motor bisa digunakan untuk 2 orang sehingga menjadi lebih murah lagi. Apabila memperhitungkan “cangkingan”, semisal sekalian menghantarkan anak sekolah, biayanya akan lebih murah lagi.

Dampak pelarangan sepeda motor menggunakan premium

Pengalihan penggunaan Premium ke Pertamax akan menimbulkan beberapa dampak positif, meskipun tidak menutup kemungkinan menimbulkan dampak negatif. Dampak negatif yang mungkin timbul adalah adanya gejolak sosial dan ekonomi berupa penolakan yang berpotensi anarkhis, tuntutan kenaikan upah buruh, tuntutan kenaikan tarif angkutan umum, inflasi, dan sebagainya meskipun semuanya itu akan menuju keseimbangan dengan sendirinya.

Pelarangan penggunaan Premium akan menekan tingkat polusi udara. Masyarakat akan bertindak lebih efisien dan cenderung akan menurunkan konsumsi BBM dan mengurangi aktivitas-aktivitas yang tidak begitu penting. Dampak ini sangat positif mengingat tingkat polusi udara sudah sedemikian parahnya, terutama di kota-kota besar.

Berdasarkan The US Environmental Protection Agency (EPA) dalam setiap galon bensin akan menghasilkan emisi karbon sebanyak 8,8 kg CO2 atau 2,3 kg CO2/liter. Jika 35 juta unit sepeda motor mengkonsumsi 2 liter bensin, maka akan menghasilkan emisi karbon sebanyak 161 ribu ton CO2/hari atau dalam setahun akan menghasilkan emisi karbon 58,76 juta ton CO2.

Seandainya kebijakan pelarangan penggunaan Premium berhasil menekan penggunaan BBM sebanyak setengah liter bensin/hari, maka akan menurunkan emisi karbon sebanyak 40,25 ribu ton CO2/hari atau dalam setahun akan menurunkan emisi karbon sebanyak 14,69 juta ton CO2. Seandainya berhasil, ini merupakan sumbangan yang cukup berarti bagi penanganan efek rumah kaca (global warming).

Bagi pemerintah, kebijakan pengalihan penggunaan Premium ke Pertamax adalah penghematan subsidi BBM. Maksimal penghematan subsidi BBM Rp.51,10 trilun/tahun. Penghematan ini dapat digunakan untuk subsidi yang lain seperti penciptaan lapangan kerja, pemberdayaan UKM, peningkatan pelayanan kesehatan dan pendidikan bagi masyarakat miskin, atau peningkatan kesejahteraan prajurit TNI/Polri.

Hitung-hitungan tersebut di atas kertas terkesan sederhana dan mudah untuk dipahami. Namun bagi masyarakat yang sedang mengalami kesulitan hidup, sulit untuk menerimanya. Mungkin untuk menambah pengeluaran Rp. 4000/perhari tidak terlalu berat, tetapi rentetan naiknya harga-harga yang lain yang menjadi keberatan masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah harus benar-benar mengkaji kebijakan tersebut. Jika kebijakan tersebut benar-benar dilaksanakan harus sangat selektif (tidak semua dilarang) dan jangan sampai terjadi penyimpangan.

Kesulitan yang dihadapi mungkin adalah bagaimana membedakan mana yang harus disubsidi dan yang tidak disubsidi. Apakah dibedakan berdasarkan tahun pembuatan, kapasitas silinder, atau yang lainnya. Barangkali perlu diciptakan mekanisme untuk membedakan mana yang harus disubsidi dan yang tidak disubsidi seperti pemasangan chip, pembedaan warna plat nomor kendaraan, atau pengenaan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi. Jika mekanisme ini diterapkan dan disertai pengawasan yang ketat, diharapkan penyimpangan dapat ditekan dan sasaran subsidi BBM dapat tercapai.

Gunarta
Staf Perencana Bappenas

Selasa, 01 Juni 2010

MENGAPA PEMENUHAN 20 PERSEN APBN PENDIDIKAN BELUM BERPENGARUH NYATA PADA KUALITAS PENDIDIKAN


Apabila kita mencermati pemberitaan tentang perkembangan dunia pendidikan, tampaknya mass media lebih menonjolkan kondisi pendidikan yang belum begitu menggembirakan. Media massa seringkali menyoroti kondisi bangunan sekolah yang tidak memadai seperti atap yang bocor, dinding yang berlobang-lobang, bangunan semi permanen, atau anak-anak yang belajar dengan fasilitas seadanya. Sangat jarang media massa menyoroti kualitas anak yang cerdas, berprestasi, penuh bakat meskipun berasal dari sekolah-sekolah di pelosok desa yang relatif sulit mendapat akses ke dunia luar.

Pemberitaan bad news tersebut seakan mempertanyakan peningkatan anggaran pendidikan yang telah mencapai angka 20 persen dari APBN, namun pada kenyataannya masih banyak kondisi sarana prasarana pendidikan yang kurang layak. Belum lagi masalah kualitas pendidikan yang belum meningkat secara signifikan apabila dikaitkan dengan seberapa lengkapnya sarana prasarana pendidikan, kualitas hasil pendidikan, keterterimaan hasil didik pada dunia kerja, tingkat penerapan teknologi pendidikan, serta yang paling mudah mengukurnya adalah tingkat kelulusan ujian nasional (UN) yang merupakan standar nasional kualitas pendidikan.

Tidak dapat disangkal lagi bahwa salah satu indikator keberhasilan belajar bagi siswa Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA/MA) adalah lulus UN. Lulus UN berarti akan ada transformasi jenjang pendidikan dari level dasar ke level menengah pertama, menengah atas (umum), atau ke bangku kuliah di perguruan tinggi. Menjadi jamak jika kelulusan UN acap diperlakukan sebagai puncak keberhasilan yang patut dirayakan dengan syukuran, berkonvoi keliling kota, atau coret moret baju seragam.

Sebaliknya bagi siswa yang tidak lulus UN, mereka akan meratapi dan menganggap usaha kerasnya selama ini tidak memetik hasil alias gagal. Kegagalan tersebut menyebabkan sebagian dari mereka mengalami depresi dan sedih berkepanjangan. Mereka tidak percaya kalau harus mengulang ujian UN yang menurut pandangan penulis hanya sebagai “bebungah” atau pelipur lara bagi para siswa yang gagal UN.

Berdasarkan pernyataan dari Mendiknas, secara nasional tingkat kelulusan SMU tahun 2010 menurun 4 persen dari tahun 2009, yakni dari 93,74 persen menjadi 89,88 persen. Total peserta UN tingkat SMA/MA tahun 2010 sebanyak 1.522.162 siswa, 154.079 siswa (10,12 persen) diantaranya mengulang dan jumlah yang tidak mengulang 1.368.083 siswa (89,88 persen). Provinsi dengan jumlah ketidaklulusan tinggi berada di wilayah timur Indonesia yaitu : Gorontalo (53 persen) Nusa Tenggara Timur/NTT (52,8 persen), dan Maluku Utara (41 persen), Sulawesi Tenggara /Sultra (35 persen) Kalimantan Timur/Kaltim (30 persen) dan Kalimantan Tengah/Kalteng (39 persen).

Untuk jenjang SMP, secara nasional tingkat kelulusannya juga mengalami penurunan. Tingkat kelulusan UN SMP/MTs/SMPT tahun 2010 turun 4,78 persen menjadi 90,27 persen dibanding tahun 2009 yang mencapai 95,05 persen. Jumlah siswa SMP/MTs/SMPT yang harus mengulang UN adalah sekitar 350.798 siswa dari sekitar 3.605.324 siswa. Sekolah yang terbanyak angka ketidaklulusannya, antara lain di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sebesar 39,87 persen dan Propinsi Gorontalo sebesar 38,80 persen. Sedangkan angka ketidaklulusan terendah di Propinsi Bali yakni 1,4 persen.

Sedangkan untuk kelulusan UN Sekolah Dasar, akan ditentukan sekitar tanggal 19 Juni 2010. Apabila proses pelaksanaannya tidak jauh berbeda dengan pelaksanaan UN SMA/MA dan SMP/MTs/SMPT, maka diprediksikan hasilnya juga akan mengalami penurunan.

Jika selama ini yang dikeluhkan adalah masalah keterbatasan anggaran pendidikan, maka sesuai dengan amandemen UUD 45, anggaran pendidikan dalam beberapa tahun ke belakang secara bertahap telah mencapai 20 persen dari APBN. Namun ironisnya, kualitas pendidikan yang dilihat dari tingkat kelulusan UN justru mengalami penurunan.

Mungkin masih terlalu dini untuk mengukur dampak 20 % APBN pendidikan, karena pemenuhannya baru tercapai dalam tahuan 2009 dan 2010. Namun secara gradual upaya pemenuhan 20 % APBN pendidikan telah dilakukan sejak tahun 2005, sehingga seharusnya dampaknya sudah mulai terlihat. Realitasnya, mutu pendidikan belum juga meningkat secara signifikan dengan trend menurun.

Ironi yang lain dari peningkatan APBN pendidikan tersebut adalah bukannya biaya pendidikan menjadi semakin murah, tetapi justru biaya pendidikan yang harus ditanggung oleh masyarakat menjadi semakin mahal. Akibatnya fenomena menara gading muncul kembali, di mana hanya orang-orang tertentu yang bisa mencapai puncak menara.

Untuk masuk perguruan tinggi ternyata tidak hanya bermodal otak encer, tetapi kantong juga harus tebal. Tanpa dana yang lebih besar, jangan harap bisa memasuki perguruan tinggi favorit. Begitu dinyatakan lulus seleksi, calon mahasiswa disodori kesediaan untuk membayar uang pembangunan (uang gedung) yang jumlahnya puluhan, bahkan ratusan juta. Bahkan untuk masuk SMP atau SMA unggulan yang dikemas SBI, orang tua murid harus mengeluarkan dana awal sampai dengan 30 jutaan.

Anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN, sepertinya lebih banyak digunakan untuk meningkatkan akses pendidikan bagi warga negara termasuk pembangunan infrastruktur pendidikan, kualitas pendidik, dan meningkatkan kesejahteraan guru. Alokasi untuk meningkatkan kualitas pendidikan dengan aspek teknologi masih sangat kurang. Hal tersebut dapat dilihat pada prioritas pembangunan pendidikan yang tercantum dalam dokumen RPJMN 2010 – 2014 Buku II Bidang Sosial Budaya dan Kehidupan Beragama.

Menurut dokumen tersebut, untuk mencapai keluasan dan kemerataan akses pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan tinggi yang bermutu dan berdaya saing internasional, serta pendidikan non formal yang bermutu dan relevan dengan kebutuhan masyarakat dialokasikan sebesar Rp. 313,41 trilyun.

Untuk mencapai kemerataan guru dan tenaga kependidikan yang bermutu, antar propinsi, kabupaten dan kota dialokasikan sebesar Rp. 114,39 trilyun. Untuk mencapai meningkatnya layanan perpustakaan, pelestarian fisik dan kandungan naskah kuno dan budaya gemar membaca di masyarakat dialokasikan anggaran sebesar Rp. 1,34 trilyun. Untuk meningkatnya kualitas pendidikan agama dan keagamaan dialokasikan anggaran sebesar Rp. 4,14 trilyun. Selanjutnya untuk mencapai makin mantapnya pelaksanaan sistem pendidikan nasional dialokasikan anggaran sebesar Rp. 27,89 trilyun.

Anggaran yang cukup besar tersebut sebagain besar untuk kegiatan pemberian bantuan operasional sekolah (BOS) dan bantuan operasional managemen mutu (BOMM), pemberian beasiswa siswa/mahasiswa miskin, penguatan tata kelola dan sistem pengendalian di lingkungan Ditjen Dikti dan Perguruan Tinggi, sertifikasi dan beasiswa bagi pendidik sekolah dasar dan menengah, serta tunjangan profesi dan fungsional guru.

Berbagai kegiatan tersebut tampaknya lebih pada upaya peletakan dasar (fondasi) pendidikan, belum pada upaya meningkatkan kualitas pendidikan. Oleh karena itu, hasilnya belum tampak secara nyata. Para birokrat dan praktisi pendidikan masih sibuk memperjuangkan institusi dan hak-hak pendidik, sehingga tidak terlalu fokus pada pencapaian kualitas pendidikan, setidaknya pada jangka pendek.

Anggaran pendidikan menurut hemat penulis, sebaiknya mulai dipikirkan untuk lebih meningkatkan standar pendidikan. Salah satunya melalui penyetaraan kurikulum pendidikan. Kurikulum pendidikan memang sudah dibuat, tetapi kenyataannya hanya sebagian kecil sekolah mampu melaksanakan standar kurikulum dengan optimal. Itupun karena didukung dengan biaya yang mahal yang harus ditanggung orang tua murid.

Jika setiap sekolah dibuat mampu melaksakanan standar kurikulum, maka kisruh kelulusan Ujian Akhir Nasional tidak akan terjadi lagi. Ini adalah tugas yang sangat berat dan membutuhkan kerelaan dan pengorbanan para birokrat dan praktisi pendidikan. Tidak dapat dipungkiri apabila para birokrat pendidikan saat ini lebih senang “mroyek” di bidang pendidikan. Artinya mereka mencari penghidupan di bidang ini dan tidak terlalu peduli akan hasil proyeknya.

Di sisi lain, para praktisi pendidikan menjadikan bidang pendidikan sebagai ladang bisnis yang profit oriented. Makanya tidak jarang, antara birokrat dan praktisi bisnis terjebak dalam konspirasi yang menguntungkan kedua belah pihak, tetapi merugikan dunia pendidikan. Ujung-ujungnya, banyak birokrasi pendidikan berperkara dengan aparat penegak hukum.

Gunarta
Staf Perencana Bappenas

Selasa, 11 Mei 2010

SENSUS PENDUDUK , HANYA TEMPEL STIKER ?

Mulai tanggal 1 Mei sampai dengan 31 Mei 2010, Pemerintah Indonesia menggelar kembali sensus penduduk. Sensus kali ini adalah merupakan sensus ke-6 setelah tahun 1961, 1971, 1980, 1990 dan 2000. Kabarnya pelaksanaan sensus kali ini menelan biaya sekitar 5-6 Triliun rupiah, dengan melibatkan sekitar 700.000 tim yang akan memonitor langsung pelaksanaannya di seluruh Indonesia. Mudah-mudahan dana sebesar ini tidak mubazir karena hasil sensus tidak valid, layaknya data Balai Desa yang kadangkala tidak berubah dari tahun ke tahun. Masih ingat waktu kuliah dulu, ketika Tugas Lapangan di suatu desa di Jawa Tengah, penulis buka buku potensi desa yang cukup rapi dan bersih. Dalam buku tersebut tertulis data jumlah ternak selama 5 tahun terakhir jumlahnya sama, yaitu sapi 41 ekor, kambing 126 ekor, ayam 3501 ekor.

Sudah menjadi kewajiban bagi warga negara untuk mensukseskan pelaksanaan Sensus Penduduk 2010. Keterlibatan warga negara secara aktif akan menentukan validitas data pembangunan Indonesia yang selama jeda sensus hanya didasarkan pada asumsi, proyeksi, atau survey yang seringkali penyimpangannya (deviasi) cukup tinggi.

Sensus penduduk dilaksanakan secara door to door, di mana setiap petugas sensus melakukan pendataan dari rumah ke rumah. Dengan metode ini diharapkan tidak akan ada rumah tangga yang terlewatkan, sehingga missing data tidak akan terjadi. Bahkan dengan metode ini, Kepala BPS berani menjamin bahwa semua rumah tangga akan terdata, desa terpelosok sekalipun tidak akan luput dari pendataan.

Dalam kunjungan petugas sensus, rumah tangga akan disodori sebanyak 43 pertanyaan. Secara pasti, penulis belum tahu substansi apa saja yang ditanyakan para petugas sensus, karena penulis belum merasa disensus. Namun berdasarkan hasil googling, pertanyaan sensus adalah seputar kondisi dan fasilitas perumahan dan bangunan tempat tinggal, karakteristik rumah tangga dan keterangan individu anggota rumah tangga.

Namun demikian, secara pribadi penulis agak menyangsikan hasil sensus kali ini. Kesangsian ini didasari pada penglihatan pelaksanaan sensus di tempat tinggal penulis. Penulis tinggal di Kampung Kupu Rangkapan Jaya Depok. Pada hari Minggu 2 Mei 2010, ada sejumlah ibu-ibu mengenakan rompi Sensus 2010 berjalan-jalan di depan rumah penulis. Penulis melihat dari dalam rumah, salah seorang dari tim itu menuju rumah. Penulis sudah siap-siap menyambutnya sebagai bentuk dukungan terhadap pelaksanaan Sensus Penduduk 2010.

“Assalamualaikum pak, Sensus Penduduk”.

Baru siap-siap mau keluar, petugas itu sudah mengeloyor meninggalkan rumah penulis dengan meninggalkan tempelan stiker di kaca jendela penulis. Agak kecewa juga. Apakah sensus hanya sekedar tempel stiker, tidak ada wawancara ? Padahal pintu rumah terbuka dan penulis beserta keluarga sudah siap-siap menjawab segala pertanyaan sejujur mungkin.

Katakanlah, petugas sensus berinisiatif mengambil data sekunder yang tersedia di kantor Rukun Tetangga ( RT). Namun, data RT-pun, sangat mungkin tidak pernah di-up date baik oleh petugas RT maupun oleh warga yang tinggal di wilayah RT tersebut. Hal ini dapat dimaklumi kalau petugas RT berlaku pasif dalam hal data kependudukan, mengingat jabatan ketua RT merupakan jabatan sosial, sukarela, dan tidak dibayar. Ketua RT akan bergerak jika ada insentif atau ada permintaan dari RW atau kelurahan.

Apabila petugas sensus mengutamakan pendataan bangunan fisik sesuai dengan kelas bangunan, mungkin hasilnya mendekati valid karena para petugas berkeliling kampung sambil menjumlah serta mengkategorikan kelas bangunan. Namun ketika hanya melihat bangunan fisik dari luar, sangat mungkin petugas sensus akan terkecoh dengan data pandangan mata dari fisik bangunan. Sebuah bangunan kadangkala dari luar terlihat bagus, tetapi bagian dalamnya mungkin “glondang” (kosong), tidak ada perabot rumah tangga, tidak ada kendaraan, atau barang-barang lain yang merupakan elemen penentu kriteria kelas bangunan. Hal sebaliknya, rumah yang dari luar tampak jelek, sangat mungkin dalamnya terdapat perabot rumah tangga yang lengkap, mewah, dan berkelas. Jadi, akan tidak bijak apabila petugas sensus tidak melakukan kunjungan rumah tangga.

Lantas dengan data yang lain bagaimana ? Jumlah penduduk, mungkin masih bisa didapat secara sekunder dari data RT karena di kantor (rumah) RT tersimpan kartu keluarga (kartu KK). Tetapi bagaimana data tentang pekerjaan warga? Kalau warga yang bermatapencaharian sebagai PNS atau TNI/Polri, hampir dipastikan tidak mengalami perubahan. Sementara data mata pencaharian warga seperti buruh, petani, bangunan, pegawai pabrik, jasa angkutan, jasa keuangan dan sebagainya sangat mungkin berubah setiap saat. Jadi, sangat mungkin data kependudukan yang ada di ketua RT terkait dengan mata pencaharian, tidak banyak berubah dalam beberapa tahun alias stagnan. Dengan demikian, petugas sensus memang harus mendatangi rumah tangga secara door to door,melakukan wawancara mendalam, dan tidak sekedar tempel stiker lantas ngeloyor pergi.

Akhirnya, secara pribadi penulis mengharapkan kepada pejabat Biro Pusat Statistik dapat melakukan Sensus Penduduk 2010 ini dengan mentaati metodologi yang telah dibuat. Penyimpangan dari metode yang telah ditetapkan akan berakibat hasil sensus tidak sesuai dengan yang diharapkan dan berujung pada kurang validnya data. Data pemangunan yang kurang valid, akan berakibat pada tidak tepatnya sasaran pembangunan yang ingin dicapai, baik sasaran jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka panjang.


Gunarta
PNS Bappenas

TUGAS DAN WEWENANG PENYIDIKAN TINDAK PIDANA NARKOBA - SATU PEKERJAAN DUA PETUGAS

Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika mengamanatkan dibentuknya BNN yang lebih operasional dan memiliki kewenangan penyidikan penyalahgunaan narkotika dan prekursor narkotika. Kewenangan penyidikan tersebut selama ini menjadi kewenangan Polri. Adanya kewenangan ini selain memperkuat kelembagaan BNN, sekaligus memunculkan kekhawatiran akan adanya kompetisi yang tidak sehat antara penyidik BNN dengan penyidik Polri, paling tidak pada tahap awal pengimplementasiannya. Kekhawatiran ini masuk akal mengingat kejahatan narkotika dan prekursor narkotika memiliki nilai yang cukup strategis. Banyak perwira Polri kariernya bersinar terang ketika sukses menangani kejahatan narkotika dan prekursor narkotika. Bahkan, Kepala BNN yang sedang menjabat saat ini, dahulunya pernah sukses menangani kasus narkoba yang melibatkan artis terkenal tahun 90-an.

Wewenang penyidik BNN cukup banyak. Pasal 75 menyebutkan bahwa alam rangka melakukan penyidikan, penyidik BNN berwenang: (a) melakukan penyelidikan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang adanya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika; (b) memeriksa orang atau korporasi yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika; (c) memanggil orang untuk didengar keterangannya sebagai saksi; (d) menyuruh berhenti orang yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika serta memeriksa tanda pengenal diri tersangka; (e) memeriksa, menggeledah, dan menyita barang bukti tindak pidana dalam penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika; (f) memeriksa surat dan/atau dokumen lain tentang penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan prekursor narkotika; (g) menangkap dan menahan orang yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika; (h) melakukan interdiksi terhadap peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika di seluruh wilayah juridiksi nasional; (i) melakukan penyadapan yang terkait dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan prekursor narkotika setelah terdapat bukti awal yang cukup; (j) melakukan teknik penyidikan pembelian terselubung dan penyerahan di bawah pengawasan; (k) memusnahkan narkotika dan prekursor narkotika; (l) melakukan tes urine, tes darah, tes rambut, tes asam dioksiribonukleat (DNA), dan/atau tes bagian tubuh lainnya; (m) mengambil sidik jari dan memotret tersangka; (n) melakukan pemindaian terhadap orang, barang, binatang, dan tanaman; (o) membuka dan memeriksa setiap barang kiriman melalui pos dan alat-alat perhubungan lainnya yang diduga mempunyai hubungan dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan prekursor narkotika; (p) melakukan penyegelan terhadap narkotika dan prekursor narkotika yang disita; (q) melakukan uji laboratorium terhadap sampel dan barang bukti Narkotika dan prekursor narkotika; (r) meminta bantuan tenaga ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan tugas penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika; dan (s) menghentikan penyidikan apabila tidak cukup bukti adanya dugaan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika.

Selain sebagaimana disebutkan dalam pasal 75, Penyidik BNN juga berwenang: (a) mengajukan langsung berkas perkara, tersangka, dan barang bukti, termasuk harta kekayaan yang disita kepada jaksa penuntut umum; (b) memerintahkan kepada pihak bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga dari hasil penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika milik tersangka atau pihak lain yang terkait; (c) untuk mendapat keterangan dari pihak bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka yang sedang diperiksa; (d) untuk mendapat informasi dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang terkait dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika; (e) meminta secara langsung kepada instansi yang berwenang untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri; (f) meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka kepada instansi terkait; (g) menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau mencabut sementara izin, lisensi, serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika yang sedang diperiksa; dan (h) meminta bantuan interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri (pasal 80).

Sesuai Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tugas pokok Polri adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakkan hukum; dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat (pasal 13). Penyelidikan and penyidikan merupakan salah satu dari 12 tugas Polri ( Pasal 14). Butir g menyebutkan bahwa Polri memiliki tugas melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam dua pasal ini di bidang proses pidana, Polri berwenang untuk : (a) melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan; (b) melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan; (c) membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan; (d) menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; (e) melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; (f) memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; (g) mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; (h) mengadakan penghentian penyidikan; (i) menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum; (j) mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana; (k) memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan (l) mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Jika dibandingkan, poin-poin tugas dan wewenang penyidikan antara BNN dan Polri hampir sama. Bedanya, BNN hanya menyidik kejahatan narkotika dan prekursor narkotika. Sementara itu, Polri menyidik semua jenis kejahatan termasuk narkotika dan prekursor narkotika. Untuk melakukan tugas dan wewenang ini, Badan Reserse Kriminal Polri (Bareskrim) membentuk direktorat khusus yang menangani narkotika dan prekursor narkotika. Dengan demikian kedua lembaga ini memiliki wewenang yang sama dalam melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika, sebagaimana diatur dalam pasal 81 UU nomor 35 tahun 2009.

Konsekuensi dari tugas dan wewenang penyidikan BNN adalah bagaimana menyiapkan sumber daya manusia penyidik BNN, sarana dan prasarana penyidikan, dan mekanisme kerjasama antara penyidik BNN dan penyidik Polri atau dengan penyidik lainnya. Sebagai lembaga yang semula hanya sebagai lembaga non-struktural yang bersifat koordinatif, maka secara organik tidak memiliki tenaga penyidik yang khusus. BNN hanya membentuk dan memfasilitasi satuan tugas yang sebenarnya dapat dikatakan sebagai perpanjangan tangan Direktorat IV Narkoba Bareskrim Polri. Tidak mengherankan jika laporan keberhasilan pencegahan dan penanggulangan kejahatan narkotika dan prekursor narkotika diklaim oleh Polri.

Oleh karena itu, BNN harus segera membentuk pasukan khusus (strike force) pencegahan dan penanggulangan kejahatan narkotika dan prekursor narkotika. Perekrutan dari awal mungkin tidak efektif karena harus melakukan pendidikan dan pelatihan yang memakan waktu cukup lama. Padahal kejahatan narkotika dan prekursor narkotika cenderung semakin meluas dan prevalensi penyalahgunaan narkotika cenderung meningkat. Akan lebih efektif apabila satuan tugas yang sudah ada dipertahankan, selanjutnya secara bertahap direkrut dan dididik penyidik BNN yang organik.

Sarana dan prasarana penyidik BNN juga harus segera disediakan untuk menunjang proses penyidikan. Berbeda dengan Polri, secara prinsip lembaga Polri sudah siap dan dilengkapi berbagai fasilitas penyidikan mulai dari laboratorium forensik, alat penyadap, sarana investigasi, sampai dengan kamar tahanan. Sementara itu, untuk melaksanakan tugas dan wewenang penyidikan BNN, sampai saat ini infrastrukturnyapun belum ada yang dibangun. Paling cepat tahun 2011 baru dimulai pembangunannya. Sehingga mau tidak mau, BNN harus memperpanjang masa tugas Satgas Pencegahan dan Penindakan.

Selanjutnya terkait dengan mekanisme kerjasama antara penyidik BNN dan penyidik Polri atau dengan penyidik lainnya, sudah diatur dalam UU 35/2009 ini. Dalam melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan prekursor narkotika, penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia memberitahukan secara tertulis dimulainya penyidikan kepada penyidik BNN begitu pula sebaliknya. Sementara itu, dalam melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan Narkotika dan prekursor narkotika, penyidik pegawai negeri sipil tertentu berkoordinasi dengan penyidik BNN atau penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana.

Ketentuan tersebut mengisyaratkan bahwa langkah kerjasama untuk menghindarkan penyalahgunaan wewenang atau penyerobotan wewenang oleh salah satu pihak ke pihak yang lain, khususnya antara penyidik Polri dengan penyidik BNN. Sedangkan untuk penyidik pegawai negeri sipil, segala upaya penyidikan diarahkan untuk membantu dan menyerahkan hasilnya kepada penyidik Polri maupun penyidik BNN. Namun dalam pelaksanaannya nanti, pelaksanaan tugas dan wewenang penyidikan penyalahgunaan narkoba ini berpotensi menimbulkan persaingan diantara penyidik Polri dan penyidik BNN.

Tidak mengherankan hal tersebut dapat terjadi karena sebagaimana di sebutkan di atas, kejahatan narkoba memiliki nilai yang cukup strategis baik dalam rangka penitian karier atau terkait dengan tingginya nilai ekonomi penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. Oleh karena itu, harus dibuat mekanisme yang efektif dan efisien, sehingga persaingan yang tidak sehat dapat ditekan seminimal mungkin. Apabila memungkinkan, Direktorat IV Narkoba Bareskrim Polri digabungkan dengan BNN agar tidak ada kesan overlapping pelaksanaan tugas, meskipun dengan demikian harus mengamandemen peraturan perundangannya.

Gunarta
Gambar diperoleh dari : http://edwardmushalli.files.wordpress.com/2009/05/indonesia-merdeka-tanpa-narkoba_resize2.jpg

Senin, 10 Mei 2010

KONSEKUENSI UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TERHADAP ORGANISASI BADAN NARKOTIKA NASIONAL


Sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 34 tahun 2009 tentang Narkotika, organisasi Badan Nasional Narkotika diatur melalui Peraturan Presiden Nomor 83 tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Propinsi, dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota. Dengan lahirnya undang-undang tersebut, terdapat perbaikan atau penguatan yang cukup signifikan terhadap kelembagaan pencegahan dan penanggulangan narkoba ini. Jika semula hanya sebagai lembaga non-struktural yang bersifat koordinatif, maka undang-undang yang baru mengisyaratkan sebagai lembaga yang lebih operasional.

Juga, dengan undang-undang tersebut, permasalahan pembentukan BNN di Propinsi dan Kabupaten/Kota tidak lagi terkendala oleh Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang tidak mengatur pembentukan BNP/BNKab/Kota. Meskipun hal tersebut dapat diatasi dengan PP 41 tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, tetapi sampai dengan tahun 2009 akhir baru terbentuk 14 BNP. Ini berarti, proses pembentukannya sangat terkait dengan kondisi politik di daerah dan keterbatasan anggaran pemerintah daerah.

Pasal 64 menyebutkan bahwa dalam rangka pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika, dibentuk Badan Narkotika Nasional (BNN), sebagai lembaga pemerintah nonkementerian yang berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden. Selanjutnya berdasarkan pasal 65, BNN berkedudukan di ibukota negara dengan wilayah kerja meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia. BNN memiliki perwakilan di daerah provinsi dan kabupaten/kota yang secara organisatoris merupakan instansi vertikal.

BNN dipimpin oleh seorang kepala dan dibantu oleh seorang sekretaris utama dan beberapa deputi. Kepala BNN diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Apabila melihat persyaratan yang harus dipenuhi, maka Kepala BNN sepertinya harus dari unsur kepolisian, di mana dalam pasal 69 butir e disebutkan : “berpengalaman paling singkat 5 (lima) tahun dalam penegakan hukum dan paling singkat 2 (dua) tahun dalam pemberantasan Narkotika”. Kriteria seperti ini hanya dimiliki oleh anggota Polri yang secara hukum memang mendapat tugas melakukan penegakan hukum dan pemberantasan narkoba.

Dibandingkan dengan BNN berdasarkan Perpres 83 tahun 2007, tugas dan wewenang BNN lebih luas, tidak sekedar menjalankan fungsi sebagai lembaga pengkoordinasi. Dalam Perpres tersebut, tugas BNN membantu Presiden dalam : (a) mengkoordinasikan instansi pemerintah terkait dalam penyusunan kebijakan dan pelaksanaan kebijakan operasional di bidang ketersediaan dan pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika,prekursor dan bahan adiktif lainnya atau dapat disingkat dengan P4GN; dan (b) melaksanakan P4GN dengan membentuk satuan tugas yang terdiri atas unsur instansi pemerintah terkait sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangannya masing-masing.

Dalam melaksanakan tugas tersebut, BNN menyelenggarakan fungsi: (a) pengkoordinasian instansi pemerintah terkait dalam penyiapan dan penyusunan kebijakan di bidang ketersediaan
dan P4GN; (b) pengkoordinasian instansi pemerintah terkait dalam pelaksanaan kebijakan di bidang ketersediaan dan P4GN serta pemecahan permasalahan dalam pelaksanaan tugas; (c) pengkoordinasian instansi pemerintah terkait dalam kegiatan pengadaan, pengendalian, dan pengawasan di bidang narkotika, psikotropika, prekursor dan bahan adiktif lainnya; (d) pengoperasian satuan tugas yang terdiri atas unsure pemerintah terkait dalam P4GN sesuai dengan bidang tugas, fungsi dan kewenangan masing-masing; (e) pemutusan jaringan peredaran gelap narkotika, psikotropika, prekursor dan bahan adiktif lainnya melalui satuan tugas; (f) pelaksanaan kerja sama nasional, regional dan internasional dalam rangka penanggulangan masalah narkotika, psikotropika, prekursor dan bahan adiktif lainnya; (g) pembangunan dan pengembangan sistem informasi, pembinaan dan pengembangan terapi dan rehabilitasi serta laboratorium narkotika, psikotropika, prekursor dan bahan adiktif lainnya; dan (h) pengorganisasian BNP dan BNK/Kota berkaitan dengan pelaksanaan kebijakan di bidang P4GN.

Sedangkan Berdasar pasal 70 UU 35 tahun 2009, tugas BNN adalah : (a) menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; (b) mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; (c) berkoordinasi dengan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; (d) meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial pecandu Narkotika, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat; (e) memberdayakan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; (f) memantau, mengarahkan, dan meningkatkan kegiatan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; (g) melakukan kerja sama bilateral dan multilateral, baik regional maupun internasional, guna mencegah dan memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; (h) mengembangkan laboratorium Narkotika dan Prekursor Narkotika; (i) melaksanakan administrasi penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan (j) membuat laporan tahunan mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang.

Dalam melaksanakan tugas pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, BNN berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika. Kewenangan ini dilaksanakan oleh Penyidik BNN yang diangkat dan diberhentikan oleh Kepala BNN.

Konsekuesi dari ditetapkannya Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 adalah terbentuknya BNN Propinsi dan BNN Kabupaten/Kota yang jumlahnya cukup banyak. Jika instansi vertikal ini terbentuk semua, maka akan ada 33 BNN Propinsi dan 483 BNN Kabupaten/Kota. Menurut ketentuan peralihannya, dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak undang-undang ini diundangkan, struktur organisasi dan tata kerja Badan Narkotika Nasional yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 harus sudah disesuaikan dengan undang-undang ini. Langkah ini sudah diselesaikan dengan ditetapkannya Peraturan Presiden Nomor 23 tahun 2010 tentang Badan Narkotika Nasional. Selanjutnya, dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak undang-undang ini diundangkan, struktur organisasi dan tata kerja BNN provinsi dan BNN kabupaten/kota yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 harus sudah disesuaikan dengan undang-undang ini.

Nampaknya untuk ketentuan peralihan kedua sangat sulit dipenuhi mengingat keterbatasan keuangan negara. Menurut perhitungan sementara, anggaran yang dibutuhkan untuk membentuk dan mengoperasionalkan BNN dan seluruh instansi vertical BNN selama 5 tahun pertama minimal Rp. 11 trilyun. Padahal dalam RPJMN 2010 – 2014, secara indikatif negara hanya mampu membiayai operasional BNN sebesar Rp. 4,1 trilyun. Anggaran ini dialokasikan untuk kegiatan-kegiatan prioritas, termasuk pembentukan 14 BNN Propinsi dan 100 BNN Kabupaten/Kota.

Konsekuensi lain yang tidak kalah penting adalah terkait dengan sumber daya manusia dan asset yang dimiliki oleh BNP dan BNKab/Kota. Peraturan Presiden Nomor 23 tahun 2010 menyebutkan bahwa Pejabat dan Pegawai di lingkungan Pelaksana Harian BNN, BNP, dan BNK/Kota yang menjadi Pejabat dan Pegawai BNN berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan dapat memilih status tetap sebagai Pejabat dan Pegawai BNN atau kembali kepada instansi induknya. Untuk memilih status kepegawaian ini tentu sangat tidak mudah mengingat akan terjadi perbedaan kesejahteraan. Hal yang sangat mungkin, jika memilih menjadi pegawai tetap BNN kesejahteraannya justru menurun karena tunjangan pemerintah akan dicabut.

Selanjutnya terkait dengan asset BNN disebutkan bahwa seluruh aset negara yang dikelola dan digunakan oleh Pelaksana Harian BNN sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Provinsi, dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota, dalam jangka waktu 6 (enam) bulan beralih penggunaan dan pengelolaan kepada BNN setelah mendapat persetujuan dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang keuangan. Upaya penyelesaian asset ini juga akan memakan waktu yang cukup lama, mengingat tidak mudah baik proses maupun keikhlasan pemerintah daerah secara suka rela untuk menyerahkan assetnya.


Gunarta

Jumat, 07 Mei 2010

ANCAMAN KEAMANAN DAN KESELAMATAN PENUMPANG KERETA COMMUTER JABODETABEK


Tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan kereta listrik Commuter Jabodetabek sangat dibutuhkan, terutama masyarakat wilayah pinggiran Ibu Kota Jakarta. Kedatangannya selalu dinanti jutaan masyarakat yang tinggal di pinggiran Ibu Kota Jakarta. Mutu pelayanan yang dirasakan masih sangat rendah, tidak menyurutkan keinginan masyarakat untuk terus menggunakan jasa kereta api, karena dari sisi waktu pencapaian lebih cepat dan lebih aman dibandingkan dengan moda transportasi yang lain yang rawan macet dan rawan kecelakaan.

Selain menjadi solusi transportasi, keberadaan kereta api memberikan efek pengganda yang cukup besar bagi perekonomian local, baik secara formal maupun informal. Mulai dari angkutan kota pengumpan dan penjemput (feederer), penitipan kendaraan, penjaja koran, penjaja makanan dan minuman, pernik-pernik, asesoris, pemondokan, perumahan, sampai dengan pusat-pusat bisnis, sangat terkait dengan aktivitas perkeretaapian ini. Tidak mengherankan juga apabila perkeretaapian memunculkan sederetan aktivitas kriminal seperti peredaran narkoba, pencopetan, pemukiman liar, pemalakan, atau pelecehan seksual yang mengganggu keamanan dan keselamatan penumpang.

Aliran manusia yang menggunakan jasa kereta api yang mencapai puncak pada pagi hari dan sore hari, merupakan pemandangan yang terlihat sehari-hari. Keterbatasan rangkaian kereta api membuat masyarakat tidak mempermasalahkan padatnya penumpang. Kenyamanan menjadi barang mahal dan pilihan bagi penumpang yang tidak ingin bersusah-payah berdesak-desakan di dalam kereta. Bila ingin nyaman, harus naik kereta ekspress yang sejuk dan relatif cepat sampai tujuan, tetapi harus membayar mahal. Bila ingin agak nyaman, naik kereta ekonomi AC, meskipun lebih sering diganti kipas angin. Pilihan terakhir yang relatif kurang aman dan nyaman, tetapi murah, bisa naik kereta ekonomi baik di dalam gerbong maupun di atas gerbong. Sedikit (sangat) berbahaya, tetapi sesuai dengan harga yang dibayar.

Meski relatif aman, pilihan menggunakan moda kereta api tetap saja mengandung resiko, di mana besanya resiko berbeda-beda tergantung kelas kereta. Resiko terkena tindak criminal dimulai ketika penumpang masuk gerbong. Keinginan untuk mendapatkan posisi dan tempat duduk, menyebabkan para penumpang saling dorong memasuki gerbong. Resiko jatuh, terinjak-injak oleh penumpang lain, atau kecopetan bisa saja terjadi jika tidak hati-hati.

Selanjutnya ketika berada di dalam kereta, kepadatan penumpang akan mendorong tindak kriminal pencopetan dan pelecehan seksual. Kecopetan bisa terjadi ketika penumpang lengah dan tidak dengan baik menjaga barang miliknya. Sementara itu tindak pelecehan seksual dapat menimpa para perempuan yang tampil “menarik”. Kondisi yang berdesak-desakan, memberikan kesempatan pada laki-laki maniak (cenderung sakit jiwa daripada kriminal) untuk sekedar menggesek-gesekkan alat vitalnya atau bahkan melakukan masturbasi ke bagian belakang tubuh wanita (maaf : pantat). Kejadian ini sering terjadi digerbong-gerbong yang relatif gelap dan padat penumpang.

Hal yang tidak kalah menyeramkan adalah tindak kriminal aksi pelemparan batu oleh orang-orang yang sekedar iseng atau orang yang mengalami gangguan kejiwaan. Selain menimbulkan kerusakan pada kaca gerbong kereta, aksi pelemparan seringkali menimbulkan korban luka-luka para masinis dan penumpang.

Menurut catatan DAOP 3 Cirebion, data kerugian materil akibat pelemparan batu pada tahun 2008 sebanyak 497 kaca pecah dan membutuhkan biaya sebesar 278 juta rupiah untuk penggantian kaca, belum termasuk 3 penumpang dan 1 orang masinis luka-luka http://argojati.wordpress.com/. Selain menyebabkan petugas dan penumpang terluka, aksi pelemparan seringkali juga menyeabkan keterlambatan kereta karena harus mengevakuasi para korban dan memperbaiki serta mengecek tingkat kerusakan agar tidak membahayakan perjalanan kereta api selanjutnya.

Pada tahun 2005, Masinis Zaenal Abidin, harus kehilangan matanya karena dilempari batu oleh anak sekolah saat kereta api yang dikemudikannya melintas di daerah Kebayoran Baru. Zaenal Abidin saat ini menjadi pelayan di Griya Karya PT. KA karena sudah cacad. Selanjutnya pada September 2008, Sutarya (53 tahun) asisten masinis Kereta Bengawan harus operasi mata karena aksi pelemparan batu di lintasan Stasiun Kranji Bekasi.

Masih banyak lagi cerita-cerita pilu akibat ulah orang yang sekedar iseng atau orang sakit jiwa melempari kereta. Berdasarkan penglihatan dan pengamatan sehari-hari penulis, untuk lintasan Jakarta – Depok – Bogor, aksi pelemparan sering terjadi antara ruas Stasiun Manggarai – Tebet – Cawang – Kalibata – Pasar Minggu Baru - Stasiun Pasar Minggu – Tanjung Barat. Sesekali terjadi di ruas Stasiun Universitas Pancasila – Universitas Indonesia; Pondok Cina – Depok Baru; dan Depok Lama – Citayam. Ruas-ruas ini relatif merupakan permukiman padat, tetapi banyak kebon-kebon kosong yang merupakan tempat aman untuk melakukan pelemparan.

Atas berbagai ancaman keamanan dan keselamatan perkeretaapin tersebut, PT. KA, khususnya PT. KAI Commuter sebagai pengelola kereta listrik Jabodetabek perlu melakukan tindakan nyata untuk mencegah semakin banyaknya kerugian dan korban yang jatuh. Kenyamanan penumpang tidak hanya dengan menambah jadwal atau memperbanyak jumlah gerbong-gerbong AC (profit oriented). Keselamatan para penumpang sebagai sumber pendapatan utama kereta api harus semakin diperhatikan. Nilai strategis kereta api yang monopolistik tidak boleh menganut “take it or leaved”, mentang-mentang dibutuhkan, tidak ada saingan, lalu mendendangkan lagu “hitam-hitam si kereta api, walau hitam banyak yang mencari”. Artinya, pihak kereta api harus meningkatkan kualitas pelayanan yang selama ini terkesan tidak prima.

Secara internal, PT. KA harus menyediakan tenaga-tenaga pengamanan (Satpam) yang mampu bertindak tegas dan tidak mengumbar toleransi. Masih banyaknya penumpang liar yang tidak hanya di kereta ekonomi, tetapi juga kereta eksekutif menunjukkan pengawasan lalu lintas penumpang masih belum optimal. Saat ini memang sudah ada outsourcing security, tetapi berdasarkan pengamatan penulis, dalam menjalankan tugasnya masih kurang tegas dan memberikan toleransi kepada penumpang/penumpang liar untuk melakukan pelanggaran seperti tidak beli karcis, merokok tidak pada tempatnya, atau membiarkan para pengasong berseliweran di peron atau di dalam rangkaian kereta api.

Sebagai bentuk peningkatan pelayanan prima, PT. KA harus memberikan kenyamanan para penumpang, terutama di ruang tunggu atau peron. Oleh karena itu, peron harus disterilkan dari pedagang, pengemis, gelandangan, atau pengamen yang seringkali menyerobot hak penumpang untuk duduk, membuang sampah sembarangan, dan berperilaku jorok. PT. KA secara periodik telah melakukan upaya pembersihan lingkungan stasiun kereta, khususnya di area peron. Tetapi upaya tersebut tampaknya sifatnya tidak rutin dan tidak memberikan hasil yang permanen. Ketika operasi sterilisasi peron dari pedagang, pengemis, gelandangan, atau pengamen dilakukan, paling hanya bertahan beberapa hari. Hari-hari berikutnya, pedagang, pengemis, gelandangan, atau pengamen sudah bebas berdagang dan berseliweran di peron stasiun. Langkah yang terkesan sia-sia.

Terakhir, secara eksternal pihak PT. KA harus melakukan pendekatan kepada masyarakat yang berada dan bermukim di sekitar jalur rel kereta api, agar mereka tidak mengganggu aktivitas kereta. Langkah ini diperlukan untuk meningkatkan pelayanan keamanan dan kenyamanan berkendara kereta api. Peralatan keselamatan dan keamanan gerbong harus selalu diperhatikan. Kerusakan segera diganti, terutama kaca-kaca yang pecah. Untuk menghidari aksi pelemparan, PT. KA perlu melakukan kerjasama dengan aparat kepolisian untuk menempatkan polisi di ruas-ruas yang rawan aksi pelemparan. Selanjutnya untuk menggugah kesadaran para pelaku pelemparan, ruas-ruas yang rawan perlu di pasang papan himbauan tentang dampak aksi pelemparan. Jika perlu dipasang gambar Pak Zaenal Abidin atau Pak Sutarya, agar sisi kemanusiaannya terusik dan tidak mengulangi perbuatannya.

Gunarta

Rabu, 05 Mei 2010

PENGGUNA NARKOTIKA TIDAK LAGI DIHUKUM, TETAPI WAJIB MELAKSANAKAN REHABILITASI


Pada tanggal 12 Oktober 2009, pemerintah menetapkan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Undang-Undang ini merupakan pengganti dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang untuk menanggulangi dan memberantas tindak pidana nakotika. Realitasnya kondisi saat ini tindak pidana Narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan sudah banyak menimbulkan korban, terutama di kalangan generasi muda bangsa yang sangat membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.

Undang-Undang baru ini memberikan perlakukan yang berbeda bagi pelaku penyalahgunaan narkoba. Sebelum undang-undang ini berlaku, tidak ada perbedaan perlakuan antara pengguna pengedar, bandar, maupun produsen narkoba, sama-sama dipenjara baik di Lapas umum maupun Lapas khusus narkoba. Kita masih ingat beberapa figure masyarakat dan artis terkenal dipenjara karena menggunakan narkoba, bahkan ada yang sampai 2 kali menjalani hukuman karena sudah kecanduan. Perlakuan yang tidak berbeda didasari pada hasil penyelidikan dan penyidikan bahwa antara pengguna pengedar narkoba, bandar, maupun produsen seringkali saling terkait erat dan sulit dibedakan. Artinya seorang pengguna pada akhirnya akan terjebak dalam lingkaran mafia narkoba ketika sudah tidak memiliki dana untuk memenuhi kecanduannya.

Pengguna atau pecandu sebenarnya bukan pelaku penyalahgunaan narkoba, lebih tepatnya adalah korban dari sindikat narkoba. Oleh karena itu, para pengguna atau pecandu lebih tepat disembuhkan melalui rehabilitasi. Pasal-pasal terkait dengan kewajiban melakukan rehabilitasi yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 adalah sebagaimana ditampilkan dalam uraian berikut ini.

Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial (pasal 54). Rehabilitasi Medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan Narkotika (pasal 1 no 16). Sedangkan rehabilitasi Sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu Narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat (pasal 1 nomor 17).

Orang tua atau wali dari Pecandu Narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial (pasal 55 (1)). Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial (pasal 55 (2)).

Rehabilitasi medis Pecandu Narkotika dilakukan di rumah sakit yang ditunjuk oleh Menteri (pasal 56 (1)). Lembaga rehabilitasi tertentu yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat dapat melakukan rehabilitasi medis Pecandu Narkotika setelah mendapat persetujuan Menteri (pasal 56 (2)). Selain melalui pengobatan dan/atau rehabilitasi medis, penyembuhan Pecandu Narkotika dapat diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat melalui pendekatan keagamaan dan tradisional (pasal 57). Rehabilitasi sosial mantan Pecandu Narkotika diselenggarakan baik oleh instansi pemerintah maupun oleh masyarakat (pasal 58).

Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat: (a) memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika; atau (b) menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika (pasal 103 (1)). Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi Pecandu Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman (pasal 103 (2)).

Setiap Penyalah Guna: (a) Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun; (b) b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan (c) Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun (pasal 127 (1)). Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103 (pasal 127 (2)). Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial (pasal 127 (2)).

Orang tua atau wali dari pecandu yang belum cukup umur, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) yang sengaja tidak melapor, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) (Pasal 128 (1)). Pecandu Narkotika yang belum cukup umur dan telah dilaporkan oleh orang tua atau walinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) tidak dituntut pidana (Pasal 128 (2)). Pecandu Narkotika yang telah cukup umur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) yang sedang menjalani rehabilitasi medis 2 (dua) kali masa perawatan dokter di rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis yang ditunjuk oleh pemerintah tidak dituntut pidana (Pasal 128 (3)). Rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus memenuhi standar kesehatan yang ditetapkan oleh Menteri (Pasal 128 (4)).

Dari beberapa pasal tersebut, paling tidak masyarakat dapat memetik tiga keuntungan dengan diberlakukannya Undang-Undang ini. Pertama, masyarakat tidak perlu lagi takut mendapatkan aib akan perilaku keluarganya yang menjadi korban penyalahgunaan narkoba. Statusnya yang bukan sebagai narapidana, akan memberikan sugesti bagi keluarga layaknya melakukan perawatan bagi keluarganya yang sakit.

Kedua, keluarga korban tidak lagi khawatir lagi akan terjadinya peningkatan status dari korban menjadi pelaku penyalahgunaan narkoba. Sangat mungkin korban narkoba yang sedang menjalani hukuman, bukannya menjadi sadar, tetapi menjadi lebih “ahli” yang dikemudian hari justru menjadi pelaku. Ketiga, melalui lembaga Terapi dan Rehabilitasi, pemerintah akan membantu upaya penyembuhan dengan pembiayaan ditanggung oleh pemerintah. Ini akan sangat membantu bagi keluarga korban narkoba, karena kalau dilakukan secara mandiri membutuhkan pembiayaan yang cukup besar.

Gunarta
gambar diambil dari : www.stefanusmanja.wordpress.com

Selasa, 04 Mei 2010

KONSEKUENSI BAGI PELAKU PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DAN PREKURSOR NARKOTIKA


Dalam ketentuan umum Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009, definisi narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongang-olongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang tersebut. Sedangkan prekursor narkotika adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan narkotika yang dibedakan dalam tabel sebagaimana terlampir dalam Undang- Undang tersebut.

Narkotika dibagi dalam tiga golongan yaitu : narkotika golongan I, narkotika golongan II, dan narkotika golongan III. Penggolongan ini ditetapkan dan dijadikan sebagai lampiran yang tidak terpisahkan dari undang-undang tersebut. Dikemudian hari masih memungkinkan adanya perubahan golongan narkotika yang penetapannya diatur dengan Peraturan Menteri Kesehatan.
Narkotika golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan. Dalam jumlah terbatas, narkotika golongan I dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan untuk reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah mendapatkan persetujuan Menteri Kesehatan atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.

Sedangkan narkotika golongan II dan III dapat digunakan untuk kepentingan medis yang penggunaannya diatur melalui Peraturan Menteri Kesehatan. Oleh karena itu, untuk kepentingan pengobatan dan berdasarkan indikasi medis, dokter dapat memberikan narkotika golongan II atau golongan III dalam jumlah terbatas dan sediaan tertentu kepada pasien sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sehubungan dengan upaya pengobatan, pasien dapat memiliki, menyimpan, dan/atau membawa narkotika untuk dirinya sendiri dan harus mempunyai bukti yang sah bahwa narkotika yang dimiliki, disimpan, dan/atau dibawa untuk digunakan diperoleh secara sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Prekursor narkotika juga dibagi dalam 2 digolongkan sebagaimana tercantum dalam table I dan table II pada Lampiran Undang-Undang 35/2009 dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari undang-undang tersebut. Dikemudian hari masih memungkinkan adanya perubahan golongan narkotika yang penetapannya diatur dengan Peraturan Menteri Kesehatan.
Ketentuan pidana diantara golongan narkotika dan prekursor narkotika berbeda-beda, tetapi ancaman baik denda maupun pidana umumnya cukup berat. Dendanya bervariasi antara ratusan juta sampai dengan milyaran rupiah, tergantung peran pelaku apakah sebagai penanam, pemilik, produsen, pengekspor, pengimpor, distributor, atau mengunakan/memberikan untuk orang lain. Demikian juga sangsi pidananya mulai dari 5 tahun, 20 tahun, seumur hidup, sampai dengan pidana mati. Untuk lebih memahami tentang ketentuan pidana bagi pelaku penyalahguna narkotika dan prekursor narkotika, di bawah ini akan diuraikan berdasarkan golongan sebagaimana tercantum dalam UU 35/2009.

NARKOTIKA GOLONGAN I
Berdasarkan Pasal 111 sampai dengan Pasal 116 disebutkan bahwa :
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan I dalam bentuk tanaman dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). Apabila beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dengan denda maksimum sebagaimana tersebut di atas ditambah sepertiganya.

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). Apabila beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana tersebut di atas ditambah sepertiganya.

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Apabila dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana tersebut di atas ditambah sepertiganya.

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Apabila dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana tersebut di atas ditambah sepertiganya.

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito narkotika golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). Apabila bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana tersebut di atas ditambah sepertiganya.

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan narkotika golongan I terhadap orang lain atau memberikan narkotika golongan I untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Apabila mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana tersebut di atas ditambah sepertiganya.

NARKOTIKA GOLONGAN II
Berdasarkan Pasal 117 sampai dengan Pasal 121 disebutkan bahwa :
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Apabila beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana tersebut di atas ditambah sepertiganya.

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). Apabila beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana tersebut di atas ditambah sepertiganya.

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). Apabila beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana tersebut di atas ditambah sepertiganya.

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito narkotika golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Apabila beratnya melebihi 5 (lima) gram maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana tersebut di atas ditambah sepertiganya.

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan narkotika golongan II tehadap orang lain atau memberikan narkotika golongan II untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). Apabila mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana tersebut di atas ditambah sepertiganya.

NARKOTIKA GOLONGAN III
Berdasarkan Pasal 122 sampai dengan Pasal 126 disebutkan bahwa :
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Apabila beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana tersebut di atas ditambah sepertiganya.

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Apablia beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana tersebut di atas ditambah sepertiganya.

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Apabila beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana tersebut di atas ditambah sepertiganya.
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito narkotika golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Apabila beratnya melebihi 5 (lima) gram maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana tersebut di atas ditambah sepertiganya.

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan narkotika golongan III tehadap orang lain atau memberikan narkotika golongan III untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Apabila mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana tersebut di atas ditambah sepertiganya.

Sementara itu untuk prekursor narkotika dalam pasal 129 disebutkan bahwa dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum : (a) memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan prekursor narkotika untuk pembuatan narkotika; (b) memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan prekursor narkotika untuk pembuatan narkotika; (c) menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan prekursor narkotika untuk pembuatan narkotika; dan (d) membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito prekursor narkotika untuk pembuatan narkotika.

Tindak pidana penyalahgunaan narkotika dan prekursor narkotika sebagaimana yang disebutkan di atas adalah yang dilakukan secara perorangan. Masih ada ketentuan lain seperti yang dilakukan oleh korporasi, organisasi, orang-orang yang mengetahui tetapi tidak melapor, menggunakan tetapi tidak melapor, orangtua korban yang tidak melaporkan, industri farmasi, dan sebagainya yang berimplikasi pidana yang sangat berat.

Konsekuensi yang sangat berat ternyata belum menyurutkan pelaku penyalahgunaan narkotika dan precursor narkotika untuk terus berbisnis di bidang yang haram ini. Dalam kurun waktu tahun 2000 sampai dengan pertengahan tahun 2009 kasus tindak pidana narkoba meningkat lebih dari 7 kali lipat, dengan kecenderungan tersangka semakin muda usianya. Bahkan, laporan World Drug Report tahun 2009 menempatkan Indonesia sebagai salah satu dari 10 negara terbesar yang melakukan penyitaan methaphetamine dan memiliki kisaran harga-harga narkoba cukup tinggi dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya. Kondisi ini mengindikasikan bahwa Indonesia menjadi negara produsen sekaligus pasar potensial dalam perdagangan narkoba internasional.

Ditetapkannnya UU nomor 35 tahun 2009, sebagai pengganti UU nomor 22 tahun 1997 diharapkan akan semakin meningkatkan kinerja pemberantasan dan pencegahanan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. Implikasi yang berat dan diterapkan secara tegas, berkeadilan, serta tidak pandang bulu akan menjadikan pelaku penyalahguna narkotika dan prekursor narkotika berpikir ulang untuk melakukan bisnis haram ini. Kalau ceroboh dengan tetap melakukan bisnis haram ini, maka siap-siap saja pelaku menghadapi hukuman setimpal.
Gunarta
Gambar diambil dari : www.hizbut-tahrir.or.id

Rabu, 28 April 2010

PENURUNAN KRIMINALITAS DAN MENINGKATNYA CLEARENCE RATE SEBAGAI WUJUD PELAKSANAAN TUGAS KEPOLISIAN

Indeks kriminalitas (crime index) merupakan salah satu indikator untuk mengukur kondisi keamanan dan ketertiban di masyarakat. Indeks kriminalitas merupakan perbandingan antara jumlah kejahatan saat ini dengan jumlah kejahatan tahun lalu dikalikan 100%. Metode pengukuran yang hampir senada adalah tingkat kriminalitas (crime rate), yaitu jumlah kejahatan dibagi dengan jumlah penduduk dikalikan 100.000. Metode pengukuran lain yang juga sering dipakai adalah pengukuran waktu terjadinya kejahatan (crime clock).

Metode pengukuran dengan indeks kriminalitas dan tingkat kriminalitas memiliki kesamaan kecenderungan, di mana semakin tinggi angkanya berarti semakin rendah tingkat keamanan di masyarakat. Sementara untuk crime clock kebalikannya, di mana semakin tinggi nilainya berarti kondisi keamanan dan ketertiban masyarakat semakin membaik. Hal ini berarti juga resiko penduduk terkena tindak pidana (crime risk) menurun karena selang waktu terjadinya kejahatan semakin lama.

Sementara itu, untuk mengukur keberhasilan Polri dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya, salah satunya adalah seberapa besar kemampuan Polri menyelesaikan perkara pidana (clearance rate). Nilainya dihitung berdasarkan perbandingan antara jumlah kasus yang diselesaikan dengan jumlah kriminalitas pada tahun yang sama dikalikan 100%. Keberhasilan menyelesaikan perkara ini seringkali lebih mencerminkan kinerja Polri, meskipun hal tersebut tidak mungkin berdiri sendiri.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002, Polri memiliki tiga tugas utama yaitu : (a) memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; (b) menegakkan hukum; dan (c) memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Tugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat dilakukan dengan melakukan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli (Turjawali) dalam suatu komunitas masyarakat. Sifatnya preventif dan tidak hanya mengandalkan pelaksanaan Turjawali, tetapi kerjasama/kemitraan dengan masyarakat sangat diperlukan sehingga keperdulian masyarakat akan keamanan dan ketertiban lingkungannya dapat terpelihara.

Tugas menegakkan hukum akan dilakukan jika ada warga yang melakukan pelanggaran yang benar-benar dianggap telah melanggar hukum, merugikan orang lain, meresahkan orang lain, dan tentunya ada warga yang melaporkannya (meskipun dalam hal ini Polri juga memiliki diskresi untuk menindak tanpa ada laporan dari masyarakat). Tugas penegakan hukum ini bisa dilakukan dengan cara-cara repersif jika ada perlawanan dari pelaku pelanggaran. Selanjutnya untuk tugas ketiga, yaitu memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, merupakan tugas yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Tugas ini sangat krusial, di mana keberhasilan pelaksanaannya akan menentukan kepercayaan masyarakat kepada lembaga kepolisian.

Dalam dokumen RPJMN 2010 – 2014 disebutkan bahwa kemampuan aparat keamanan dalam melakukan penjagaan, pengawalan, dan patroli belum didukung oleh sistem pelaporan kejahatan termasuk sistem emergensi nasional dan penanganan kejahatan yang modern. Akibatnya, banyak laporan kejahatan yang menimpa masyarakat tidak dapat direspon dengan cepat dan tepat, yang berujung pada banyak kasus kejahatan.

Dalam rangka mendukung tugas pokok Polri, terutama dalam rangka menurunkan indeks kriminalitas dan mendongkrak tingkat penyelesaian perkara (crime clearance) yang masih stagnan pada angka 52 %, pada saat ini di setiap Polda telah terbentuk satuan-satuan khusus yang menangani kejahatan khusus seperti terorisme, narkoba, satuan pengamanan pariwisata di Yogyakarta dan Bali, serta pelayanan khusus terhadap kejahatan perempuan dan anak-anak. Peningkatan kualitas personel diupayakan melalui pendidikan dan pelatihan baik di dalam maupun luar negeri melalui mekanisme pelatihan bersama dan kerja sama operasional dengan sejumlah negara. Selanjutnya dalam rangka perpolisian masyarakat (Polmas), target pelatihan sebanyak 70.000 petugas Polmas telah tercapai secara keseluruhan pada tahun 2009, yang berarti seluruh desa/kelurahan Indonesia akan terjangkau oleh program ini.

Di sisi lain, angka penyimpangan profesi yang mencapai lebih dari 2,5 % dari total jumlah anggota Polri merupakan gambaran profesionalitas anggota Polri yang belum sepenuhnya prima. Terkait dengan penyimpangan profesi aparat keamanan, pemerintah melalui institusi Polri telah melakukan tindakan tegas termasuk pemecatan bagi anggota Polri yang melakukan pelanggaran displin, pelanggaran kode etik, dan penyimpangan tugas lainnya tanpa pandang bulu.

Dengan beberapa keberhasilan sekaligus ada beberapa kelemahan tersebut menjadikan pelaksanaan tugas kepolisian ke depan semakin menantang. Penuntasan perkara kejahatan baik kejahatan konvensional, transnasional, kejahatan terhadap kekayaan negara, maupun kejahatan berimplikasi kontijensi rata-rata masih pada kisaran 52 % setiap tahunnya. Bahkan apabila dilihat tingkat keberhasilannya, proporsi penuntasan kejahatan konvensional relatif paling rendah dibandingkan dengan kejahatan yang lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa langkah penuntasan kejahatan belum secara sepenuhnya menyentuh keselamatan seluruh lapisan masyarakat yang merupakan hak dasar dalam keamanan dan kenyamanan dalam beraktivitas.
Di sisi lain, permasalahan yang masih dihadapi institusi adalah proses penyelidikan dan penyidikan yang belum didukung dengan kemampuan sumber daya manusia dan teknologi penyidikan yang memadai. Banyaknya kasus salah tangkap dan kekerasan yang menimpa para tersangka juga telah menimbulkan keprihatinan akan akuntabilitas penuntasan perkara.

Menghadapi permasalahan tersebut, maka RPJM 2010 – 2014 merumuskan dua sasaran pokok dalam rangka meningkatkan keamanan dan ketertiban masyarakat. Pertama, menurunnya tingkat kejahatan (criminal rate) yang meliputi kejahatan konvensional, transnasional, kontingensi, serta kekerasan terhadap perempuan dan anak menjadi sekitar 105-95 kejadian per 100.000 penduduk. Penurunan tingkat kejahatan ini akan berdampak pada meningkatnya kondisi keamanan dan ketertiban masyarakat. Kedua, meningkatnya persentase penuntasan kejahatan konvensional, transnasional, kontingensi, serta kekerasan terhadap perempuan dan anak menjadi 55 - 60%. Meningkatnya persentase penuntasan kejahatan ini akan meningkatkan kepastian hukum bagi para tersangka.

Untuk mencapai sasaran RPJM 2010 – 2014 tersebut, arah kebijakan yang akan diambil adalah : (a) penerapan program “quick win” oleh Polri sampai ke tingkat Polres di seluruh wilayah NKRI; (b) peningkatan kapasitas SDM dan modernisasi teknologi kepolisian sebagai bagian penerapan reformasi Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan (c) peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga kepolisian. Berkaitan dengan arah kebijakan ini, maka strategi yang ditempuh adalah menurunkan kejadian kriminal (crime index) dan meningkatkan penuntasan kejahatan (clearance rate). Dalam rangka meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga kepolisian, peningkatan kinerja dan transparansi lembaga kepolisian, serta perbaikan tata kelola “complain resolution” dari masyarakat menjadi penjuru dalam strategi ini.

Menilik sasaran, arah kebijakan, serta strategi untuk mencapai sasaran tersebut, optimisme harus selalu dijaga walaupun realitas yang dihadapi cukup berat. Secara internal, pemerintah dalam hal ini Polri menghadapi masalah profesionalitas dan citra Polri yang belum juga menunjukkan perbaikan yang cukup signifikan. Upaya reformasi di tubuh Polri masih dihadapkan pada banyaknya kasus-kasus hukum, penyalahgunaan wewenang, serta penyimpangan tugas dan fungsi polri.

Stagnasi clearance rate pada kisaran 52 % diduga terkait dengan keterbatasan anggaran penyelidikan dan penyidikan tindak pidana. Setiap kasus tindak pidana telah ditetapkan besaran biayanya. Untuk kasus pidana kategori sangat sulit disediakan dana sebesar Rp. 25.790.000,-, kategori sulit disediakan dana sebesar Rp. 14.925.000,-, kategori sedang disediakan dana sebesar Rp. 9.300.000,-, dan kategori biasa disediakan dana sebesar Rp. 4.740.000,-. Dengan demikian, setiap unit reserse kinerjanya diukur dari pencapaian target yang telah ditetapkan. Artinya jika dalam satu tahun ditargetkan sebanyak 40 kasus, maka maksimal kasus yang diselesaikan sebanyak 40 kasus. Jika melebihi target atau terlalu berprestasi, justru akan dipertanyakan sumber pembiayaannya. Kondisi tersebut menyebabkan para penyidik tidak dapat melakukan improvisasi secara bebas dan terpaksa tebang pilih kasus yang dianggap menonjol dan dapat meningkatkan kariernya. Akibatnya banyak kasus-kasus yang dianggap tidak berbobot terpaksa tidak ditindaklanjuti dan dilepas begitu saja. Tentunya dengan sejumlah persyaratan yang kadangkala memberatkan tersangka.

Salah satu keberhasilan pelaksanaan tugas dan fungsi kepolisian, terutama dalam hal penanganan tindak kriminalitas adalah seberapa besar partisipasi masyarakat dalam melaporkan tindak kejahatan yang dialaminya. Tanpa laporan dari masyarakat, polisi tidak dapat melakukan langkah penyelidikan dan penyidikan terhadap suatu kasus kejahatan yang menimpa masyarakat.

Sayangnya sampai saat ini lembaga kepolisian belum sepenuhnya mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Seringkali masyarakat (pelapor) merasa tidak nyaman bila berhubungan dengan lembaga kepolisian karena proses yang berbelit-belit, makan waktu yang lama, dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Pandangan bahwa “melapor kehilangan ayam malah kehilangan kambing”, sampai saat ini masih melekat di sebagian masyarakat. Sementara dari kinerja penyidikan, masih banyak hasil penyidikan yang dibantah oleh terlapor ketika berperkara di pengadilan karena proses investigasi diwarnai intimidasi dan penyiksaan.

Gunarta
Gambar diambil dari : http://polreskotasukabumi.net/polisi-mitra-masyarakat/

Minggu, 25 April 2010

MENUJU INDONESIA BEBAS NARKOBA TAHUN 2015



Dalam beberapa pertemuan yang membahas tentang pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan narkoba, frasa ”bebas narkoba” menimbulkan persepsi bebas menggunakan narkoba. Persepsi yang lain, narkoba dapat dijualbelikan secara bebas di pasaran. Tentu saja kedua persepsi tersebut tidaklah tepat. Menurut BNN, salah satu indikator utama dari Indonesia bebas Narkoba pada tahun 2015 adalah semua masyarakat tahu akan bahaya narkoba. Meskipun narkoba berseliweran di masyarakat, masyarakat akan imun dan tidak tergoda untuk menyalahgunakannya.

Konsep Indonesia bebas narkoba tahun 2015 adalah mengikuti kesepakatan yang telah dibuat diantara negara-negara ASEAN, yaitu Drug Free ASEAN (DFA) 2015. Sebuah konsep yang cukup bagus untuk membebaskan masyarakat ASEAN pada umumnya, dan masyarakat Indonesia khususnya terbebas dari bahaya narkoba.

Yang jadi pertanyaan adalah mampukah Indonesia mencapai sasaran tersebut ? Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus melihat dan mempelajari berbagai program pembangunan terkait dengan pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan narkoba. Pada saat ini telah tersusun rencana program dan kegiatan jangka menengah yang tuangkan dalam peraturan presiden. Di samping itu, penguatan Badan Narkotika Nasional menjadi lembaga setingkat kementerian diharapkan kinerja pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan narkoba akan semakin efektif.

Peraturan Presiden Nomor 5 tahun 2010 tentang RPJMN 2010 – 2014 pada Bab 7 Bidang Pertahanan dan Keamanan menyebutkan bahwa : ”Dewasa ini Indonesia belum dapat sepenuhnya melepaskan diri dari ancaman kejahatan Narkoba. Prevalensi penyalahgunaan narkoba yang menunjukkan angka 1,5 – 1,9 % penduduk mengindikasikan bahaya kejahatan narkoba telah sampai pada tingkatan mengkhawatirkan. Kisaran harga narkoba yang tinggi dan keuntungan yang besar mengakibatkan bisnis dan penyalahgunaan Narkoba di Indonesia lebih marak jika dibandingkan dengan harga negara-negara Asia lainnya. Modus operandi kejahatan narkoba di wilayah hukum Indonesia tampaknya juga semakin canggih. Bahkan, berbagai temuan menunjukkan bahwa selain munculnya kecenderungan baru dengan memanfaatkan warga negara asing terutama yang berasal dari Iran, sindikat Afrika Barat telah bekerja sama dengan sindikat China dalam menjalankan bisnis narkoba di Indonesia. Selain itu, kelonggaran peraturan perundang-undangan dan ketidakmaksimalan pengawasan terhadap impor bahan baku narkoba sintesis semakin mempermudah pelaku untuk mendirikan laboratorium penghasil narkoba. Dengan demikian, Indonesia dapat dikatakan sebagai negara produsen, terutama narkoba sintetis dan ganja, sekaligus pasar potensial dalam perdagangan narkoba.

Dalam kurun waktu tahun 2000 sampai dengan pertengahan tahun 2008 kasus tindak pidana narkoba meningkat lebih dari 7 kali lipat, dengan kecenderungan tersangka semakin muda usianya. Jika pada tahun 2000 jumlah kasus hanya 3.748 kasus, pada tahun 2007 meningkat menjadi 22.630 kasus dan pada tahun 2008 mencapai 29.364 kasus. Sementara itu, jumlah tersangka di bawah umur 25 tahun yang berarti golongan muda, pelajar, dan mahasiswa proporsinya rata-rata mencapai 36,48 %. Berbagai upaya penegakan hukum bagi kejahatan narkoba terus dilakukan secara intensif terutama di kantong-kantong kejahatan narkoba. Dalam 5 tahun terakhir, puluhan ribu kasus narkoba berhasil diselesaikan, puluhan produsen gelap narkoba dalam skala kecil dan besar berhasil diungkap, dan lebih dari 70 orang diputus pidana mati, 5 di antaranya telah dieksekusi mati. Laporan World Drug Report tahun 2008 bahkan menempatkan Indonesia sebagai salah satu dari 10 negara terbesar melakukan penyitaan narkoba. Sementara itu, jumlah serta cakupan dan kualitas lembaga pelayanan terapi dan rehabilitasi korban penyalahgunaan narkoba, baik yang dilakukan oleh masyarakat maupun oleh negara, seperti Unit Terapi dan Rehabilitasi BNN di Lido tercatat juga semakin meningkat. Namun, upaya dalam mengawasi dan mengendalikan peredaran gelap narkoba melalui penegakan hukum dan pemberantasan jaringan narkoba ini tampaknya belum diimbangi dengan upaya peningkatan ketahanan masyarakat dari kejahatan narkoba sehingga berbagai upaya keras yang telah dilakukan selama ini sepertinya tidak memberikan sumbangan yang berarti bagi penurunan angka prevalensi narkoba”.

Berdasarkan kondisi sebagaimana diuraikan di atas, maka upaya menangani penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika menghadapi permasalahan yang tidaklah ringan. Upaya pemberantasan peredaran gelap narkoba terus dilakukan secara intensif dan menunjukkan hasil yang signifikan terutama dalam hal kasus pengungkapan laboratorium gelap dan pengungkapan sindikat narkotika baik yang memiliki jaringan nasional maupun internasional. Namun, prevalensi penyalagunaan narkoba yang justru semakin meningkat, yaitu dari 1,55% menjadi 1,99%, menunjukkan bahwa upaya pencegahan yang dilaksanakan selama ini masih kurang dapat mengimbangi upaya pemberantasan peredaran gelap narkoba. Misi untuk mewujudkan Indonesia bebas narkoba pada tahun 2015 menghadapi tantangan yang cukup berat terutama jika dikaitkan dengan peranan pemangku utama khususnya Pemerintah Daerah dalam pencegahan penyalahgunaan narkoba. Ketersediaan sarana dan prasarana terapi dan rehabilitasi narkoba yang saat ini jumlahnya masih terbatas dan belum sepenuhnya dapat menjangkau dan melayani korban penyalahgunaan narkoba juga merupakan permasalahan yang harus diatasi dalam lima tahun ke depan.

Menghadapi permasalahan tersebut, maka sasaran pembangunan pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan narkoba yang ingin dicapai dalam RPJM N 2010 – 2014 adalah menurunnya angka penyalahgunaan narkoba dan menurunnya peredaran gelap narkoba yang tercermin pada menurunnya angka prevalensi penyalahgunaan narkoba menjadi di bawah 1,5 %. Tercapainya sasaran ini akan membebaskan Indonesia dari narkoba pada tahun 2015, dalam arti seluruh masyarakat sadar dan mengetahui akan bahaya penyalahgunaan narkoba.
Untuk mencapai sasaran tersebut arah kebijakan akan ditempuh adalah dengan ekstensifikasi dan intensifikasi pencegahan penyalahgunaan narkotika, penyediaan fasilitas terapi dan rehabilitasi bagi korban penyalahgunaan Narkotika yang terjangkau seluruh lapisan masyarakat, dan pemberantasan jaringan narkotika. Adapun strateginya dengan mendorong masyarakat menjadi imun narkotika, membantu korban penyalahgunaan agar pulih kembali, dan memberantas jaringan pengedar narkoba. Startegi ini utamanya akan menggunakan pendekatan yang bersifat pemberdayaan lingkungan kerja, keluarga, dan pendidikan.

Mencegah dan Menanggulangi Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba merupakan fokus dari prioritas Peningkatan Rasa Aman dan Ketertiban Masyarakat. Berkenaan dengan hal tersebut, Badan Narkotika Nasional sebagai pemangku utama program Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN) akan melaksanakan 7 (tujuh) kegiatan prioritas, yaitu : (a) Pelaksanaan Kegiatan Diseminasi Informasi di Bidang P4GN; (b) Pelaksanaan Alternative Development; (c) Pelaksanaan Kegiatan Penindakan dan Pengejaran; (d) Pelaksanaan Kegiatan Interdiksi; (e) Pelaksanaan Pengembangan Rehabilitasi Instansi Pemerintah; (f) Pelaksanaan Pengembangan Rehabilitasi Berbasis Komponen Masyarakat; dan (g) Peningkatan Kapasitas Pelayanan BNN di Daerah.

Keseriusan pemerintah dalam membebaskan Indonesia dari narkoba pada tahun 2015 juga didukung dengan ditetapkan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Implikasi dari Undang-Undang ini adalah terbentuknya BNN vertikal di tingkat propinsi dan kabupaten/kota yang diharapkan akan lebih operasional dibandingkan dengan BNNP/BNNKab/Kota yang operasionalnya sangat tergantung pada “keikhlasan” pemerintah daerah.

Menilik upaya-upaya yang dilakukan pemerintah dalam mencegah dan penanggulangan penyalahgunaan narkoba tersebut, maka keinginan Indonesia untuk bebas narkoba pada tahun 2015 optimis dapat tercapai. Program P4GN sebagai pendulum utama kegiatan-kegiatannya cukup implementatif dan konphrehensif, asal tetap fokus dan tepat sasaran. Namun kendala yang dihadapi oleh BNN sebagai pemangku program P4GN adalah masalah kecukupan anggaran. Hal ini terkait dengan besarnya struktur organisasi BNN yang kalau terpenuhi semua akan ada 33 BNN propinsi dan 483 BNN Kabupaten/Kota. Besarnya struktur organisasi tersebut, tentu berdampak pada peningkatan jumlah pegawai, anggaran operasional organisasi, dan anggaran P4GN termasuk pusat terapi dan rehabilitasi, pusat pendidikan dan latihan, operasional kantor pusat dan sebagainya.

Keterbatasan anggaran inilah yang menyebabkan dalam kurun waktu 2010 - 2014 hanya akan dibangun 14 BNN Propinsi dan 100 BNN Kabupaten/Kota. Sisanya akan dilaksanakan pada periode RPJM yang akan datang. Meskipun sebenarnya hal tersebut melanggar UU Nomor 35/2009, tetapi memaksakannya untuk dipenuhi sebagaimana diamanatkan dalam undang-undang tersebut akan berdampak pada bidang-bidang pembangunan yang lainnya.

gunarta

Gambar diambil dari : www.rizalmaarif.wordpress.com